[caption id="attachment_163716" align="aligncenter" width="200" caption="Erianto Anas"][/caption]
Sekian lama saya meninggalkan kompasiana sebagai media penyaluran libido untuk tulis-menulis, tiba-tiba saya teringat seorang EA ketika seseorang berkomentar pada salah satu postingan saya. Dari salah satu komentar postingan tersebut dikatakan bahwa akun ini yang bernama BUKANHANTU adalah seorang EA, dari komentar tersebut lalu saya mencoba mencari jejak-jejak tulisan EA, dan sampai saat ini tak satu jejakpun dapat saya temukan, kecuali akun-akun lamanya yang telah dibunuh. Siapalah EA? Dimanakah EA saat ini? Mengapa EA meninggalkan kompasiana? pertanyaan-pertanyaan mulai menggerayangi kepala ini.
Tak banyak masyarakat Indonesia yang mengenal Erianto Anas (EA), namun dalam dunia maya terkhususnya media sosial seperti kompasiana nama ini cukup populer. Bagaimana tidak, tulisan-tulisannya yang cukup kontroversial dapat menyulut arus "traffic" suatu website yang memuat tulisan-tulisan kontroversialnya. Agama adalah salah satu jargonnya dalam menunjukan eksistensinya. Yang lebih mengejutkan lagi "gosip" yang mengatakan bahwa EA pernah menjadi target bom buku "pepy", tentunya nama EA semakin populer didalam pergulatan dunia maya.
Keberaniannya dalam mengkritisi islam bukanlah suatu yang luar biasa dalam diskusi-diskusi intelektual, diskusi-diskusi demikian kerap terjadi dalam pertarungan pemikiran-pemikiran intelektual. Lalu mengapa hal-hal yang dilakukan EA yang biasa-biasa saja dapat membuat dirinya menjadi populer dalam komunitas media seperti kompasiana ini?
Keterlambatan pendidikan sejak sejarah bangsa ini berdiri, mungkin menjadi salah satu penyebab keterlambatan dialektika pemikiran-pemikiran kaum pelajar, sejarah berdirinya perguruan-perguruan tinggi pada awalnya hanya diikuti oleh keturunan-keturunan bangsawan, dengan kata lain hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menikmati dunia perguruan tinggi. Mungkin inilah penyebab ketertinggalan bangsa ini dalam peradaban dunia pemikiran, ditambah lagi dalam masa orde baru, banyak pemikir-pemikir di kebiri oleh sang penguasa saat itu.
Tibalah saatnya era reformasi dan demokrasi diiringi kecanggihan teknologi informasi, internet menjadi media informasi tercepat saat ini. Namun sayangnya "cara berpikir" bangsa ini sudah dihancur-leburkan selama 32 tahun oleh kekuasaan orde baru, siap tidak siap, suka tidak suka, arus informasi terus mengalir deras mengaliri setiap layar-layar monitor. Buruknya pendidikan Indonesia saat ini telah tertandingi oleh keberadaan internet, mungkin tak perlu lagi sekolah atau pendidikan formal untuk mendapat pengetahuan yang cukup. Namun sangat disayangkan data informasi yang berjuta-juta banyaknya tak diimbangi dengan "cara berpikir" yang tepat, yang pada akhirnya justru menjadi bumerang bagi pencari informasi (user) di internet.
Kembali lagi ke EA, entah mengapa tulisan-tulisan dan akun EA dibumihanguskan oleh sang pengendali kompasiana, apakah tulisannya yang salah, atau pembacanya yang salah dalam menafsirkan tulisan EA. Entahlah, saya menjadi kebingungan untuk menjelaskannya. Yang jelas hingga saat ini keberadaan EA tak diketahui lagi rimbanya, ia telah mati, tewas terinjak-injak tafsiran-tafsiran buta.
Menelanjangi EA Kritik pedasnya dalam islam membuatnya banyak di hujat oleh banyak pihak, lalu apakah keyakinan EA sesungguhnya, apakah benar dia adalah musuh islam? Apakah benar dia menghina islam?
Dari beberapa interkasi saya dengan EA di kompasiana, saya melihat dia adalah seorang islam yang taat. Saya masih mempunyai keyakinan bahwa beliau masih menjalankan kewajibanya dalam beragama. Saya melihatnya ketika ia membuat beberapa tulisan dengan logika terbalik, ketika dia menyatakan sesuatu, itu hanyalah soal kegelisahan dan keraguannya dalam melihat fenomena-fenomena sosial yang terjadi disekelilingnya. Lantas mengapa EA malah menghina islam? Dari tulisan-tulisan EA-lah terlihat sipakah yang sedang berefleksi dan siapa yang beronani, mengapa demikian? Dalam pengembangan kedalam diri bukanlah hal-hal yang baik-baik saja yang dikupas, namun hal-hal yang menyimpang dan keburukanlah yang harus dipertanyakan, agar dapat memperbaiki apa yang menjadi refleksi dan intropeksi tiap-tiap individu/subjek. Tentunya dalam menafsirkan tulisan-tulisan EA bukanlah dengan hanya menggunakan mata telanjang, namun juga harus dibekali pengetahuan yang cukup, misalnya sejarah islam dan perkembangan pemikir-pemikir islam dalam masa perjalanan islam itu sendiri, dengan begitu mata kita tak sepeti kacamata kuda yang hanya melihat satu arah saja, namun melihat sisi-sisi lain.
Sangat disayangkan ketika seseorang ingin membangun pondasi berpikir justru malah dikebiri oleh emosional dan kesombongan, ketika seseorang mempunyai gagasan-gagasan yang mungkin tidak kita terima, maka buatlah gagasan-gagasan pembanding, tak perlu mencaci maki, tak perlu emosi, ini hanyalah persoalan pemikiran yang dilawan dengan pemikiran, bukan dilawan dengan kemarahan.
Ya, mungkin saja perlu waktu di bangsa ini untuk berproses dalam berdialektika, dimana saya sangat harapkan ada ruang-ruang umum yang bisa dijadikan tempat berdialektika, dimana tidak ada lagi penyerangan-penyerangan kepada subjek individu, tetapi yang dilawan adalah pemikirannya, ide dan gagasanya. Mudah-mudah kematian EA di kompasiana adalah pelajaran buat kita semua dan menjadikan kita semakin dewasa dalam berpikir dan berdiskusi. Semoga