Lihat ke Halaman Asli

Pelaksanaan Hak Peserta Didik Jalur Pendidikan Informal (3)

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

http://www.facebook.com/note.php?saved&&note_id=197928366917501&id=136573376360419 DISKRIMINASI DALAM PENDIDIKAN Pendidikan Informal, jelaslah merupakan anak tiri dunia pendidikan. Mainstream dalam berbagai kebijakan dan pembangunan oleh Pemerintah adalah Pendidikan Formal (SD, SMP, SMA/SMK). Pendidikan Informal, yaitu pendidikan oleh keluarga dan lingkungan merupakan kasta terendah, pendidikan formal yang paling utama, kemudian pendidikan non formal, barulah terakhir pendidikan informal. Padahal, dalam sistem pendidikan nasional, ketiga jalur tersebut dapat saling melengkapi dan memperkaya.

UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 7. Jalur pendidikan adalah wahana  yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Pasal 13 (1) Jalur pendidikan  terdiri atas pendidikan  formal, nonformal, dan  informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya Pasal 16 Jalur,  jenjang,  dan  jenis  pendidikan  dapat  diwujudkan  dalam  bentuk  satuan  pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Sesuai UU, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah berkewajiban:

Pasal 11 (1) Pemerintah  dan  pemerintah  daerah  wajib memberikan  layanan  dan  kemudahan, serta  menjamin  terselenggaranya  pendidikan  yang  bermutu  bagi setiap  warga negara tanpa diskriminasi.

Diskriminasi bukan hanya dilakukan oleh Pemerintah (pusat dan daerah), tapi juga banyak dilakukan oleh kalangan pendidikan formal. Amanat undang-undang untuk dapat saling melengkapi dan memperkaya, pendidikan informal sepertinya bertepuk sebelah tangan. Paling tidak diskriminasi, yang jelas bertentangan dengan UU terjadi dalam 3 hal, (1) pengakuan oleh negara, (2) perluasan akses/penganggaran pembangunan, dan (3) prinsip multi entry multi exit. Pendidikan Paket C kolaborasi dengan Ormas Kembang Latar PENGAKUAN OLEH NEGARA Pengakuan oleh negara terhadap hasil pendidikan ditunjukan dengan memperoleh IJASAH, setelah peserta didik mampu lulus dalam suatu Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh negara. Berdasarkan amanat undang-undang, hasil pendidikan informal dapat diakui sama dengan pendidikan formal maupun non formal, setelah melalui ujian nasional sebagai berikut:

UU Sisdiknas, Bagian Keenam Pendidikan Informal Pasal 27 (1) Kegiatan  pendidikan  informal  yang  dilakukan  oleh  keluarga  dan  lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. (2) Hasil  pendidikan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) diakui  sama  dengan pendidikan  formal  dan  nonformal  setelah  peserta  didik  lulus  ujian  sesuai  dengan standar nasional pendidikan. (3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan  informal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Ujian dengan standar nasional pendidikan adalah ujian yang diselenggarakan oleh negara, yang diselenggarakan secara independen oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP), yaitu UN jalur pendidikan formal (SD, SMP, SMA/SMK) dan UN jalur pendidikan non formal (Program Pendidikan Paket A/Setara SD, Paket B/Setara SMP dan Paket C/Setara SMA). Mestinya, jika membaca Pasal 27 Ayat (2) di atas, peserta didik informal (homeschooler) dapat mengikuti atau UN Formal atau UN Non Formal. Setelah menunggu selama 7 tahun, akhirnya untuk Pasal 27 ayat (3) di atas ada peraturan pemerintahnya, yaitu PP no. 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. PP ini segera mengalami perubahan setelah beberapa buan saja yang dituangkan dalam PP no. 66 tahun 2010 tentang Perubahan PP no. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan demikian:

PP no. 17/2010 Pasal 117 (1)  Hasil pendidikan informal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan nonformal dan formal setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2)  Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. Uji kesetaraan yang berlaku bagi peserta didik pendidikan nonformal sebagaimana diatur dalam Pasal 115; dan b.  Uji kesetaraan yang diatur dengan Peraturan Menteri untuk hasil pendidikan informal lain yang berada di luar lingkup ketentuan dalam Pasal 115. Bagian Kelima Penyetaraan Hasil Pendidikan Pasal 115 (1)  Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil pendidikan formal setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Program Paket A, Program Paket B, Program Paket C,  dan Program Paket C Kejuruan dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan.

Jelaslah para pesekolahrumah, yaitu peserta didik dalam jalur pendidikan informal, diarahkan untuk hanya bisa mengikuti UN di jalur pendidikan non formal, yaitu UN Paket ABC. IJASAH PAKET ABC SANGAT KURANG DIHARGAI Walaupun pada Ijasah Paket C ada tertulis "ijasah ini berpenghargaan sama dengan ijasah Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah." Demikian juga untuk Ijasah Paket B yang berpenghargaan sama dengan ijasah SMP/MTs dan Ijasah Paket A berpenghargaan sama dengan SD/MI; ternyata tetap saja ijasah ini kurang dihargai. Masyarakat umumnya menilai ijasah ini lebih rendah dari ijasah satuan pendidikan formal, atau bahkan memang tidak berharga. Mengapa demikian? Ijasah Paket C, berpenghargaan sama dengan Ijasah SMA/MA. Keluarnya 4-5 bulan setelah SNMPTN Beberapa sekolah swasta favorit secara jelas menolak ijasah Paket, dulu ada beberapa perguruan tinggi negri (al. ITB) yang juga menolak. Hal ini rupanya menjadi keprihatinan Menteri Pendidikan Nasional, yang mana pada tanggal 23 Juni tahun 2006 membuat Surat Edaran Tentang Program Kesetaraan no. 107/MPN/MS/2006; ditujukan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, para Kepala Staf TNI, Kepala Kepolisian RI, Badan Kepegawaian Negara, serta seluruh Rektor/Direktur Politeknik/Ketua Sekolah Tinggi; memberitahukan bahwa:

  1. Setiap orang yang lulus ujian kesetaraan Paket A, Paket B, Paket C masing-masing memiliki hakeligibilitas yang sama dan setara dengan berturut-turut pemegang ijasah SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA dan dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi.
  2. Status kelulusan program pendidikan kesetaraan Paket C memiliki hak eligibilitas yang sama dengan pendidikan formal dalam memasuki lapangan kerja.
  3. Setiap lembaga diminta mematuhi ketentuan perundang-undangan tersebut di atasagar tidak diindikasikan melanggar hak azasi manusia.

UN Pendidikan Kesetaraan dan Ijasah Paket dianggap kurang berharga karena:

  1. UN Paket adalah UN "Cadangan" bagi peserta didik satuan pendidikan formal, mereka yang tidak lulus UASBN SD, UN SMP dan UN SMA; diberi kesempatan ikut UN Paket. Sulit membayangkan anak yang tidak lulus UN sebulan sebelunnya, bisa lulus UN Paket. Apakah dalam sebulan dia bisa mengejar ketertinggalannya? Belum lagi kenyataan bahwa UN Paket memiliki tingkat kesulitan yang kurang lebih sama.
  2. Konsekuensinya UN Paket dilaksanakan belakangan, menunggu pengumuman hasil UN pendidikan formal. Pelaksanaan UN Paket yang belakangan, ditambah lagi dengan proses pengumuman hasil UN Paket, menunggu keluarnya blangko ijasah, penulisan ijasah menempel foto pemegang ijasah berikut cap 3 jari dan tandatangannya, tandatangan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten dan cap dinas pendidikan, legalisir dll. Dari pelaksanaan UN Paket sampai ijasah diterima peserta didik dibutuhkan waktu kurang lebih 5 bulan...
  3. Anak-anak peserta UN Paket tidak dapat mengikuti seleksi penerimaan murid baru di jenjang yang lebih tinggi pada tahun yang sama. PTN (melalui SNMPTN) dan satuan pendidikan negri (SMPN, SMAN) menuntut adanya paling tidak keterangan sudah lulus jenjang pendidikan sebelumnya. Tahun 2011 ini, seleksi masuk PTN dilakukan pada awal Juni, mensyaratkan ijasah atau keterangan sudah lulus; padahal UN Paket C dijadwalkan baru akan dilaksanakan pertengahan Juni.
  4. Terakhir, yang paling menyeramkan adalah: telah diketahui umum bahwa UN Paket C hampir seluruhnya 'dijamin lulus'; walaupun para peserta didik non formal (PKBM) tidak pernah belajar atau dapat dikatakan sama sekali tidak kompeten. Akuntabilitas UN Paket sangat dipertanyakan.

