Lihat ke Halaman Asli

Bugi Kabul Sumirat

TERVERIFIKASI

author, editor, blogger, storyteller, dan peneliti di BRIN

Kalau saja namanya bukan Dolly

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1404048907537282247

[caption id="attachment_313232" align="alignnone" width="400" caption="Salah satu kondisi di Dolly"][/caption]

Belakangan ini, nama Dolly, atau gang Dolly – dari Surabaya, tepatnya di daerah Jarak atau Putat, Pasar Kembang – cukup hangat diperbincangkan di segala media. Paham kan apa itu Dolly ya?

Doly itu, tempat ‘esek-esek’ yang cukup besar dan bahkan konon terbesar di Asia Tenggara. Menurut sejarahnya, Gang Dolly ini sudah ada sejak zaman Belanda dan dikelola oleh seorang perempuan keturunan Belanda yang dikenal dengan nama Dolly van der Mart.

Di daerah Dolly, walau merupakan pusat kegiatan lokalisasi pelacuran, tetapi banyak yang terlibat dalam tata niaganya. Sebut saja misalnya mucikari, pemlik wisma, para penjual aneka kebutuhan (makanan, minuman, rokok, dll), tukang parkir, preman, dan lain sebagainya. itu pula yang ‘bersuara paling keras’ sewaktu Dolly dideklarasikan ditutup pada tanggal 18 Juni 2014 lalu.

Seperti informasi yang ditampilkan di Metro TV pada tanggal 28 Juni 2014. Dalam acara di Metro TV itu, seorang mucikari dengan ngototnya menolak penutupan Dolly, dan akan menentangnya untuk ‘buka’ kembali setelah lebaran (si mucikari mengatakan, bahwa untuk menghormati bulan puasa, maka selama puasa ini, ia dan para anak buahnya pun meliburkan diri).

Alasan si mucikari adalah bahwa dengan ditutupnya Dolly ia akan banyak mengalami kerugian. sebut saja kerugian dari fee PSK, uang yang diinvestasikan pada saat ia membangun wisma – yang belum mencapai BEP (padahal nilai investasinya mencapai sekitar 700 jutaan lebih) dan dana kompoensasi yang disediakan pemerintah sangat jauh dari mencukupi.

Sementara di wawancara terpisah dengan salah seorang pekerja seks-nya (PSK – pekerja seks komersial), si PSK ini mengatakan bahwa ia memang sangat ingin berhenti, karena menjadi PSK adalah sangat-sangat menyakitkan. Ia bersyukur dengan adanya penghentian ini serta dana kompensasi yang diberikan oleh pemerintah. ia akan mencari pekerjaan/penghasilan yang halal.

Walikota Surabaya, dalam salah satu kesempatan wawancara mengatakan bahwa ia banyak menerima ucapan dukungan dari banyak pihak terkait upanya menutup Dolly, terutama dari anak-anak yang dengan tulus mengirimkan surat kepadanya berisi ucapan terima kasih dan rasa syukur. Pertentangan hanya muncul dari mereka yang dirugikan secara materil, seperti contoh mucikari di atas.

Memang terlihat jelas, kontroversi keras muncul ke permukaan karena ada nilai ekonomi yang terganggu, rantai ekonomi yang (akan) terputus dengan ditutupnya Dolly. Nilai moral, entah dimana ia ditempatkan? karena dilihat dari sudut pandang yang prinsip, yaitu agama dan moral, sudah tidak ada tawar-menawar soal prostitusi ini. Tapi, bukan itu yang dijadikan dasar utama logika berpikir para penentang penutupan Dolly ini. Mereka tidak khawatir bagaimana dampak penghasilan yang diperoleh dengan cara seperti itu. Mereka tidak khawatir pula terhadap generasi muda ataupun mereka yang sama sekali tidak terlibat dalam kegiatan/rantai prostitusi, tetapi tinggal di kawasan tersebut.

LIhat saja ketika si mucikari di wawancara, beberapa argumennya antara lain:

- jangan nilai kami dari pelacuran ini, karena dari sinilah kami makan. Soal agama, biar itu kita serahkan kepada Tuhan. Di sini juga secara rutin kami memanggil guru ngaji dan mengadakan pengajian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline