Kebijakan baru terhadap kelulusan uji kompetensi dengan terbitnya Permendikbud No. 2 Tahun 2020 tentang Tata cara pelaksanaan uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan khususnya Pasal 3 ayat (2) dinyatakan dengan jelas bahwa salah satu faktor yang akan menjadi dasar dalam penentuan kelulusan dalam uji kompetensi adalah Indeks Prestasi Mahasiswa dengan porsi sebesar 60%.
Kebijakan ini tentu menjadi angin segar bagi Perguruan Tinggi terutama yang selama ini masih menunjukkan tingkat kelulusan uji kompetensi bagi lulusannya yang masih rendah.
Namun demikian, setiap kebijakan perlu dicermati dan dipikirkan strategi implementasinya dengan baik sehingga tujuan diterbitkannya kebijakan tidak salah arah.
Perguruan tinggi hendaknya tidak berfokus pada bagaimana mencapai skor akhir lulus 100%, tetapi bagaimana mahasiswa sejak awal dipersiapkan dengan baik sehingga kompeten dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan profesinya.
Jika hal ini dilakukan dengan baik, pada akhirnya skor kelulusan 100% pada mahasiswa tingkat akhir akan dapat tercapai dengan sendirinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu upaya praktis untuk meningkatkan kelulusan uji kompetensi nantinya adalah dengan meningkatkan IPK mahasiswa.
IPK mahasiswa tentunya sangat ditentukan oleh nilainya pada setiap matakuliah yang diprogramkan dalam studinya. Rentang nilai mahasiswa di Perguruan tinggi umumnya antara angka 4, 3, 2, 1, 0 atau menggunakan lambang mutu A, B, C, D, E dengan beberapa varian dari perguruan tinggi sesuai kebijakan masing-masing pimpinannya.
Pertanyaan yang muncul adalah Bagaimana bila nantinya mahasiswa mendapatkan nilai rendah setelah mengikuti serangkaian proses matakuliah yang telah dituangkan dalam Rencana Pembelajaran Semester? Akankah mahasiswanya disalahkan atas pencapaiannya, ataukah dosennya yang dianggap tidak berhasil mendidik mahasiswanya?
Seringkali dosen sudah merasa sangat objektif dalam memberikan penilaian, namun disisi lain dosen tersebut dinilai pelit dalam memberikan nilai pada mahasiswa.
Sebagian mahasiswa juga seringkali tidak begitu peduli dengan hasil akhirnya karena beranggapan bahwa tanpa belajar pun mereka akan memperoleh nilai tinggi.
Perguruan tinggi kemungkinan dapat mengeluarkan kebijakan internal yang kontra produktif dengan meminta dosen untuk tidak memberikan nilai rendah kepada mahasiswa. Hal ini karena salah satu reputasi perguruan tinggi nantinya sangat ditentukan dari persentase kelulusan mahasiswanya dalam uji kompetensi. Kebijakan ini tentu akan berdampak terhadap psikologis dan objektivitas dosen dalam memberikan penilaian kepada mahasiswa. Hal ini juga dapat berdampak terhadap minat dan usaha belajar mahasiswa.