UN Paket dilaksanakan 2x setahun, yaitu Periode 1 pada bulan Juni/Juli dan Periode 2 di bulan Oktober/November. Nilai yang telah dicapai pada UN Paket Periode I dapat dikonversi menjadi nilai di Periode II. Peserta UN dapat berkonsentrasi hanya pada mata pelajaran yang nilainya belum lulus. Jadi jika peserta formal memiliki kesempatan mengikuti UN 3x setahun (sekali UN formal+2x UN Paket); peserta didik informal dan non formal hanya berkesempatan mengikuti UN 2x setahun. Jika UN formal lulus langsung dapat mengikuti pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi baik di jalur formal maupun non formal/informal di tahun yang sama; maka peserta didik informal dan non formal hanya bisa masuk jalur pendidikan non formal/informal pada tahun yang sama, tapi telah terlambat untuk memasuki jalur pendidikan formal pada jenjang yang lebih tinggi. Apakah ini bukan diskriminasi? PINDAH ANTAR JALUR PENDIDIKAN Peserta didik formal yang pindah jalur memasuki pendidikan non formal apalagi informal sangatlah mudah, tapi apa yang terjadi jika diinginkan sebaliknya? Sangat sulit dan diskrimintaif. Pindah jalur adalah hak setiap peserta didik sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas bahwa prinsip pendidikan kita membolehkan muti entry multi exit (sudah diuraikan pada tulisan pertama). Prosedur yang dilakukan untuk pindah jalur pendidikan dari jalur informal (sekolahrumah) ke jalur pendidikan formal (sd, smp, sma) di Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut:

  1. Pesekolahrumah (tunggal atau komunitas), dengan membawa portofolio/bukti belajarnya (termasuk rapor) beserta ijasah dari jenjang setingkat di bawahnya; meminta validasi dan surat pengantar dari Dinas Pendidikan tempat si anak tinggal/belajar atau tempat komunitasnya ada.
  2. Surat Pengantar+Validasi+Bukti Belajar di bawa ke sekolah tujuan dan ke Dinas Pendidikan tempat sekolah itu ada untuk diproses kepindahannya.
  3. Sekolah yang dituju atau dinas pendidikan tempat sekolah formal melakukan Uji Kelayakan atau Tes Penempatan bagi anak tersebut.
  4. Selanjutnya berdasarkan hasil uji kelayakan dan persetujuan dari Pengawas Sekolah dan Dinas Pendidikan (setingkat Kabid), sekolah formal yang dituju dapat memutuskan untuk menerima atau menolak siswa tersebut.

Di Kota Tangerang Selatan, hal ini tidak terlalu sulit dilaksanakan; tapi di luar Tangsel sangat tidak umum dilakukan. Biasanya pejabat dinas pendidikan setempat akan kebingungan, karena biasa bekerja berdasarkan juklak-juknis dan POS. Ketika tidak ada petunjuk dan prosedur standar, mereka kehilangan pegangan. Walaupun sudah jelas ada diamanatkan di UU, tanpa SOP kebanyakan dari mereka tidak bisa bekerja. Bukan hanya itu, biasanya orangtua bahkan komunitas sekolahrumah tidak memahami hal ini. Untuk gampangnya, biasanya mereka bersedia bayar mahal. Mengandalkan kekuatan uang, bahka mengharap anak bisa diakselerasi dalam kepindahannya ke sekolah formal, walau pencapaian kometensinya sangat minim, tapi herannya bisa lulus juga. Jadilah apa yang disebut homeschooling by accident, accelerated by money and graduated by cheating. DISKRIMINASI PERLUASAN AKSES Tiga jalur pendidikan dalam sistem pendidikan nasional dikatakan dapat saling melengkapi dan memperkaya; artinya tidak ada yang lebih superior. Pendidikan informal jelas tidak lebih inferior dibandingkan pendidikan formal, bahkan apa yang tidak mampu dididik di pendidikan formal, sekolahrumah mampu melaksanakannya (homeschool by accident). Tapi bagaimana pandangan pemerintah? Mari kita lihat peraturan pemerintah terbaru yang mengatur tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.

PP no. 17/2010 Pasal 20 (1)  Gubernur menetapkan target tingkat partisipasi pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan yang harus dicapai pada tingkat provinsi. (2)  Target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhimelalui jalur pendidikan formal dan nonformal. (3)  Dalam memenuhi target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah provinsi mengutamakan perluasan dan pemerataan akses pendidikan melalui jalur pendidikan formal.
Pasal 31 (1)  Bupati/walikota menetapkan target tingkat partisipasi pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan yang harus dicapai pada tingkat kabupaten/kota. (2)  Target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. (3)  Dalam memenuhi target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah kabupaten/kota mengutamakan perluasan dan pemerataan akses pendidikan melalui jalur pendidikan formal.

Dalam pasal-pasal tersebut Pemda hanya perlu menargetkan tingkat partisipasi pada jalur pendidikan formal dan non formal. Bahkan jelas dikatakan "mengutamakan perluasan dan pemerataan akses pendidikan melalui jalur pendidikan formal". Lalu jalur pendidikan informal dikemanakan? Jelaslah pemerintah pusat yang membuat PP tersebut tidak berkehendak jalur pendidikan informal dikembangkan; perluasan dan pemerataan akses pendidikan tidak untuk jalur pendidikan informal. Tidaklah heran jika anggaran pemerintah untuk jalur pendidikan non formal dan informal sangat minim. Anggaran untuk PNFI biasanya tidak lebih dari 4% dari keseluruhan anggaran untuk pendidikan. Dari 4% itu biasanya hanya mampu diserap paling banyak separuhnya, itupun melulu untuk jalur pendidikan non formal (PAUD, PKBM, Kursus, dll.), untuk jalur pendidikan informal: NIHIL. Padahal dengan berkembangnya berbagai komunitas pendidikan informal, yang juga banyak masuk ke masyarakat akar rumput, bantuan pemerintah dapat sangat menguatkan. PENUTUP: KEMANDIRIAN SEKOLAHRUMAH Ketika mengunjungi UN Sekolah Rumah (UNSR) yang menyelenggarakan UN Paket di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada bulan Juni/Juli 2010, Wakil Gubernur Banten, Bp. H. Masduki; memuji pendidikan informal/sekolahrumah sebagai jalur pendidikan yang dapat menjadi terobosan partisipasi masyarakat, pemerintah tidak perlu membangun ruang-ruang kelas karena setiap rumah bisa menjadi kelas, tidak perlu menyediakan guru karena orangtua menjadi guru bagi anaknya; tidak perlu menyediakan laboratorium, perpustakaan, lapangan olahraga sekolah... karena seluruh fasilitas kota dapat menjadi fasilitas pendidikan informal. Ya, memang pendidikan informal, yaitu pendidikan oleh keluarga dan lingkungan sangatlah mandiri, sangat tidak bergantung pada pemerintah. Perkembangan sekolahrumah sebagai pendidikan alternatif, lebih banyak karena upaya dari komunitas, asosiasi, pelaku dan penggiat sekolahrumah serta tokoh-tokoh yang peduli pendidikan. Sekolahrumah juga mereformasi bentuknya, bukan hanya pendidikan yang dilakukan oleh keluarga, tapi menjadi semacam gerakan pendidikan mandiri oleh masyarakat; yang tidak hanya menjangkau keluarga menengah ke atas, tapi masuk sampai ke akar rumput masyarakat. Terlalu banyak masalah pendidikan yang tidak bisa diatasi dalam jalur pendidikan formal, sekolahrumah melengkapi apa yang kurang, memperkaya yang misikn pendidikan, memberikan pengharapan baru bagi mereka yang putus sekolah. Sekolahrumah memerlukan pengakuan bagi anak didiknya, mereka perlu ijasah. Peran pemerintah diharapkan dapat mempermudah pelayanan kesertaan dalam UN ini, baik dalam jalur pendidikan formal maupun non formal. Jika diijinkan, biarlah mereka menyelenggarakan dalam titik-titik pelaksanaan UN khusus untuk anak-anak pesekolahrumah seperti yang dilakukan di Tangerang Selatan. Orangtua terlebih banyak yang menghendaki anaknya sungguh mengikuti ujian nasional secara jujur, dan diharapkan dengan UN yang memang sepadan dalam menguji kemampuan anak. Kadangkala anak-anak ingin juga menikmati 'sekolah bareng-bareng' yang bisa dipenuhi sekolah formal manakala komunitas sekolahrumah tidak terakses oleh anak-anak tersebut. Pemerintah dapat berperan mempermudah proses mutasi ke sekolah formal, baik untuk sepenuh waktu maupun sebagai 'murid' tamu yang bergabung hanya dalam kelas-kelas mata pelajaran tertentu. Pemerintah juga dapat mendorong sekolah-sekolah formal tertentu untuk menjadi mitra bagi keluarga atau komunitas sekolahrumah dalam mendidik anak-anaknya. Kontribusi sekolahrumah bagi sekolah formal jangan utamanya dalam sumbangan pembangunan, tapi metode dan inspirasi pendidikan yang sangat kaya dari sekolahrumah akan dapat memajukan juga sekolah formal. Demikianpun anak-anak sekolahrumah yang banyak sekali belajar secara spesialis/kejuruan dapat memperkaya siswa-siswa sekolah formal. Peranserta masyarakat dalam mendidik sesamanya melalui jalur pendidikan informal, dapat menjadi koreksi terhadap kebijakan pendidikan yang generik berbasiskan kelas-kelas formal. Pendidikan informal yang berangkat dari inisiatif masyarakat secara nyata mampu memberikan pendidikan yang lebih sesuai dengan kebutuhan anak, kebutuhan masyarakat, kebutuhan bangsa.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline