Selamat pagi ...
Rasanya sudah menjadi aksioma jika Lebaran itu sama dengan mudik. Identik. Lebaran sama dengan ramai-nya pusat perbelanjaan. Lebaran adalah antrian di kantor-kantor Pegadaian (bagi yang butuh dana), dan di stasiun bagi yang antri tiket. Eh, (menjelang) Lebaran juga saat 'hectic' nya di yayasan penyalur tenaga pembantu infal. Semua bergegas 'menyabut' Lebaran ...
Mudik oh mudik ...
Sebagai orang yang sudah punya KTP Jakarta - tapi belum merasa menjadi 'putra daerah' Jakarta, bagi saya mudik ada sebuah peristiwa yang heroik, penuh semangat. Apapun yang terjadi, pokoknya saat sholat ied harus ada di rumah (di kampung). Bagaimanapun caranya.
Itu adalah sebuah 'fenomena' sampai sebuah peristiwa yang membuat saya akhirnya mengubah paradigma itu menjadi 'mudik itu gak harus pas lebaran kok ... ' - sebuah pembenaran-diri saja. Alasan yang lain : kalo pasca-lebaran, banyak warung di kampung yang menjual makanan khas sudah buka penuh. Bisa menikmati kuliner.
Tapi sebenarnya bukan itu. Peristiwa mudik 3 tahun lalu membuat saya harus berpikir berkali-kali sebelum benar mudik.
Berangkat dari daerah Ragunan, selepas sholat isya pukul 20.00, menggunakan kendaraan pribadi yang sangat prima (dipinjami oleh adik-ipar karena dia harus bertugas di negara tetangga). Memasuki jalan lingkar-selatan sudah menemui kepadatan yang berbeda dengan hari-hari biasa.
Kemacetan sudah terasa sekali. Keluar di pintu Dawuan Timur, sudah menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Di sini sudah stuck, tidak bergerak sama-sekali. Pengemudi memutuskan untuk mencoba masuk tol lagi, untuk keluar di pintu Cikampek - menuju Subang.
[saat itu belum ramai media-sosial seperti twitter dan facebook yah, sehingga agak sulit menebak arah mana yang kosong]
Dengan perjuangan keras, keluar di pintu Cikampek sudah jam 04.00 pagi, dan sahur ala kadarnya di Subang. Sebuah warung sate yang hanya menyediakan pop-mie, karena nasi dan sate sudah habis. Kuah gule pun habis. Ludes diserbu para pemudik yang masih semangat untuk berpuasa.
[ada pemudik yang nekad sahur, padahal di masjid sudah mulai sholat subuh hihihi ... ]
Perjalanan dilanjutkan kembali. Sampai di sekitar pangkalan udara Kalijati - Subang sudah jam 06.30 pagi. Kemacetan juga sudah menunggu. Kendaraan hanya bergerak 5-10 meter kemudian berhenti total. Tidak ada petugas polisi ataupun penunjuk jalan alternatif.
Dengan bekal peta dan bertanya kepada penduduk setempat, akhirnya diputuskan untuk menempuh 'jalan pintas' melalui Sumedang. Entah daerah apa, yang jelas jalanan tanpa aspal menanjak menuju pegunungan dengan tanaman jati di kiri-kanan jalan.
Menemukan sebuah area pembibitan jati milik Perhutani di puncak bukit. Kelelahan cukup terobati dengan pemandangan yang cukup bagus dan udara yang segar.
Kemudian memasuki daerah di perbukitan dengan hutan yang masih hijau serta banyak kolam-ikan milik penduduk berada di halaman rumah. Daerah ini sangat menakjubkan, seperti daerah Bandungan atau Kopeng di Semarang, tapi lebih didominasi oleh vegetasi hutan. Dingin.
Perjalanan berujung di daerah Dua-Jambu (?) namanya kurang-lebih seperti itu. Seperti sebuah pusat kecamatan. Ternyata petualangan dan kemacetan belum berakhir. Di tengah hutan pun masih macet. Kendaraan harus berjalan beriringan, mengular dan padat.
Kondisi medan yang berkelok serta penuh tanjakan-turunan, menyebabkan banyak kendaraan yang harus menepi karena kerusakan mesin. Repotnya, tidak ada rumah penduduk apalagi bengkel. Indikator bensi di mobil sudah berkelip-kelip. Nah ...
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.15 siang. Saatnya sholat dhuhur. Sembari mencari masjid dan SPBU terdekat dengan harap-harap cemas. Memasuki sebuah kecamatan lagi, menemukan SPBU dan langsung isi pertamax penuh (bagian premium ada antrian panjaaang).
Lanjut lagi, non-stop ... beristirahat di sebuah rumah-makan ala Padang yang lebih mirip pasar, karena ramainya pembeli. Kali ini yang makan hanya balita, sementara yang dewasa tetap semangat puasa.
Digeber selama 3.5-4 jam sampailah di daerah Brebes, pukul 17.00 sore. Berhenti di sebuah grup rumah-makan yang gemar memasang iklan spanduk banner jauh sebelum lokasinya. Misalnya 'RM Anu 50-km di depan' hihihihi ...
Tepat jam 19.00, sebuah perjalanan mudik dilanjutkan. Penumpang merem karena sudah kenyang dan capek, sementara mas sopir pun sudah 'fully-charged' dengan nasi dan kopi. Dari arah Brebes, jauh lebih lancar dibandingkan ruas sebelumnya, karena sudah ada yang memecahkan arah menuju selatan seperti Wonosobo dll.
Akhirnya sampai di kota tujuan pada pukul 24.00. Perjalanan selama 28 jam yang heroik. Biasanya bisa ditempuh dalam waktu 11 jam, kali ini ada bonus waktu di jalan selama 17 jam.
Begitu hebohnya perjalan, tapi dilakukan dengan penuh semangat.
Sekarang ?
nampaknya lebih dari sekedar heroik. Lihat saja penambahan pemudik-bermotor. Menyemut di sepanjang jalan, terutama di jalur Pantura ! Keinginan untuk bertemu dengan sanak-keluarga di rumah membangkitkan niat dan semangat untuk kembali ke 'selera asal'.
***