Jatuhnya Presiden Mursi dari tapuk pemerintahan Mesir, tidak bisa dielakan adanya keterlibatan Amerika. Beberapa kompasioner sudah mengulasnya dari tulisan yang telah ditayangkan. Namun, satu pernyataan yang gegabah jika menganggap keterlibatan Amerika dalam mengulingkan pemerintahan hanya terjadi pada Presiden Mursi. Amerika terlibat hampir di semua peristiwa pengulingan kekuasaan di seluruh penjuru dunia, sejak dahulu. Termasuk pengulingan pemerintahan Hosni Mubarak yang kemudian digantikan oleh Mursi. Tidak hanya terjadi di negara Mesir, tapi juga di negara lain di Timur Tengah. Bukan hanya di Timur Tengah, peran Amerika juga ikut bermain di Eropa Timur hingga Amerika Latin. Termasuk di Indonesia, pada tahun 1966 dan tahun 1998. Dalam skala kecil, pelbagai kerusuhan, pemberontakan dan gerakan sparatisme termasuk terorisme, Amerika punya peran besar.
Jika segala peristiwa tersebut dikaitkan dengan peran Amerika, maka motifnya bukan agama. Bukan aliran atau madzhab dan bukan soal ideologi. Saat ini, Amerika tidak punya kepentingan soal Islam atau Budha. Soal ahli sunnah atau syiah. Soal negara Islam atau sekuler. Soal komunisme atau liberal. Apalagi soal suku papua atau taliban. Motifnya hanya satu: minyak, minyak dan minyak. Dan dibarengi dengan sumberdaya alam lainnya. Siapapun pemerintahan yang menghalangi kepentingan ini, pasti disikat habis. Sebaliknya jika mendukung, entah negara Islam atau komunis sekalipun, pasti didukung. Bisa kita telusuri.
Jatuhnya pemerintahan Hosni Mubarak oleh aliansi strategis militer mesir dan Ihwanul Muslimin, disokong oleh CANVAS (Centre for Applied Non-Violent Actions and Strategies). Jauh sebelumnya pada tahun 2010, para aktivis Alliance of Youth Movement (AYM) diberangkatkan ke Serbia untuk mendapat pelatihan dari CANVAS. Organisasi ini dahulunya bernama OTPOR, yang berperan dalam penggulingan Presiden Serbia Slobodan Milosovic pada tahun 2000. Pendanaan CANVAS berasal dari beberapa perusahaan besar di Washingthon. Bukan hanya Mesir, CANVAS juga merancang penggulingan beberapa Presiden di Tunisia, Syria dan Lebanon. Didikan CANVAS adalah Mohammed ElBaradei. Dari mulut Elbaradei inilah bergulir pertama kali istilah The Arab Spring. Rencana sistematis ini diakui oleh Deplu AS yang sudah mengalokasikan anggaran 50 juta dollar AS untuk membantu para ativisis masyarakat sipil Mesir saat itu. Anggaran itu belum termasuk bagaimana CANVAS juga membiayai para aktivis seperti The Bahrain Center for Human Right dan Entsar Qadhi (Yaman). Sokongan besar untuk proyek Arab Spring, berasal dari National Endowment for Democracy (NED). Dimana NED setiap tahunnya mendapat bantuan dana rutin sebesar 100 juta dollar Amerika dari Kongres Amerika. Di Asia NED juga membantu sokongan dana dan sumberdaya lain, seperti kelompok oposisi Aung San Suu Kyi (Myanmar), Prachatai (Thailand), Anwar Ibrahim (Malaysia).
Apa urusannya dengan Mesir, hingga pemerintah Amerika yang dibantu dengan beberapa perusahaan multi nasional mau mengelontorkan uang yang begitu besar. Bisa kita baca dari petuah George Rich, “Mesir merupakan jembatan dan daerah transit untuk menaklukan Timur Tengah juga Afrika”. Dari Mesir inilah bentuk kolonialisasi dapat merambah ke kuwait, Irak dan Arab Saudi. Skema lebih besar adalah menguasai jalur sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara).
Istilah The Arab Spring sendiri merupakan perubahan nama tema saja. Saat Amerika menyokong gejolak politik di Eropa Timur, mereka menggunakan nama “Revolusi Warna”. Namun Tema itupun diselaraskan dengan situasi dan tidak berlaku mutlak. The Arab Spring hanya ditujukan pada negara-negara seperti Mesir, Yaman dan Tunisia. Saat Amerika mau menjarah Iran, temanya pun berganti. Dari isyu korupsi, pemerintahan yang tiran menjadi isyu nuklir. The Arab Spring merupakan kelanjutan dari roadmap dan disain militer di pentagon yang telah dimulai di Irak, Suriah, Lebanon, Iran, Somalia dan Sudan.
Jika CANVAS melahirkan istilah The Arab Spring, makan OTPOR (organisasi awal Canvas) melahirkan istilah “revolusi warna” untuk penggulingan kekuasaan di Eropa Timur. Seperti Revolusi Velvet di Cekoslowakia, Rose di Georgia, Tulip di Kyrgyzstan, dan Orange di Ukraina. Konglomerat George Soros ikut menyokong pembiayaan pelbagai revolusi ini. Baik CANVAS yang sebelumnya bernama OTPOR, mengakui telah memiliki andil dalam penggulingan kekuasaan, diantaranya menumbangkan: Hosni Mubarak (Mesir), Eduard Shervardnadze (Georgia), Viktor Yanukovych (Ukrania), Askar Akayev (Uzbekistan), dan mendukung gerakan Nabad di Luban, dan gerakan Zubr di Balarus.
Penjarahan Amerika memiliki dua model smart power (gerakan massa), atau hard power (invasi militer). Ketika smart power tidak bisa dilakukan, maka hard power yang dipilih. Seperti terjadi di Syria. Ketika gerakan massa gagal menjatuhkan Bashar Al Assad, maka pilihannya adalah meningkatkan perang sipil. Amerika membiayai para pemberontak yang banyak berdomisili di kota Ersal, Hakkari dan Al Manfraq. Pemberontak ini dilatih secara intensif oleh CIA, MI-6 dan Mossad. Hal yang sama diberlakukan ketika Moammar Ghadaffi menunjukan perlawanan. Perang terhadap Lybia dilancarkan oleh Amerika, Inggris, Prancis dan Italia. Karena perusahaan besar minyak yang merasa secara langsung kepentingan strategisnya terancam di Libya adalahBritish Petroleum (Inggris) France Oil Company (Perancis), dan Eny (Italia).Namun, model hard power dihindari oleh Amerika dan sekutunya. Karena pengalaman Amerika di Afghanistan (2001) dan Irak (2003) mengakibatkan biaya tinggi. Bahkan berujung pada kebangkrutan ekonomi.
Penguasaan ladang minyak di kawasan Timur Tengah oleh perampok Amerika dan Inggris, sudah berlangsung lama. Dimana telah ada kerjasama dua konglomerat Rockefeller dan Rothschild sejak 1979, setelah runtuhnya kerajaan Iran di bawah kepemimpinan Shah Reza Pahlevi. Akibat Nasionalisasi yang dilakukan oleh Iran, para pengusaha Amerika dan Eropa kelabakan. Dan terpaksa mencari ladang minyak baru. Sekaligus menahan laju “revolusi Iran” bisa menular ke negara lain di Timur Tengah. Beberapa perusahaan besar besar seperti Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Royal Dutch/Shell, yang berada dalam kepemilikan Rockefeller dan Rothschild mulai merancang sistem pengamanan menyeluruh untuk mengamankan penguasaan mereka akan minyak mentah di kawasan teluk. Selanjutnya menjadikan Arab Saudi sebagai markas operasi politik-ekonomi-intelijen-militer yg didukung oleh dinasti Ibnu Saud. Inggris dan Amerika memang mempertaruhkan segalanya di Timur Tengah, karena 66,5 persen cadangan minyak mentahnya memang berada di kawasan tersebut.
Beberapa negara yang “bandel” masuk dalam black list Amerika. Dan tidak segan-segan pemerintah Amerika mempropagandakan. Seperti pemerintah Bush yang bersiap untuk menyingkirkan tujuh negara: Irak, Lebonon, Somalia, Lybia, Syria dan Iran dengan sebutan Axis of Evil.
Pada wilayah yang berbeda, kita bisa menyaksikan ketika kembali suhu memanas antara Inggris dan Argentina menyangkut kepulauan Malvinas. Yang sudah selesai puluhan tahun lalu. Ketegangan kembali terjadi, gara-gara perusahaan Inggris menemukan ladang minyak baru di pulau sengketa tersebut.
Atau kita bisa melihat pada contoh yang lain. Negara kecil Mali di Afrika Barat, misalnya. Bila Mali (negara kecil) itu hanya punya singkong dan gaplek, tidak akan Prancis, Ingris, Amerika, Jerman dan Kanada serempak menyerbunya. Hanya untuk urusan menghalau pemberontak Islam radikal. Karena Mali merupakan negara produksi emas terbesar ketiga di Afrika. Selain itu terdapat potensi uranium dan berlian yang tinggi. Namun, yang menjadi incaran para perompak Amerika dan sekutunya adalah potensi minyak di negara itu.
Sebenarnya tidak terlampau sulit untuk mendeteksi indikasi keterlibatan Amerika dalam peristiwa revolusi, reformasi atau penggulingan kekuasaan. Lihat saja, peliputan media asing. Revolusi Mesir yang menjatuhkan Hosni Mubarak bisa disaksikan secara live oleh semua mata di penjuru dunia. Bagaimana drama dan romantisme dibumbui dalam aksi massa di Tahir Square Kairo. Berbeda dengan Revolusi Iran, hampir tidak ada liputan sama sekali. Para demonstran Mesir hampir tidak terpikir untuk mendemo apalagi merusak Kedubes AS. Sungguh berbeda yang terjadi di Teheran. Bukan saja menuntut turun Pahlevi, terapi juga mengusir Amerika ke luar dari Iran.
Sampang Madura
Menarik perhatian saya, ketikan Hillary (Menlu AS) saat berkunjung ke Indonesia mengatakan bahwa Indonesia harus menghormati hak-hak kaum minoritas. Pernyataan ini aneh. Mengingat konflik sampang merupakan konflik skala kecil dan bersifat lokal. Apa urusan orang selevel Hillary berkomentar untuk urusan yang kecil seperti ini. Bahkan ada pihak yang ingin membawa kasus Sampang ke Majelis HAM PBB. Padahal kita tahu, Amerika tidak ada urusan tentang agama atau aliran. Sedangkan disisi lain selalu menggunakan standard ganda.
Sekali lagi hal ini berkait dengan minyak. Seperti diketahui Pulau Madura adalah salah satu daerah penghasil gas dan minyak bumi yang cukup besar. Dan sudah cukup lama berlangsung berebutan sumur minyak di Madura antara Amerika dan China. China merasa Madura telah dikuasai, dengan dibantunya pembangunan jembatan Suramadu. Proyek ini menelan biaya Rp 4,5 triliun, sekitar Rp 2,1 triliun berasal dari negeri China. Tentu saja dalam hitung dagang, China tidak mau rugi setelah membantu pembangunan jembatan Suramadu. Sementara kontrak eksploitasi migas di Madura akan habis akhir tahun ini, yang belum tahu apakah akan diperpanjang atau tidak. Banyak sekali perusahaan yang menguasai eksplorasi migas di madura, seperti: ARCO-Kangean Block, Trend Java Sea Block, Masalembu Shell, British Petroleum, Sakala Timur, Mobile Oil, Amco Indonesia, Hudbay Oil International, Anadarko, Petronas Carigali, dan Santos Oil. Dan PT Energy Mega Persada (EMP) Kangean Limited. Ditengah ketidakpastian perpanjangan kontrak tersebut, pemerintah sudah melemparkan wacana untuk memberi hak penuh kepada BUMN, Pertamina dan pengusaha dalam negeri PT. Energy Mega Persada. Yang dianggap oleh pengusaha asing, sebagai pertanda adanya nasionalisasi sepihak.
Melalui isyu konflik sampang untuk dibawa ke ranah Internasional, semata Amerika dan sekutunya dapat merampok lebih banyak potensi minyak di Madura. Karena negara-negara lain pun punya kepentingan, yang diwakili selama ini oleh perusahan minyak mereka di Madura. Diantaranya: Canada, Australia, China, Inggris dan Uni Emirat Arab. Dengan menekan pemerintah Indonesia untuk menghentikan kebijakan nasionalisasi.
Penutup
Apapun yang dilakukan oleh pemerintah Amerika dan sekutunya melalui upaya penggulingan kekuasaan, pemberontakan dan menyulut kerusuhan , rujukannya selalu minyak. Sebagaimana petuah Henry Kissinger, "Kuasai minyak maka Anda mengontrol bangsa-bangsa, kuasai makanan maka Anda mengontrol rakyat”. Karena siapapun Presiden Amerika, sandinya tetap “the power of oil”. The power of oil merupakan doktrin bahkan telah menjadi “skema keramat” yang tidak akan berubah sampai kapanpun pada kedua partai (Republik dan Demokrat). Maka jangan terlampau percaya pada ucapan Presiden Amerika yang bicara soal HAM, Demokrasi karena yang dimaksud adalah minyak dan gas bumi. Maka bersiaplah bagi negara yang dituding oleh Amerika ada pelanggaran HAM, atau dituduh dengan stigma-stigma lain secara tersirat bermakna, bahwa terdapat sumberdaya alam yang tengah dan hendak dirampok!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H