Sekumpulan anak muda itu berjalan dengan gagahnya dari samping panggung. Di atas tubuhnya, telah tersemat pakaian bermerek distro berlengan tinggi yang paling modis, celana jeans yang dengan bangga dan sengajanya dibuat melorot, agar boxer-nya yang pink (anggunnya…) itu dapat terlihat. Berbekal rambut gaya emo yang paling terkini (menurut salon-salon banci), dan terkadang kaca mata hitam, mereka melangkah pasti menuju instrumen yang akan mereka mainkan. Sedari tadi, para penonton telah berteriak-teriak, seakan-akan para pemuda tadi adalah idola masa kini, dan mereka rela berdesakan mendekati kawula muda tersebut, yang bahkan penonton tersebut belum tahu gaya musiknya seperti apa! Maka dimulailah pertunjukan itu. Lagu pop melayu, pop banci yang ironisnya masih saja bisa membuat para penonton berjingkrak-jingkrak. Mendengar sorakan itu, penampil makin percaya diri, dan mulai melenggak-lenggok, menghempaskan rambut modisnya, seakan semua penonton itu adalah pemujanya. Membohongi kenyataan bahwa wajah mereka yang ndeso (namun telah dipermak) itu bukan masalah yang pelik. Sesaat kemudian,mereka gelontor lagu mellow, dan tangan itu mulai meraih-raih, disertai ekspresi dalam dengan mata terpejam. Penonton pun mengayunkan tangannya ke kanan dan kiri, sesuai irama lagu, sementara tangan yang satu menggenggam di depan dada. Fuck!
Ada apa dengan orang-orang itu?! Ada apa dengan para penonton atau penikmat musik negeri ini, yang terutama didominasi perempuan itu?! Apakah mereka tuli? Bagaimana musik murahan dengan lirik tak cerdas, tema standard: cinta, dan gaya musik yang latah (ikut-ikutan) dapat begitu eksis di jagad permusikan negara yang sebenarnya telah bobrok ini?! Geram tiap kali melihat acara televisi, radio yang menggumamkan lagu-lagu tersebut.
“hmm… saya mau request lagu The Rock, Samsons, Kangen Band, ST12, Hello… bla, bla, bla.” Once more: Fuck!
Semua ini pun sebenarnya tidak lepas dari kesalahan pihak-pihak yang mempublikasikan lagu-lagu tak bermutu tersebut, atau dengan kata lain, merupakan kesalahan media, seperti radio dan televisi, yang merupakan media mayor di Indonesia ini. Media-media ini pun ikut-ikutan latah, karena hanya mempertimbangkan sisi ekonomi atau keuntungan, BAHKAN dengan memanfaatkan rendahnya selera musik orang Indonesia! Mereka tahu itu! Tapi tak hirau sama sekali! Ke mana larinya para pemusik indie yang notabene dihuni pemusik-pemusik dengan kualitas yang tak kalah bagus dengan pemusik major label? Dan mereka, tanpa sadar, telah dipinggirkan oleh media negeri ini. Satu hal yang patut diacungi jempol dari mereka adalah perjuangan mereka tak berakhir, karena masih ada teknologi internet yang mendukung publikasi dan juga komunitas yang dengan setia menjunjung musik mereka.
Sementara, di lain pihak, pada dua media mayor tadi, lagu-lagu banci terus bermunculan. Bahkan anak bawang pun dengan sekejap dapat menjadi idola baru! Entah sejak kapan hal ini bermula. Namun, kemarahan macam ini sudah muncul di benak saya sejak beberapa tahun terakhir. Saya bisa menjamin beberapa nama band indie Indonesia, yang menurut saya bahkan lebih baik dari pemusik dari Eropa dan Amerika. Sebut saja The SIGIT dengan rock n rollnya, Mocca dengan musik pop minimalis dan kekanakannya, atau White Shoes and The Couple Company dengan musik 70-annya yang Indo seali. Tetapi, nama-nama itu tak sedikit pun pernah ada di hati penikmat musik Indonesia yang tolol! Yang hanya tahu nama-nama band banci seperti yang telah saya sebut di muka! Semua pendapat ini tentunya bersifat relatif, karena dalam hal ini saya telah mengesampingkan masalah jenis musik. Ini bukan masalah genre, tetapi kualitas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H