Lihat ke Halaman Asli

Petasan atau Kembang-api ?

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lebaran sebentar lagi ... Insya Allah ... [tergantung kepada hasil sidang-isbath]

Lepas dari semua itu, entah kapan mulai-nya, rasanya malam takbiran akhir ini selalu ramai dengan kembang-api. Mirip dengan kondisi perayaan tahun baru. Petasan atau mercon sudah berkurang. Sewaktu saya kecil, acara takbiran identik dengan pawai obor dan lampion keliling kampung. Sebuah peristiwa yang langka saat ini.

Kembali ke dunia petasan dan kembang-api, apa sebenarnya beda petasan vs kembang-api ? Petasan hanya meledak di darat, jelek gak ada warnanya, bikinan lokal, selongsongan dari kertas koran. Dan kembang-api adalah benda 'mirip petasa' tapi meluncur ke atas, meledak di udara, kemasannya menarik warna-warni full design, bikinan luar negeri (made in China ? coba cek !).
Kembang-api yang 'kuno' adalah yang sejenis lidi. Dipanaskan ujungnya, kemudian terbakar, lalu siap dilemparkan ke pohon supaya lebih indah semburan percikan apinya. Itu yang kuno.

Sedikit membelokkan pokok bahasan, rasanya petasan dan kembang-api mempunyai potensi 'merusak' yang sama : bisa menyebabkan kebaran, polusi suara, dan mempunyai unsur eksposif (ledakan). Hanya beda lokasinya saja udara dan di darat.

Pertanyaan yang ada di benak saya - sebagai orang yang dulu pernah menggeluti dunia petasan (membuat petasan mulai dari menggulung selongsong, mengisi bubuk petasa, memasang sumbu, dan menyimpan agar tidak ketahuan orang-tua tentunya ^___^) : mengapa 'industri' petasan lokal tidak bisa berkembang ?
Lebih mudah, lebih legal membeli kembang-api import daripada petasan lokal. Petasan hanya bisa ditemukan saat ada kawinan atau sunatan ala Betawi. Itupun petasannya harus memesan dulu di Parung. Mungkin dengan sembunyi-sembunyi yah ?

Mengapa petasan lokal diharamkan ? Dijadikan sasaran setiap operasi Ketupat ?
Saya tidak tahu alasannya, tapi yang jelas dasar hukum-nya adalah Undang-Undang Darurat Tahun 1951. Well, an old regulation ...
Tapi kembang-api yang 'sejenis' dengan mudahnya masuk Indonesia, diedarkan dijajakan dengan damai di sepanjang jalan dan pasar. Sekarang pun membeli petasan sama mudahnya membeli pulsa handphone, sama mudahnya membeli teh-botol atau aqua. Di mana ada jalan, di mana ada pasar, di sana ada kembang-api.

Saya hanya berandai-andai, misalnya pengrajin petasan ini dibina dengan baik, diberikan pengertian mengenai bahaya ledakan, diberikan kemampuan teknis membuat kembang-api, membuat desain kemasan yang cantik, kemampuan permodalan dan pemasaran ... kita tidak perlu import lagi dari luar-negeri. Ekonomi dalam negeri justru akan membaik, kehidupan di desa akan menggeliat. Sebelum puasa menjadi pengrajin kembang-api, setelah lebaran kembali ke sawah ...
Mengembangkan ekonomi ternyata mudah (menurut saya) kerjakan apa yang bisa dilakukan oleh kita, jangan tergantung luar-negeri terus.

Eh, tapi saya tidak mau jadi Menteri Perindustrian bidang Petasan, saya bisa dipukuli ayah - pakai sapu lidi ^___^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline