Minggu, 23 Juli 2017. Saya bersyukur bisa berdiskusi dan duduk satu meja dengan salah satu pakar arkeolog terkemuka dari Universitas Indonesia, Prof. Agus Aris Munandar. Adalah KMHDI dan Peradah, 2 ormas Hindu yang mengundang kami berdua sebagai pembicara dalam diskusi publik "Jangan lupakan sejarah. Tolak rekayasa sejarah Majapahit".
Sekitar seminggu lalu, ketika Ketua Umum Peradah menghubungi saya untuk menjadi pemateri, saya sadar bahwa saya samasekali bukan insan sejarawan. 100 % awam. Namun ini saya anggap tantangan. Berbeda dari diskusi masalah2 sosial yang dapat menggunakan common sense, diskusi sejarah harus merujuk pada referensi tertentu, minimal referensi yang sifatnya sekunder. Maka saya membeli 3 buku dari toko online : Catuspata Arkeologi Majapahit, Keistimewaan Candi2 Zaman Majapahit, dan Pararaton. 2 buku pertama secara kebetulan adalah karya Prof Agus Arismunandar.
Saya sebut kebetulan, karena saat pertamakali dihubungi dan kemudian beli buku itu, saya belum tau beliau akan menjadi pembicara. Maka hari ini saya secara diam2 mengajukan special request kepada moderator agar diberikan kesempatan pertama menyampaikan materi. Tujuannya, kalau saya keliru, pakar arkeolog yang menjadi pembicara selanjutnya dapat meluruskan. Itu alasan normatifnya. Alasan sesungguhnya adalah karena saya sadar materi saya banyak mengambil dari buku beliau, akan garing bila beliau sudah bedah tuntas duluan. lagi pula, saya lebih banyak melihat dari sudut pandang Hindu, bukan teknis arkeolog - peran yang saya yakin akan diambil oleh Prof Agus. Jadi saya harapkan diskusi akan mengalir dari umum ke khusus, sehingga peserta mendapat alur logika yang lebih mudah.
****
Berbicara sumber2 sejarah, sesungguhnya mirip dengan berbicara kitab suci. Dua2nya berbicara proses pembuatan dan penulisan pesan, penanda dimasa lalu yang harus diartikan dan ditafsirkan di masa kini. Dalam Hindu, sebuah purana atau itihasa harus diuji dengan Sruti atau Smerti. Bila tidak cocok, maka itihasa atau purana itu harus dianggap lemah, atau harus ditafsirkan secara berbeda. Setahu saya (cmiiw), hal yang sama juga berlaku pada hubungan hadist dan alquran dalam agama Islam.
Demikian pula halnya dengan pemeringkatan bukti2 arkeologis. Bukti arkeologis yang paling sahih adalah Prasasti terutama yang sejaman. Namanya prasasti, ia memang dibuat untuk tujuan dokumentasi resmi di jaman itu, dibuat langsung oleh pelaku sehingga menduduki peringkat pertama dalam kesahihan. Kedua adalah Candi/Artefak. Ketiga adalah karya sastra yang lahir di jaman itu, dan terakhir adalah legenda, mitologi dan pendapat para ahli.
A. Telaah Arkeologi
A1. Prasasti
Beberapa prasasti dari jaman Majapahit adalah :
1. Prasasti Waringin Pitu (1447 M)
Prasasti Waringin Pitu mengungkapkan bentuk pemerintahan dan sistem birokrasi dari Kerajaan Majapahit yang terdiri dari beberapa kerajaan bawahan. Kerajaan bawahan tersebut dipimpin oleh seorang yang bergelar Bhre. Contoh :
* Bhre Kahuripan : Paduka Bhattara ring Kahuripan Rajasa Wardhana Dyah Wijaya Kumara.
* Bhre Daha : Paduka Bhattara ring Daha Sri Bhattara Jayawardhani Dyah Jayeswari.
* Bhre Tumapel : Paduka Bhattara ring Tumapel Singa Wikrama Wardhana Dyah Sura Prabawa.
Perhatikan penggunaan terminologi "bhattara" dalam gelar tersebut. Dalam Hindu, manifestasi Tuhan disebut dengan beberapa istilah :
- "Bhattara" (Devanagari: ; Bhara) adalah Tuhan dalam wujudnya sebagai pelindung.
- Dewa (Devanagari: ) : Sinar suci Tuhan
Prasasti Waringin Pitu juga mencatat dua dharmmadhyaksa atau pemimpin urusan agama yaitu :
* Dharmmadhyaksa ring Kasaiwan Dang Acaryya Iswara, Siddhantapaksa, penganut agama Siwa aliran Sidanta
* Dharmmadhyaksa ring kasaugatan Dang Acaryya Sastraraja, boddhatarkka parisamapta, putus pengetahuan dalam ilmu mantik agama buddha
Istilah Dharma Adhyaksa dipakai hingga kini dalam organisasi Hindu Parishad. Maka dapat disimpulkan, dari terminologi yang digunakan, jelas merujuk pada istilah2 dalam agama Hindu.