[caption id="attachment_272400" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAs.com)"][/caption] Hari ini, Presiden Mohamed Mursi di gulingkan dari tapuk pemerintahan Mesir. Setelah sekian hari, aksi protes masyarakat sipil berjalan, akhirnya kekuatan militer mengambilalih pemerintahan. Pembajakan atas nama transisi pemerintahan dilakukan oleh militer. Terlepas dari ulah militer, pemerintahan Mursi nampak rapuh yang hanya mampu bertahan satu tahun. Kesalahan Mursi sebagaimana yang diakui sendiri, keterpurukan ekonomi dan gagal melakukan konsolidasi pelbagai kekuatan politik yang ada. Meskipun di penghujung pemerintahannya, Presiden Mursi menawarkan sistem pemerintahan koalisi kepada kaum oposisi namun hal ini sudah terlambat. Pemerintahan dimanapun akan rapuh jika tidak dapat menyelesaikan masalah ekonomi rakyat dan problem politik dalam negri. Sebagaimana yang terjadi pada pemerintahan Hosni Mubarak terdahulu. Dari pengalaman ini, sepatutnya pemerintahan Mesir dan Tunisia, harus belajar banyak dengan Indonesia. Mengapa harus Indonesia? Ada kemiripan antara Indonesia, Mesir dan Tunisia. Ketiga negara ini, berhasil melepaskan diri dari pemerintahan otoriter terdahulu. Indonesia dengan gerakan reformasi di tahun 1998; Presiden Hosni Mubarak, tumbang pada tahun 2011; dan Revolusi Melati Tunisia berhasil mengulingkan Presiden Ben Ali pada Desember 2010. Sejak saat itu, pemerintahan yang baru berupaya melakukan konsolidasi demokrasi. Persamaan kedua, baik Indonesia, Mesir dan Tunisia, mayoritas penduduknya beragama Islam. Dimana proses transisi dan konsolidasi yang dilakukan tidak bisa dilepaskan dari kelompok atau aliran Islam di dalamnya. Selain daripada itu, ketiga negara ini memiliki rasa nasionalisme yang kuat dan adanya pertarungan antar kekuatan nasionalis (sekuler) dan kekuatan Islam sepanjang sejarah. Dalam proses itu, Tunisia hingga hari ini tidak hentinya pergolakan terus terjadi. Tragis bagi pemerintahan Mesir yang hanya berumur satu tahun. Sementara Indonesia mampu bertahan sejak tahun 1998 hingga sekarang ini. Dimana letak keberhasilan Indonesia, dibandingkan dengan Mesir dan Tunisia? Konsensus, itulah kuncinya. Walaupun konsensus ini sering menabrak pakem politik demokrasi yang mapan, namun hal ini menjadi perekat kepentingan bersama yang lebih luas. Dengan konsensus itu, menunjukan bahwa apa yang dilakukan pemerintahan transisi lebih penting daripada siapa yang menjalankan pemerintahan transisi tersebut. Sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga Susilo Bambang Yudhoyono jilid kedua, seperti sudah menjadi kesepahaman untuk membangun sistem pemerintahan koalisi. Walaupun hal ini dianggap tidak lazim dalam sistem pemerintahan Presidensiil. Hal yang sangat berbalik dengan Presiden Mursi, yang dituduh oleh kaum opisisi, lebih mementingkan Ikhwanul Muslimin. Sehingga warna dan bentuk pemerintahan koalisi model Indonesia, menjadi baru dalam ilmu politik. Namun hal itu dilakukan dalam satu zaman yang masih dalam tahap transisi demokrasi yang membutuhkan terbukanya ruang konsolidasi demokrasi yang lebih luas. Demikian juga dengan program utama dari pemerintahan Indonesia pasca Orde Baru. Sudah menjadi konsensus, bahwa korupsi menjadi musuh bersama. Siapapun yang memegang pemerintahannya. Tradisi konsensus ini sudah mengakar kuat dalam sistem pemerintahan kita. Sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Terjadi konsensus antara golongan nasionalis dan golongan Islam dalam perumusan dasar negara Indonesia. Keuntungan Indonesia, pertarungan antara kaum nasionalis dan kaum agama sudah terlampaui dalam sejarah. Dasar negara Pancasila telah diterima menjadi konsensus bangsa Indonesia. Keberagaman diakomodasi dalam jiwa Bhinneka Tungga Ika. Itulah peran besar kaum Islam di Indonesia dalam membentuk semangat nasionalisme. Sehingga demokrasi dalam pengertian menghormati adanya perbedaan selaras dengan jiwa Islam di Indonesia. Solidaritas Islam Indonesia telah menembus perbedaan dan pluralisme yang memang menjadi sosio kultural bangsa ini. Apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia tidak menggambarkan hal tersebut. Terlihat saat Presiden Mursi akan mendeklarasikan konstitusi baru model syariat Islam ditentang habis oleh kelompok yang lain. Termasuk oleh kelompok keagamaan garis keras, seperti Hizbul Tahir. Tetapi yang lebih penting daripada itu, tugas utama pemerintahan transisi adalah mengatasi ketimpangan pembangunan ekonomi rakyat dan mengkonsolidasikan kekuatan politik yang ada. Karena inilah akar dari semua pergolakan yang terjadi. Pembangunan ekonomi dan politik harus berjalan seiring. Pengalaman Indonesia, Mesir dan Tunisia, menunjukan meskipun pemerintahan otoriter terdahulu mampu meningkatkan drajat ekonomi rakyat, dengan meningkatnya pendapatan per kapita tetapi rapuh juga ketika kebebasan politik diberangus. Jatuhnya pemerintahan Mursi, lebih banyak disorot tentang kelangkaan BBM dibandingkan dengan masalah hijab atau memelihara janggut. Seharusnya syariat Islam model Ikhwanul Muslimin (karena berbeda juga model dari aliran Islam yang lain) yang ingin ditegakan oleh Presiden Mursi, lebih menyelesaikan masalah-masalah sosial-ekonomis rakyat, dan mampu mengakomodasi perbedaan politik yang tajam. Dengan demikian terpancar wajah Islam yang dapat merealisasikan segala tuntutan ekonomi dan politik bangsa. Selama pemerintahan tetap berorientasi kepada kepentingan rakyat bukan kepentingan golongan, maka niscaya rakyatpun akan tetap mendukung pemerintahan. Kehadiran pemerintahan yang mengutamakan kepentingan golongan (aliran Islam tertentu) dengan mencoba menerapkan tafsir terhadap syariat, maka saat itu juga kekuatan politik lain terus menganggu. Dan bisa berakhir dengan penggulingan kekuasaan. Tentu saja situasi sosio kultural Indonesia jauh berbeda dengan Mesir atau Tunisia. Kelompok-kelompok Islam di Indonesia melahirkan pemikiran yang menselaraskan Islam dengan Demokrasi. Dan menolak lahirnya pemerintahan otokratis. Mayoritas muslim di Indonesia menjunjung tinggi hak keagamaan bagi semua kelompok seperti dijamin oleh konstitusi. Terlebih pengaruh dua ormas besar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah, yang lebih banyak berkiprah di tataran sosial dan melahirkan ajaran penyeimbangan ajaran Islam, demokrasi dan pembangunan bangsa. Tidak mengherankan jika para tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah menyuarakan gerakan anti korupsi, penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik, dan penolakan atas IMF. Ketimbang mempersoalkan masalah khilafiah dan penerapan syariat Islam. Dalam konteks gerakan Islam, situasi Indonesia dapat menjadi model tersendiri yang boleh jadi dapat diintrodusir oleh negara negara Muslim lain. Dimana organisasi masyarakat sipil Islam (seperti NU dan Muhammadiyah) bisa memainkan aktif dalam memperkuat negara demokrasi. Tanpa harus terjebak dengan politisasi Islam dengan menjadi partai Islam. Kedua, keragaman dalam Islam di Indonesia justru menjadi pendorong diterimanya perbedaan dalam masyarakat. Dan menginsipirasi bermacam prakarsa kemanusiaan yang diperlukan bagi pembangunan bangsa. Meskipun demokrasi di Indonesia pasca reformasi masih belum matang dan terus melakukan konsolidasi, namun kita cukup berbangga dapat bertahan hingga sekarang ini. Hal yang patut dipelajari oleh Mesir dan Tunisia dari pemerintah Indonesia yakni reformasi di tubuh TNI/ Polri. Bagaimanapun kekuatan militer yang terkonsolidasi dan masih turut campur dalam dunia politik, dapat membahayakan demokrasi. Dengan kekuatan senjata yang dimiliki, militer dapat sewaktu-waktu mengancam pemerintahan yang sah dan dipilih melalui Pemilu. Membatasi ruang militer di dunia politik, juga merupakan konsensus bersama bangsa ini pasca reformasi. Terakhir, menarik apa yang dikemukakan oleh Tom Pepink. Bahwa model pemerintahan transisi yang dibangun di Indonesia dengan mayoritas Muslim, dapat diimport oleh negara negara muslim lain. "The idea of Indonesia as a template for other post-authoritarian Muslim states, or as a model that can be imported to understand transitions in the rest of the Muslim world".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H