Lihat ke Halaman Asli

Tanggung Jawab Menyertai Semua Profesi

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak membela dokter atau penegak hukum, tulisan ini semoga memberi pencerahan. Sebagian masyarakat mendukung putusan MA terhadap dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani SpOG, dengan alasan bahwa selama ini masyarakat banyak dirugikan oleh praktik-praktik pelayanan kesehatan yang tidak ramah pasien dan tidak memihak rakyat.. sebagian besar dokter turun ke jalan untuk memprotes vonis MA yang dianggap sebagai kriminalisasi terhadap profesi kedokteran.. Tak banyak yang mengetahui bahwa kasus dokter Ayu bergulir ke pengadilan karena adanya laporan pihak keluarga ke polisi .. ada banyak kasus kematian di RS, namun karena keluarga mengikhlaskan maka tak pernah ada eksaminasi (pemeriksaan) secara medis (dan ada implikasi juridis) mengenai sebab-sebab kematian.. Tak banyak yang mengetahui bahwa jaksa melayangkan kasasi ke MA atas putusan PT Manado karena itu merupakan prosedur tetap dari profesi mereka.. jika jaksa tidak mengajukan kasasi, sama saja artinya jaksa tidak bertanggung jawab atas dakwaan.. Tak banyak yang mengetahui bahwa hakim MA yang memutus (Artijo Alkostar dkk) tidak bisa menolak perkara yang sampai ke mejanya, karena itu bertentangan dengan sumpah jabatannya.. Tak banyak yang mengetahui bahwa hakim Artijo bukan melakukan kriminalisasi terhadap profesi dokter.. ia hanya memeriksa berkas perkara yang ada di mejanya dan bersama timnya menemukan kesalahan prosedural yang sangat prinsip, yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang dokter. Tak banyak yang mengetahui bahwa kesalahan prosedural yang dilakukan dokter Ayu memang tidak bisa dibenarkan secara medis maupun secara hukum: 1) Operasi dilakukan tanpa ada pemeriksaan pendahuluan yang memadai.. bahkan pasien segera dioperasi dengan mengabaikan fakta bahwa tekanan darahnya masih tinggi 2) Pihak keluarga tidak ditunjukkan lembar informed consent (persetujuan operasi).. lembar tersebut hanya diperlihatkan kepada Siska yang sedang kesakitan di ranjang pasien.. bahkan terbukti belakangan bahwa tanda tangan di lembar tersebut adalah palsu (pemalsuan tanda tangan dalam surat persetujuan jelas-jelas merupakan tindakan pelanggaran hukum yang serius) 3) Tidak ada persiapan medis yang mendukung bila sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat.. 4) Ternyata ketiga dokter yg melakukan operasi adalah dokter residen (yang masih dalam masa pendidikan, belum jadi dokter spesialis yang bisa bertanggung jawab secara penuh) tak banyak yang mengetahui bahwa PK (peninjauan kembali) terhadap putusan yg bisa dilakukan oleh dokter Ayu dkk haruslah memuat adanya bukti baru (novum).. yaitu sebuah bukti yang akan bisa melawan dalil-dalil pertimbangan hukum yang terdapat dalam putusan MA.. artinya harus ada bukti yang cukup kuat bahwa dokter Ayu dkk sudah melakukan pelayanan kesehatan sesuai tuntutan profesi dan prosedur yang ditetapkan.. Sudah umum diketahui bahwa Majelis Kode Etik Kehormatan Kedokteran sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, menyatakan bahwa seorang dokter bersalah melakukan malpraktik.. padahal ada banyak sekali kasus malpraktik di masyarakat yang diadukan ke MKEK.. itulah sebabnya beberapa keluarga memberanikan diri untuk menempuh jalur hukum, ketimbang melaporkan dokter ke IDI. Semoga catatan ini bisa membuka mata, bahwa seperti halnya profesi kedokteran yang niat luhurnya adalah menolong masyarakat dalam pelayanan kesehatan, maka hukum pun juga hanya sebuah alat bagi orang-orang yang merasa dirugikan untuk memperoleh keadilan. by Budi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline