September 2016, ketika Ahok (Basuki Tjahja Purnama ) dan Djarot maju sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Pilgub DKI 2017, muncul semacam euforia bagi para pendukungnya karena selama ini Ahok -- Djarot dinilai pantas untuk melanjutkan perannya sebagai gubernur. Beberapa survei (yang mencoba memberikan penilaian pada saat itu juga) menilai elektabilitas Ahok -- Djarot mengungguli dua pasangan lainnya: Anies -- Sandi dan Agus -- Sylvi.
Unggul dihasil survei bukan berarti Ahok -- Djarot tanpa celah, rongga yang menganga justru datang dari program unggulan yang mereka kampanyekan sendiri yaitu Proyek Reklamasi. Pasangan yang diusung partai PDIP itu akan membangun Proyek Reklamasi Teluk Jakarta dengan membangun 17 pulau buatan dan Giant Sea Wall (GSW) jika mengemban tampuk kepemimpinan Jakarta.
Program inilah yang menjadi titik awal arah perjuangan dari orang-orang yang bersebrangan dengan Ahok -- Djarot. Anies -- Sandi misalnya, yang mengangkat tema penolanakan pembangunan reklamasi besar-besar dalam dalam setiap poster kampanyenya. Penolakan program itu datang bukan saja dari lawan politiknya namun juga dari berbagai kalanganseperti: para aktivis lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), nelayan, sejarawan, budayawan, pakar tata kota, pengamat, dan tentu saja dari Menteri Kelautan dan Perikanan -- Bu Susi Pudjiastuti.
Penolakan program reklamasi yang diteriakan oleh para nelayan, aktivis lingkungan dan akhirnya bermuara ke ekologi-politik berusaha membongkar simbol-simbol dibalik getolnya mega proyek tersebut.
Ada dua hal yang menjadi isu utama jika dilihat dari ekologi politik tentang isu reklamasi ini. Pertama dari segi perusakan alam secara besar-besaran akan semakin berdampak luas bagi keselamatan warga Jakarta dan bahkan menambah problem terkait dampak perubahan iklim lokal maupun global, dan bukan sebaliknya dianggap menjadi solusi bagi perubahan iklim.
Kedua, proyek ini mustahil akan menciptakan "keadilan ekonomi" karena aktivitas yang berlangsung di dalamnya adalah aktivitas ekonomi bisnis yang melibatkan pemilik modal besar dari kalangan domestik maupun asing. Akibatnya, masyarakat pesisir seperti nelayan tradisional, pembudidaya ikan, buruh nelayan (yang jumlahnya 24.000) dan pelaku usaha wisata skala kecil yang menggantungkan dirinya pada keberadaan "ruang laut" akan termarjinalkan dan teralienasi dari habitatnya.
Ekologi-politik yang disuarakan oleh lawan politik Ahok-Djarot, pemerhati lingkungan dan nelayan mungkin salah satu contoh bahwa kesadaran masyarakat terhadap modernisasi (dengan simbol industri dan pembangunan) bukanlah solusi yang relevan untuk menghadapi masalah masyarakat pada saat ini. Banjir dan kemacetan yang menjadi isu utama di Jakarta adalah dampak dari modernisasi itu sendiri.
Banjir misalnya merupakan hasil dari manusia memperlakukan alam yang semena-mena, mulai dari mempersempit laju air disungai hingga pemakaian Zat Freon atau CFC. Demikian halnya dengan kemacetan yang dikarenakan adanya urbanisasi secara besar-besaran, karena masyarakat melihat Jakarta sebagai kota yang modern yang tidak mereka temukan di kota/ desanya, terjadilah ledakan penduduk secara terus menerus.
Terlepas dari pandangan politik, saat ini sejumlah pemikir, budayawan, antropologi dan filsuf kontemporer mencoba mempertanyakan asumsi-asumsi dan implikasi modernisme, dimana modernisme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para pendukungnya, misalnya: ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan dan mengabaikan keseimbangan alam, ilmu-ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia karena terlalu menekankan atribut fisik.
Dengan latarbelakang tersebut modernisme telah kehilangan landasan praksisnya yang digadang-gadang oleh pendukungnya untuk mencapai kebenaran yang universal. Serangkaian kesadaran baru dicoba untuk menolak invansi atas nama modernisme itu pun dilancarkan, salah satu idenya adalah mengembalikan fungsi-fungsi alam sebagaimana mustinya, seperti normalisasi sungai dan menghentikan proyek-proyek reklamasi. Sikap inilah yang membuat saya setuju saat Anies berkampanye akan menghentikan reklamasi Jakarta.
Ketika Ahok mengatakan dengan jujur bahwa bagunan yang sudah dirancang dan dibangun sejak era Suharto pada tahun 90, dan menelan investasi ratusan triliun rupiah tidak bisa dibongkar begitu saja. Ahok mencoba berdamai dengan realitas Ia tetap mendukung reklamasi dengan kontribusi 15% NJOP (Nilai Jual Objek Pajak). Ahok tidak akan memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di pulau reklamasi sebelum kontribusi itu disebutkan didalam Peraturan Daerah (Perda) agar selanjutnya tidak bisa diutak-atik jika hanya bermodalkan Peraturan Gubernur (Pergub).
Jika diibaratkan, ada 3 pandangan soal reklamasi:
- Anti Reklamasi Total, dengan impementasi menghentikan semua proyek reklamasi dan mengembalikan pantai sebagaimana mustinya. Sikap ideologi seperti ini ada di organisasi Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), Menteri Kelautan "Susi Pudjiastusi", nelayan, dan Anies dulu saat kampanye. (Saya pro ini).
- Pro-Reklamasi Total, implementasinya tentu mengeruk keuntungan sebanyak-benyaknya. Sikap ideologi seperti ini tentu dimiliki oleh para pengembang: PT Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda, PT Pelindo II, PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu), PT Jaladri Eka Pasti, PT Taman Harapan Indah, PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan Agung Podomoro), PT Jakarta Propertindo.