Beberapa penulis dan motivator menyatakan bahwa orang BISA sukses walaupun tanpa ijasah, lalu disebutkan beberapa kisah sukses dan contoh mereka yang otodidak dan sukses (Thomas Alpha Edison, Adam Malik, Wright bersaudara, George Washington dll.). Para pesukses tanpa ijasah ini sebagian adalah para homeschooler. Beberapa aktivis pesekolahrumah yang kebetulan juga penulis buku, mengkampanyekan pemikiran yang sama, bahkan lebih ekstrim: tidak perlu ijasah untuk bisa sukses. Anak-anak sebaiknya belajar apa yang mereka suka saja, alias belajar mau-maunya anak. Itulah --menurut mereka-- yang asli homeschooler, pesekolahrumah sejati, yang akan mampu menggali potensi si anak. Sebagai catatan: hampir semua aktivis ini anak-anaknya adalah pesekolahrumah balita, atau masih pra TK. Anak mereka yang lebih besar umumnya sekolah formal biasa. Pandangan ini kemudian menulari beberapa keluarga lain; yang anak-anaknya hanya belajar apa yang mereka sukai, tidak mau menyentuh buku Pendidikan Kewarganegaraan dan Matematika; lebih asyik game online, bermusik dan olahraga. Para orangtua yang anaknya asyik jadi gamer berkilah: "mereka juga bisa jadi programer pembuat game yang sukses". Semoga saja demikian. Kusno, anak 17 tahun siswa sebuah SMK, yang mendapat sponsor untuk sekolah gratis di SMK Fensensius, Rawamangun Jakarta; memutuskan untuk berhenti sekolah. Dia begitu terkesan dengan ajaran "ada tetangga kampungnya di Paninggaran Pekalongan yang tidak bisa baca tapi bisa kaya". Dia tidak begitu suka belajar, tepatnya: lebih suka keluyuran dan belajar di jalanan. Lagipula, bukankah rejeki bagi seseorang itu keputusan Yang Maha Kuasa? Sekarang, kemana si Kusno ini? Apakah Pendidikan? Apakah Belajar? Apakah Ijasah? Saya sangat menyukai definisi pendidikan dalam UU no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Saya kira kita semua menyepakati itulah definisi pendidikan. Marilah lihat ke dalam, apakah kita telah memberikan pendidikan kepada anak-anak kita? Apaka homskul yang diselenggarakan secara sadar dan direncanakan? Perencanaan antara lain mengandung makna adanya tujuan yang jelas dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Mungkin mereka sekarang hidup lebih hepi-hepi, bagaimana ke depan? Sekolahrumah sendiri termasuk dalam Pendidikan Informal, yang berdasarkan undang-undang yang sama, didefinisikan sebagai berikut:
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Jelaslah dalam definisi tersebut, kata kuncinya adalah: keluarga & lingkungan serta mandiri. Lalu yang disebut belajar apa maknanya? Pada hakekatnya belajar adalah:
suatu proses perubahan kepribadian, menuju keadaan yang lebih baik, lebih mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang terus berubah, yang nyata dari praktis hidup dalam kesehariannya, dan bersifat permanen.
Perubahan kepribadian bisa terjadi dimana dan kapan saja, oleh siapa atau dalam peristiwa apa saja. Orang bisa belajar dari buku, multimedia, guru, atau yang paling mahal: belajar dari pengalamannya sendiri. Orang yang pribadinya (pikiran, perasaan, fisik, perilaku) tidak berubah, menunjukan tidak pernah belajar. Lalu, apa kata undang-undang tentang ijasah? Apa nilai yang terkandung di dalamnya?
Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yangdiselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
Ijasah adalah suatu tanda pengakuan. Untuk memperoleh pengakuan nasional oleh negara, anak perlu lulus dari Ujian Nasional. Masyarakat berhak juga mendirikan lembaga evaluasi, yang bisa mengeluargan sertifikat kompetensi semisal 'sertifikat kompetensi pembuat kue pastel' atau 'sertifikat kompetensi pelancong'. Program pendidikan kejuruan mengeluarkan sertifikat kompetensi selain ijasah. Untuk apa ijasah? Tanpa ijasah apakah orang dapat hidup? Tentu saja bisa, tidak diragukan lagi; bukankah hidup dan berkat itu dari Tuhan Yang Maha Ada? Tanpa ijasah bisakah anak sukses? Bisa saja, bukankah kesuksesan itu bergantung pada kerja keras/pintar pribadi masing-masing? Tanpa ijasah apakah berarti tidak becus/kompeten? Tentu saja tidak, kompetensi itu kan ada dalam si anak yang diperoleh dari proses belajar, diakui atau tidak tetap ada. Lalu untuk apa ijasah? Pengakuan/ijasah nasional menunjukan tingkat pencapaian kompetensi anak sesuai dengan standar nasional, sampai pada jenjang tertentu. Jika belum lulus SD anak kita tidak bisa masuk SMP, demikian seterusnya sampai ke perguruan tinggi. Berapa mahasiswa perguruan tinggi nasional mendaftar ikut UNSekolahRumah karena tidak memiliki ijasah nasional, sungguhpun mereka sangat mumpuni dalam mengikuti kuliah pada jurusan yang dia tempuh. Selain itu, hampir semua lembaga yang membuka lapangan kerja menuntut adanya si ijasah ini; walaupun seringkali tuntutan kerjanya tidak ada sangkut pautnya dengan kompetensi yang tertera dalam pengakuan tersebut. Untuk menjadi satpam, spg, lurah, wakil rakyat, tentara, polisi, pengacara, notaris, jaksa, pegawai negri, dokter, akuntan, perawat, guru (sekolah formal/nonformal), bidan, psikolog, apalagi presiden (di Indonesia), juga untuk menjadi buruh garmen; dituntut adanya ijasah. Jika anak ingin berwirausaha, tentu tidak dituntut adanya ijasah. Tanpa ijasah juga bisa jadi artis sinetron, musisi, presenter, pelawak, guru informal, tabib/dukun, petani, nelayan, peternak, pesulap, paranormal, peramal, penulis novel, bahkan presiden (bukan di Indonesia saat ini); juga terbuka lapangan kerja sebagai tukang sayur, tukang kue, tukang ikan, tukang ojek, kenek, sopir, buruh bangunan, tukang kayu, pengamen, pengatur lapak dan tikungan, membuka sekolahrumah atau bahkan mengurus asosiasi. Sungguhpun tidak memerlukan ijasah, kompetensi sesuai dengan bidangnya adala sangat penting. Tukang sayur sangat memahami memilih sayuran yang menguntungkan untuk dijual, kapan dan dimana membelinya, tahu membagi seberapa banyak cabai harga seribu, dll.; bila tidak kompeten, karir sebagai tukang sayur segera akan tamat. Pelawak mesti pintar mengetahui isyu-isyu terkini dalam masyarakat, dan memahami bagaimana memlesetkannya untuk menjadi lucu; pelawak tidak kompeten biasanya cuma bisa melecehkan dan menghina lawan mainnya (herannya, ini juga dianggap lucu). Tukang kue pastel tentu harus memahami benar bagaimana membuat kue yang enak dan layak jual dengan harga yang bisa diterima pasar, hanya mampu membuat kue tanpa kompetensi menjual, maka dia akan mengkonsumsi kuenya sendiri. Jadi, baik orang berijasah maupun tanpa ijasah bisa untuk sukses, dalam bidang-bidangnya masing-masing. Hidup ini kan serangkaian pilihan. Silakan saja desain kemana anakmu akan pergi menjadi... Bagaimana peluang untuk sukses? Sukses itu apa? Ada banyak definisi, yang intinya mirip-mirip saja. Bagi saya, sukses artinya bisa berbagi dengan sesama dan tanah air. Orang sukses memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya secara maksimal sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya, mereka bahagia dengan pencapaiannya. Sebaliknya, orang yang tidak sukses adalah yang menjadi beban dan parasit bagi masyarakatnya. Orang bisa kaya dengan memiskinkan banyak orang, ... bisa punya ijasah dengan curang; apakah mereka sukses. Bagi kami mereka adalah pecundang. Marilah kita jujur, lihatlah sekeliling, berapa banyak orang yang bisa sukses... atau setidaknya hidup cukup baik dalam batas rata-rata kecukupan tanpa ijasah? Kenapa tetap saja sekolah formal terus menjadi pilihan utama? Mengapa anak-anak pesekolahrumah boleh dikatakan seluruhnya mengikuti UN untuk memperoleh ijasah? Karena ijasah itu penting, paling tidak di negri ini; entahlah kalau di dunia virtual 'second life'. Berapa banyak orang tidak berijasah bisa sukses? bandingkan dengan anak-anak tidak berijasah yang kesulitan dalam hidup? Dengan segala hormat pada para kenek, tukang sayur, tukang ojek, bakul jajan pasar; yang juga sangat penting mengisi hidup sosial kita; apakah mereka tidak menyekolahkan anaknya dan mendidik anaknya untuk menjadi seperti orangtuanya? Mengapa mayoritas petani ingin anaknya sekolah dan memiliki ijasah? Apakah mereka hanyalah pemimpi? Marilah kita lihat para konglomerat, wirausahawan sukses yang boleh dibilang tidak berijasah tinggi, apakah mereka tidak menyekolahkan anaknya (termasuk bersekolahrumah) dan membiarkan anak-anaknya tanpa ijasah? Suatu pemikiran naif jika menyangka demikian. Nah, untuk memperoleh pengakuan negara/ijasah secara jujur, perlu melewati Ujian Nasional, evaluasi pendidikan oleh negara. Tentu saja anak-anak mesti belajar sesuai dengan tuntutan standar nasional. Apakah mungkin bisa lulus jika tidak belajar Pendidikan Kewarganegaraan? Apakah pelajaran membuat kue pastel bisa membuat anak lulus UASBN? Kendatipun kompetensi membuat kue adalah menarik dan bisa jadi modal untuk berwirausaha tukang kue, tapi tanpa belajar PKn, IPS, IPA dan MTK; maka sulitlah dipikirkan bagaimana anak-anak ini bisa lulus UASBN dengan tanpa kecurangan. Saudara-saudaraku para penggiat sekolahrumah yang terkasih; khususnya yang sering menyepelekan UN, menganggap ijasah tidak perlu, menyiarkan sekolah formal tidaklah sehebat mendidik anak model mau-maunya sendiri; silakanlah didik anak-anakmu dengan cara yang paling tepat menurutmu sendiri. Tapi tolong, jika engkau juga menyertakan anakmu ikut UN (walau hanya untuk memperoleh ijasah, makanya curang, karena tidak kompeten tapi butuh), atau bahkan anaknya sendiri bersekolah formal (bersekolahrumah saja tidak); janganlah bersikap munafik dan kemudian menyesatkan keluarga lain. Bagi saya, bersekolahrumah adalah cara terbaik mendidik anak, yaitu yg sebagaimana definisi pendidikan di atas. Jika orangtua memiliki keterbatasan dalam kompetensi akademis, atau mungkin tidak cukup sabar dalam mengajar, atau tidak bisa membuat anak tidak bosan, tidak mampu memotivasi belajar mandiri si anak; silakan kirim anakmu ke bimbel atau komunitas hs yang pelayanan akademisnya bagus (bukan sekedar kumpulan jalan-jalan, bermimpi dan ngerumpi), atau menyewa guru privat, atau tidak usah malu-malu untuk dikembalikan ke sekolah formal. Bagaimanapun itu anak kita sendiri, pilihlah yang terbaik bagi mereka, dan tentu saja yang realistis. Salam pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H