Lihat ke Halaman Asli

Bugi Kabul Sumirat

TERVERIFIKASI

author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

Tradisi Ngahujuban Itupun Lenyap Seiring Meninggalnya Mbah Putri

Diperbarui: 16 April 2021   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi perlengkapan ritual ngahujuban (dok: ayobekasi.com)

Almarhum mbah putri kami telah wafat sekitar 27 tahun lalu, tetapi kenangan yang membekas itu selalu muncul setiap Ramadan datang. 

Ingin sekali kembali mengalami suasana seperti dulu itu, tapi tidak akan bisa, hanya rindu yang membahana di setiap Ramadan saat mengenang ritual yang selalu dilakukan oleh mbah putri kami itu. 

Rindu terhadap ritual yang dilakukannya, terlebih rindu terhadap orang yang melakukan ritual tersebut.

Mbah putri kami, biasa dipanggil dengan nama kecilnya yaitu mbah Iyoh, memiliki ritual kebiasaan yang dilakukannya rutin, setahun sekali, yaitu setiap Ramadan akan berakhir, berganti kepada bulan baru - bulan Syawal. 

Di setiap penghujung Ramadan tersebut, almarhumah mbah Iyoh akan melakukan ritual kebiasaan tahunannya yang beliau namakan dengan ngahujuban. 

Kurang tahu juga apa arti sebetulnya dari 'NGAHUJUBAN'. Yang pernah saya dengar dari beliau, proses ngahujuban ini merupakan doa yang dilantunkan untuk mendoakan para leluhur yang telah mendahului kita.

Ilustrasi, kira-kira seperti ini perlengkapan ngahujuban - maklum saat itu pendokumentasian tidak seperti sekarang (dok: kaskus.co.id)

Dalam prosesnya, yang selalu saya dan adik-adik nantikan itu, mbah Iyoh, menjelang berbuka puasa akan menyiapkan perlengkapannya. 

Karena biasanya H-1 dari Idul Fitri itu segala masakan dan kue-kue sudah siap untuk disajikan keesokan harinya pada saat Idul Fitri, maka segala jenis makanan itupun akan disajikannya di atas meja. Tidak dalam jumlah banyak, cukup untuk ukuran 'tamu' yang datang tidak dalam jumlah rombongan yang besar.

Disiapkanlah di atas meja makan besar di tengah rumah itu perlengkapan ritual ngahujuban yang berupa: satu cangkir teh manis dan secangkir teh pahit, secangkir kopi manis dan pahit - yang dilengkapi dengan beberapa potong kecil gula merah untuk teman minum kopi pahit, dua gelas air putih, kue-kue kering lebaran - masing-masing satu jenis di atas satu piring kecil - jumlah piring kecil akan tergantung jenis kue yang sudah siap ada untuk persiapan lebaran, satu takir (wadah tempat yang terbuat dari daun pisang) perlengkapan menyirih termasuk beberapa batang rokok, dua piring nasi dan diikuti lauk-pauk masakan lebaran yang sudah mateng dan siap disajikan esok hari - seperti opor ayam, sambal goreng, sayur lodeh pepaya, semur daging kentang, sesuai menu yang sudah siap saat itu, termasuk ketupatnya dan buah.

Oiya, mbah Iyoh tidak lupa menempatkan parukuyan kecil (anglo berukuran kecil yang terbuat dari tanah liat) yang sudah berisi arang yang menyala diatasnya untuk kemudian ditaburi bubuk kemenyan saat akan memulai ritual ngahujuban.

Setelah semuanya siap, mbah Iyoh akan meminta kami, para cucunya ini, untuk menjauh dari meja. Biasanya mbah Iyoh meminta kami nonton tivi sampai proses ngahujuban selesai, dan mbah Iyoh terduduk sendiri di depan meja tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline