Lihat ke Halaman Asli

Quinsha

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan mata sembab aku pergi ke sekolah. Pertengkaran hebat antara Papa dan Mama, membuatku menangis semalaman. Pertengkaran yang diakhiri dengan kesepakatan untuk BERCERAI !!!! Kata mereka untuk kebaikan bersama. Huft, alasan klasik. Kebaikan untuk siapa ??? Untuk mereka ??? Lalu bagaimana dengan aku ??? Tidakkah mereka memikirkan perasaanku ???

Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Kakak ku telah tiada sejak satu tahun lalu. DBD merenggut nyawanya. Andai saja saat itu aku bisa lebih cepat membawanya ke rumah sakit, mungkin dia masih ada disini menemani hari-hariku.

Lima belas menit sebelum bel masuk aku tiba disekolah. Suasana kelas telah ramai oleh kesibukkan teman-teman ku yang belum mengerjakan PR. Tanpa menyapa siapa pun aku langsung duduk di kursiku. Jika hari ini tidak ada ulangan Fisika, rasanya enggan sekali untuk berangkat ke sekolah.

“Quin, gue liat MTK yang kemaren dong !”, ucap Lani teman sebangku ku. Aku langsung membuka tas, mengambil buku yang diminta dan menyerahkan padanya tanpa bicara sepatah kata pun.

“Mata lo kenapa Quin ? Abis nangis ya ?” ucapnya lagi. Aku hanya tersenyum.

“Lan, pulang nanti temenin gue ke makamnya Kak Nara yuk !” ajakku pada Lani.

“Lo lagi ada masalah ya ?”

“Nggak ko, gue cuma kangen aja sama kakak gue”.

“Gue kenal lo Quin, kalo ada masalah cerita dong jangan disimpen sendiri.”

Aku hanya tersenyum dan tidak melanjutkan perbincangan ini.

Sepanjang pelajaran aku sangat tidak bersemangat, bahkan saat ulangan tadi hanya beberapa soal saja yang aku kerjakan dengan sungguh-sungguh.

Bel pulang berbunyi.

“Jadi nggak Quin ?” tanya Lani.

“Jadi”, jawabku singkat. Aku dan Lani beranjak ke luar kelas, namun tiba-tiba...

“Maaf, ada yang namanya Quinsha Naura Vriandini ?” ucap seorang murid perempuan yang sepertinya masih adik kelas ku.

“Saya ! Ada apa ya ?” jawab ku pada perempuan itu.

“Maaf Kak, Kakak dipanggil ke ruang kepsek” dia memanggil ku dengan sebutan kakak, berarti benar dugaan ku dia adik kelas ku.

“Oh iya, makasih ya !”

“Iya kak. Permisi !”, setelah menyelesaikan tugasnya untuk memanggil ku, dia langsung pamit. Mungkin segera pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline