Dilarang Miskin!
Oleh Budi Prasetyo
Di layar kaca, di media cetak atau media lain kerap kali menyuguhkan berita tentang penertiban pedagang kaki-lima yang dilakukan oleh satuan penertiban pemda(Satpol PP), tidak hanya di kota besar seperti Jakarta, tapi juga melanda hampir di semua daerah dan kota di negeri ini. Dalam prosesnya penertiban semacam itu sering, bahkan selalu, berakhir dengan bentrokan fisik antara petugas (satpol PP)-bahkan melibatkan aparat kepolisan-dengan para pedagang.
Tidak hanya pedagang kaki lima yang selalu menjadi sasaran operasi satpol PP, selain membongkar bangunan liar di sudut kota dan rumah kumuh di bantaran sungai, kini para gelandangan, pengemis dan pengamen pun, jadi sasaran, kena razia penertiban pula. Pendeknya pedagang kaka-lima dilarang. Gubuk-gubuk liar dibongkar dan dibakar. Pengemis, pengamen dan gelandangan dibasmi. Singkat kata, di negeri ini: Dilarang Miskin!
Belakangan muncul rencana Pemda DKI menerbitkan Perda, yang intinya akan melarang atau menertibkan para pengemis, termasuk pengamen dangelandangan. Ada apa gerangan di balik itu semua? Apa sesungguhnya yang menjadi target rancangan perda, sebut saja ‘Perda Amis’ (anti pengemis) tersebut?
Kalau targetnya hanya untuk menciptakan pamor Jakarta biar tampak keren sepertikota-kota di negeri maju yang rakyatnya sudah sejahtera, dan tidak ada orang miskin yang mengemis, maka itu sangat naïf. Dan jika sasarannya untuk menertibkan para pengemis untuk tidak beroperasi dan minta-minta di setiap persimpangan jalan atau lampu lalulintas, barangkali masih masuk akal. Tapi, kalau targetnya untuk melarang para pengemis beroperasi di tempat umum:tempat ibadah, pasar, mal atau pusat perbelanjaan, dalam kendaraan umum, nanti dulu. Kenapa? Sebab upaya semacam itu sangat riskan dan kontra profuktif dan yang pasti, tidak menyentuh substansi persoalaan. Dan niscaya hanya akan menambah sederet kerawanan sosial yang sudah ada di negeri ini. Bagaimana tidak?Kalau penertiban itu tidak jelas kriteria dan sasarannya akan menimbulkan keresahan dan gejolak. Karena kebijakan semacam itu sangat tidak populis dan diskriminatif. Sebab di negeri ini banyak macam pengemis yang tidak beropersai di tempat-tempat umum seperti itu. Kenyataannya ada, bahkan banyak, pengemis-pengemis yang berpakaian perlente dan berdasi, juga berprofesi sebagai pengemis. Pengemis semacam ini tidak beroperasi layaknya pengemis yang menjadi sasaran ‘Perda Amis’, tapi toh mereka juga peminta-minta. Minta sumbangan, minta tender, minta jabatan dan sebagainya. Sebut saja, ‘Pengemis berdasi’
Konon rancangan ‘Perda Amis’ tidak saja memberi sanksi hukuman kepada pengemis (penerima), tapi juga memberi sanksi kepada si pemberi (dermawan). Jadi intinya, kita semua harus hati-hati, jika perda tersebut benar-benar diterapkan. Anda tidakbisa lagi menyalurkan niat baik Anda untukberbelas-kasih kepada pengemis atau orang yang nasibnya tidak beruntung.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan, tentu masyarakat sangatberharap agar pihak pemegang kekuasaan/regulator tidak gegabah atau serampangan. Masyarakat menuntut adanya kejelasan lebih dulu,apa kriteria pengemis atau gelandangan itu? Apakah sasarannya hanyalah mereka yang berpenamplailan kumal dan berpakaian compang-camping; mereka yang tinggal di kolong jembatan dan ataukawasan kumuh? Atau bagaimana?Lalu bagaimana dengan peminta-minta yangberpenampilan rapi dan berdasi,yang minta-minta sumbangan dari rumah ke rumah, dari satu perusahaan ke perusaahaan, dari satu instansi ke instansi pemerintah. Apakah mereka juga disebut pengemis dan menjadi target ‘Perda Amis’ tersebut? Bagaimana pula dengan masyarakat yang tertimpa musibah banjir atau kebakaran lalu minta-minta sumbangan di jalan? Lalu bagaimana dengan yang memberi sumbangan atau bantuan bagi korban itu? Apakah mereka juga akan terkena sanksi?
Memang realitasnya ada pihak-pihak yang mengeksploitir kondisi kemiskinan dengan berpura-pura menjadi pengemis, memanfaatkan anak-anak terlantar, atau bahkan kalau perlu menculik anak untuk diorganisir jadi pengemis sebagai layaknya bisnis.
Lalu, bagaimana dengan para pengamen yang sering naik turun kedaraan umum, keluar-masuk restoran atau warung makan, apakah kelompok ini saja yang akan menjadi sasaran ‘Perda Amis’?Lalu apa bedanya dengan para pemusik yang tampil di hotel, di tempat-tempat hiburan dan show di panggung terbuka dengan bergelimang sponsor dan bayaran tinggi? Kalau mau jujur, sesungguhnya mereka adalah pengamen juga, penghibur, penjual jasa, tidak jauh beda dengan pengamen jalanan, perbedaanhanya pada cara, lokasi dan honornya belaka.
Sebagai penikmat jasa (pemberi uang) mungkin ada perasaan terpaksa untuk memberi kepada sang pengamen-meski tidak merasa dipaksa menikmati alunan lagu-lagu pengamen dan malah merasa terhibur.Kalau para pengamen ‘elite’,yang menjual jasanya di hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan mewah, penikmatnya justru merasa tersanjung dan bahkan secara sukarela merogah kocek-nya hingga bepuluh kali lipat. Itu bedanya!
Pendeknya ‘Perda Amis’ sangat diskriminatif terhadap kelompok miskin dan tertindas.
Begitulah kenyataannya nasib kawula miskin di negeri ini.Padahal, sebagaimana kita semua tahu bahwa dalam salah satu pasalkonstitusi negeri ini menyebutkan: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.Tapi dalam kenyataannya, fakir miskin dan anak-anak terlantar justru dilarang di negari ini.
Sungguh aneh bin ajaib, sebuah pasal dalam konstitusi yang kedudukannya secara hirarkis lebih tinggi dan menjadi sumber dari segala sumber hukum, justru secarasewenang-wenang dan seenak perutnya dilanggar dan diingkari hanya oleh sebuah perda.
Sudah bukan zamannya lagi pemegang kekuasaan negeri ini menzalimi rakyatnya sendiri, apalagi hanya untuk sekadar gengsi. Sudah waktunya kita mempunyai undang-undang ‘Pengentasan Kemiskinan’, bukan melarang kemiskinan. Pemerintah atau pemda khususnya,harus bekerja keras untuk memberdayakan ekonomi. Menciptakan lapangan kerja, agar rakyat tidak miskin. Jangan cari gampangnya. Bukan main kepruk. Carilah solusi yang tepat!! Kalau perlu, kepala daerah yang tidak behasil, yang harus kena sanksi. Bukan sebaliknya, rakyat yang jadi korban. Sementara gubernur atau kepala daerah yang tidak becus dan gagal mensejahterakan rakyat, justru hidup bergelimang harta dan kemewahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H