Lihat ke Halaman Asli

Teguh Perdana

Menulis dan Berbagi Cerita

Jendela

Diperbarui: 7 Januari 2022   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Pixabay

"Sejak kecil saya selalu berangan-angan, kelak saat saya dewasa nanti, memiliki jendela kamar yang dapat dibuka dan berukuran besar layaknya di rumah masa Kolonial dulu. Atau, bisa juga seperti jendela kamar Hans dalam film Si Doel. Lalu pada bagian altarnya yang sempit, saya akan taruh beragam bunga warna warni yang indah agar bisa saya siram dan ajak bicara setiap harinya".

**

Pertalian saya dan jendela tidak pernah benar-benar terwujud. Bak langit dan bumi, benda berukuran sekitar 1 meter lebih ini merupakan hal yang sangat mewah dan sangat sulit saya dapat. Bukan, jika kamu mengira rumah saya sama sekali tidak ada jendelanya itu salah. Karena, rujukan jendela yang saya maksud adalah kusen-nya. Dan kusen itulah benda yang sangat saya ingin dapatkan sejak dahulu.

Sebagai anak yang berasal dari keluarga pas butuh pas ada, keinginan itu sudah saya ajukan sejak dahulu. Namun karena ragam alasan, barulah terwujud bulan lalu ketika saya telah mampu membelinya sendiri.

Sedikit sombong. Namun percayalah, itu adalah kebanggaan tersendiri yang bisa saya rayakan. Demi merayakanya, maka saban hari juga saya selalu membukanya. Duduk di altarnya yang sempit di atas kayu keropok yang tidak kunjung lapuk sembari merokok atau memikirkan hal lain yang membuat saya merinding.

"Ternyata begitu nikmat memiliki jendela seperti ini", ucap saya sembari menekan-nekan tembakau padat pada rokok Dji Sam Soe yang terlanjur saya hisap.

Perayaan lain dilakukan ibu saya. Setiap kumandang magrib, dia selalu masuk ke kamar tempat saya bekerja, tertawa, menangis, dan hal-hal baik serta buruk lainya hanya untuk menutup jendela ini. Dia lepaskan penahanya secara pelan agar kacanya tidak goyah, lalu mendorongnya dengan hati-hati untuk kemudian dia kunci.

Pemandangan itu selalu menarik. Entah kenapa. Saya tidak memiliki cukup kata yang dapat mewakilinya. Saya juga tidak tahu alasan pastinya. Tapi terkait hal itu, mungkin dua alasan ini cukup bisa mewakilinya.

Pertama. Rumah kami berada di salah satu kampung yang berada di Banjar, Jawa Barat. Jarak antar rumah pun tidak berdempetan layaknya di kota besar. Di sini, jarak antar rumah tersebut bahkan bisa dijadikan oleh anak-anak sebagai tempat bermain bola atau bermain petak umpat.

Dengan kondisi demikian juga, akhirnya banyak lahan kosong yang hanya ditumbuhi ilalang atau pohon pisang serta singkong. Imbasnya, nyamuk begitu banyak. Bahkan beberapa diantaranya, nyamuk itu lebih mirip seperti nyamuk piaraan karena ukuranya yang besar dan gemuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline