Lihat ke Halaman Asli

"Kim Ji-Young Born 1982"

Diperbarui: 16 Desember 2019   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film ini sudah lumayan lama ada di CGV tapi baru Sabtu lalu sempat nonton dengan pergulatan batin yang terkonfirmasi saat nonton filmnya. Betapa perempuan yang punya anak itu sangat dibebani rasa bersalah dan penghakiman saat ingin sekedar nonton, meninggalkan anak2 selama 2 jam seolah adalah indikasi keegoisan ibu. 

Ini film vulgar tentang pernikahan.

Kemarin nonton ini, dan cuman mau bilang kalau review-review yang bertebaran itu ada benarnya. Filmnya dengan plot yang maju mundur itu sukses membuat beberapa orang ngobrol di kursi belakang, coba memahami alurnya. Secara umum, Kim Ji-Young Born 1982 adalah film yang sangat lugas dan saya akui itu pilihan yang tepat untuk menggambarkan pengalaman subtle Ji Young.

Meskipun sudah sedemikian vulgar, tapi dalamnya, blurnya, dan gelapnya keterperangkapan peran perempuan hanya perempuan seperti Ji Young, saya, atau anda yang tau. Tapi tidak semua perempuan. Jadi jangan harap laki-laki paham. Setidaknya itu yang terlihat dari reaksi para penonton laki-laki yang kemarin nonton. Belum ada kata yang bisa menggambarkannya keterperangkapan dan dead end perempuan di lingkungan patriarchy. Ini sharing kesan yang mungkin dianggap sexist tapi tak apa. Bukan hanya laki-laki yg bisa sexist kan?

At least film semalem mengkonfirmasi rasa-rasa yang dikubur banyak perempuan. Beberapa adegan saat Ji Young berada di balkon, saat ia duduk menunggu cucian, atau saat memaparkan sinar matahari di wajahnya sambil memejamkan mata, saya yakin banyak perempuan pernah mengalami, seyakin pemikiran saya bahwa adegan itu semua luput dari pandangan suami.

Sementara ini, masih gemes juga dengan jargon dan iklan-iklan yg menggambarkan suami yang membantu pekerjaan istri. Nyadar gak to, perempuan tidak mengaharap bantuan. Bantuan itu menandakan ketidakmampuan. How frustrating.

Saya dan mungkin banyak emak lain mengajarkan anak-ank, entah laki atau perempuan untuk melakukan pekerjaan rumah, nyapu, ngepel, cuci, simply karena kami tinggal di rumah yang sama. Saya mengajarkan anak saya kalau habis makan langsung cuci piringya sendiri. Jadi mengapa itu harus berubah saat laki-laki menikah. Itu kan menyepelekan ajaran-ajaran emak namanya.

Kalau suami nyuci piring setelah makan, he's doing a normal thing that he's supposed to do. Kalau kemudian jadi istri yang nyuci semua piring kotor, she's doing what others are supposed to do. So when the husband steps in, how could it be called as helping? He and the kid are just doing what they're supposed to do. Many would compliment men for doing such things.

I mean, come on! We're doing the same things, tapi laki-laki yang bawa main anak will get those adoring looks and those who adore will usuallay at the same time say ridiculous things such as how lucky their women are. If your husband is not like that, you're unfotunate but not vice versa.
Aishhh.... This is so freaking frustrating.

Ji Young sebenarnya terlihat cukup contended with her life as a mother and wife, but not as a human being. Saya pribadi melihat masalahnya bukan being female, tapi pada sistem di mana perempuan berada. Mau bukti? Coba sekarang balik posisi DaeHyeon dan Ji Young. Pikirkan kalau Dae Hyeon ada di sistem yang meninggikan perempuan. Empati kemungkinan akan berpindah ke Dae Hyeon regardless of baeknya Ji young. It's not even about gender kan. Ini sistem yang memerangkap human being, either male or female.

By the way, best part dari acara nonton olangan kemarin adalah saat iklan marketplace sebelum film dimulai.
Melihat SeokJin dan Taehyung di layar lebar sungguh memuaskan. [maaf kalau terlanjur membaca intermeso yang ga jelas ini]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline