Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Tata Cara Penetapan UMP di Indonesia?

Diperbarui: 3 Desember 2018   20:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: liputan6.com

Upah atau gaji adalah salah satu hal paling penting yang diperhatikan oleh para pencari kerja saat mencari pekerjaan. Tentunya semua orang ingin mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang besar. Di Indonesia sendiri, sudah ada peraturan yang mengatur tentang upah minimal yang harus diberikan pada pekerja atau karyawan, dan besar upah tersebut berbeda-beda di setiap provinsi. Lantas, bagaimanakah UMP (Upah Minimum Provinsi) tersebut ditetapkan?

Undang-undang yang mengatur tentang upah di Indonesia adalah Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pasal No. 88, 89, dan 90. Selain itu, Indonesia memiliki Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan. Peraturan Pemerintah yang ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada saat itu, Yasonna H. Laoly, menetapkan sebuah formula untuk menghitung kenaikan upah tiap tahunnya, yang dimulai pada tahun 2016. Formula yang ditetapkan untuk menghitung UMP yaitu: UMP tahun depan = UMP tahun berjalan + (UMP tahun berjalan (inflasi + pertumbuhan ekonomi)).

Lalu siapakah yang menetapkan UMP di tiap provinsi di Indonesia? Berdasarkan peraturan yang berlaku, menetapkan UMP menjadi wewenang dari gubernur masing-masing provinsi. Salah satu alasan yang menyebabkan selalu ada demo buruh tiap tahunnya adalah karena perwakilan buruh tidak dilibatkan dalam penetapan UMP. Saat ditetapkannya PP pengupahan pun, para buruh menolak keras karena dalam PP tersebut tidak ada perwakilan buruh yang dilibatkan dalam menghitung dan menetapkan UMP.

Provinsi dengan UMP paling rendah pada tahun 2018 adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan UMP sebesar Rp1,45 juta. UMP Yogyakarta bahkan berada di bawah rata-rata UMP nasional yang berada di angka 2.260.225 rupiah. Hal tersebut mengundang reaksi dari Bambang Soepijanto, Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO), asosiasi yang menghimpun pelaku industri kayu lapis di Indonesia. 

Sumber foto: dokpri

Menurutnya, kemiskinan bisa menjadi abadi di Yogyakarta karena terjadi ketimpangan antara Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan UMP di Yogyakarta. Hal tersebut benar adanya, karena KHL di Yogyakarta menurut berbagai survei adalah 2,5 juta rupiah. Dengan kata lain, UMP di Yogyakarta jauh dari cukup untuk memenuhi KML.

Hal tersebut tentu membuat Bambang Soeprijanto prihatin. Apalagi, Bambang Soeprijanto akan maju sebagai calon DPD RI Yogyakarta dengan konsep kepemimpinan "Ngayemi, Ngayomi, Ngayani", yang artinya "Membuat nyaman, melindungi, dan menyejahterakan". Ketimpangan antara KHL dengan UMP di Yogyakarta jelas tidak sejalan dengan konsep kepemimpinan "Ngayani" atau "Menyejahterakan" yang diusung Bambang Soeprijanto. Melalui konsep tersebut, Bambang Soeprijanto berharap bisa menyejahterakan masyarakat Yogyakarta.

Dengan posisinya sebagai Ketua Umum APKINDO, terbuka kesempatan luas bagi Bambang Soeprijanto untuk menyejahterakan masyarakat Yogyakarta dengan memajukan industri UMKM di Yogyakarta. Hal tersebut sejalan dengan salah satu visi Bambang Soepijanto sebagai calon DPD RI Yogyakarta, yaitu memajukan UMKM di semua sektor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline