Lihat ke Halaman Asli

Polemik Penyebaran Virus HIV dan Pekan Kondom Nasional

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang sakit dengan logika berpikir para pengambil kebijakan di negeri ini. Alih-alih hendak menurunkan angka penyebaran virus HIV, namun kebijakan yang digulirkan justru berpeluang tidak menyelesaikan inti permasalahan, malah menambah masalah baru. Pekan Kondom Nasional (PKN) merupakan sebuah kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI sebagai sebuah rangkaian peringatan Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Desember. Sejatinya PKN digulirkan sebagai sarana edukasi dan informasi kepada publik mengenai bahaya penyebaran virus HIV dan bagaimana salah satu proteksinya. Termasuk dalam rangkaian acara PKN adalah pembagian kondom gratis kepada masyarakat, yang kemudian dibantah oleh Menteri Kesehatan. Mari kita tinjau sebuah hasil penelitian mengenai penyebaran virus HIV di Indonesia yang dilakukan oleh AIDS Watch Indonesia tahun 1999. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa probabilitas terbesar penularan HIV berasal dari transfusi darah yaitu sebesar 89,50%. Hanya saja yang menarik adalah 80% penyebaran virus HIV justru terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman yang sebenarnya memiliki probabilitas penularan virus HIV hanya sebesar 0,03% sampai 5,60%. Apa yang bisa disimpulkan dari penelitian yang sesungguhnya sudah terjadi 14 tahun silam, namun masih memiliki relevansi erat dengan kondisi saat ini. Artinya, sekalipun hubungan seksual tidak aman memiliki tingkat peluang paling rendah sebagai sarana penyebaran virus HIV, namun ketika aktivitas ini begitu seringnya dilakukan, maka akan memicu pula peluang besar penyebaran virus HIV. Bagaimana kondisi di Kota Bogor sendiri terkait dengan isu nasional ini? Kita bisa melihat pada berita hari Senin, 2 Desember 2013, Harian Radar Bogor mengangkat data yang diperoleh dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Kota Bogor di mana 1.418 laki-laki dan 597 perempuan diketahui mengidap virus HIV. Penyebaran virus HIV terbesar dari penggunaan jarum suntik yaitu sebanyak 1.175 kasus, disusul dengan perilaku seks tidak sehat sebanyak 840 kasus. Tetapi dilihat dari tren yang terjadi, perilaku seksual tidak aman saat ini memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan jumlah warga yang terinfeksi virus HIV. Hal ini juga dibenarkan oleh Ketua Panitia Peringatan Hari AIDS Sedunia Kota Bogor, dr. Eddy Dharma. Pembagian kondom mungkin gratis mungkn bisa memberikan dampak signifikan untuk mengurangi penyebaran virus HIV melalui perilaku seksual yang tidak aman. Tetapi apakah program ini baik untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku hubungan seksual yang tidak aman? Secara medis, fungsi dari kondom itu sendiri adalah untuk menampung cairan sperma yang keluar dari penis, sehingga tidak dapat masuk ke dalam vagina. Sperma merupakan media transportasi virus HIV yang sangat baik. Ketika media perpindahan virus ditahan, maka peluang virus HIV menyebar akan semakin kecil. Lalu bagaimana dengan perilaku pemakai kondom itu sendiri yang sebenarnya menjadi sumber utama mengapa penularan HIV bisa terjadi. Saat kita memasuki ranah perilaku, maka disinilah akan terjadi sebuah perdebatan. Sebagian mungkin merasa tidak nyaman ketika aturan diberlakukan hingga memasuki ranah privasi secara mendalam. Berhubungan seks dengan siapapun termasuk dalam kategori privasi, tidak peduli apakah pasangan yang diajak berhubungan seks merupakan pasangan yang sah secara agama dan hukum positif di Indonesia atau tidak. Sebagian lainnya menyatakan penentangan terhadap perilaku seks bebas mengingat Indonesia adalah negara orang-orang beragama, di mana tata nilai, aturan dan norma sangat diperhatikan di sini. Atau ada juga mengambil posisi moderat, silahkan berhubungan seks, apalagi di luar nikah, asal tetapkan hanya satu pasangan saja. Mau pilih yang mana? Tentu sebelum menentukan pilihan keberpihakan kita terhadap hal ini, ada yang perlu kita kaji dengan cermat. Kondisi kehidupan sosial masyarakat terutama di perkotaan sudah semakin permisif. Belakangan, hal-hal yang tabu atau dianggap tidak wajar oleh tata aturan, nilai dan norma serta agama, sekarangmulai  menjadi sesuatu yang lumrah dilakukan. Misalnya perilaku seks bebas. Modernitas yang terjadi semakin mengesampinkan aturan sosial dan agama yang jelas-jelas melarang berhubungan seks sebelum melewati proses pernikahan. Banyak orang yang tidak lagi ingin terkungkung dengan aturan agama. Moralitas ditempatkan dalam kedudukan yang lebih general yang mendapat pengakuan mayoritas di masyarakat. Misalnya korupsi, semua pihak sepakat bahwa korupsi bukan hanya melanggar hukum tapi haram dilakukan karena memberikan dampak kerugian yang besar pada negara. Koruptor mendapatkan cap sebagai orang dengan moral yang bejat. Namun ketika masuk pada kasus perilaku seks bebas, masyarakat akan terpecah dengan pendapatnya masing-masing. Ada pihak dengan cenderung pro dengan perilaku seks bebas, dengan anggapan bahwa dampak yang ditimbulkan dari perilaku seks bebas tidak separah korupsi, apalagi seks menjadi area yang privasi dan jika si pelaku mengenakan kondom, maka kemungkinan besar akan aman baik dari resiko kehamilan di luar nikah maupun tertular virus HIV. Benarkah demikian? Lalu bagaimana dengan fakta sosial yang tidak bisa dipungkiri ketika di masyarakat sendiri banyak terdapat korban dari perilaku seks bebas ini? Misalnya hamil di luar nikah yang bisa berujung pada aborsi, atau tertular virus seperti HIV dan juga berbagai penyakit kelamin lainnya? Seringkali ketika korban sudah berjatuhan akibat perilaku seks bebas ini kemudian masyarakat menyadari dan akhirnya berbondong-bondong untuk mengejar nilai-nilai agama dan kembali mengingat tata aturan dan norma yang telah dilanggarnya. Bagaimana reaksi orang tua begitu mengetahui anak perempuannya sudah hamil di luar nikah? Tentu, untuk menutupi rasa malu dan aib keluarga mereka akan mengejar pertanggungjawaban pria yang menghamilinya dengan meminta untuk menikahi anaknya bukan? Itu yang sering terjadi di masyarakat kita. Menikah, merupakan sebuah aktivitas yang dituntunkan dalam ajaran agama begitu pula dalam norma sosial kita untuk menjaga kehormatan diri dan keluarga di tengah masyarakat. Hubungan seks menjadi sah dan halal serta menjadi ibadah ketika pernikahan telah dilewati. Atau bagaimana ketika orang tua memiliki anak yang divonis tertular HIV dengan berbagai sebab? Tentu mereka hanya tinggal menghitung waktu sampai anaknya meninggal bukan? Mengingat virus HIV belum memiliki obat yang efektif menyembuhkan 100 persen. Program “pertaubatan” pastinya akan dibuat sedemikian rupa untuk si anak. Bahkan seringkali lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren harus menampung anak-anak seperti ini. Lagi-lagi, ketika masalah terjadi, maka nilai-nilai dalam agama yang akan dicari, norma dan aturan sosial yang kembali diingat seraya disesali mengapa sampai harus dilanggar. Bagi si penderita yang tertular virus HIV sendiri, perasaan menyesal dan bersalah mesti-lah menghinggapinya. Apalagi dampak dari virus HIV pada dirinya adalah nyawa. Semua cita-cita hidupnya akan terenggut. Di sinilah titik di mana penderita akan menyadari seluruh kesalahannya, dan lagi-lagi agama akan menjadi faktor dicari untuk menenangkan batinnya, sembari menunggu waktu datangnya ajal. Berbagai pelanggaran terhadap aturan, tata nilai dan norma akan disesalinya. Berarti, dengan demikian masyarakat kita adalah masyarakat yang pura-pura permisif. Inkonsistensi permisifitas inilah yang kemudian menjadi sebuah karakter buruk dan terus berkembang hingga kini. Jika ada peluang bisa dilanggar, namun jika sudah terkena akibatnya baru menyesal dan kembali ke nilai-nilai maupun tata aturan yang semula dianggap membatasi ruang geraknya. Dalam kondisi ini ungkapan “semua dikembalikan kepada niatnya” sudah sangat tidak relevan diutarakan. Pembagian kondom gratis dalam rangkaian Pekan Kondom Nasional hanya akan membuka peluang orang untuk berniat melakukan hubungan seks bebas. Penggagas PKN mungkin bisa berkilah dengan mengembalikan kepada niat si penerima kondom. Namun sepertinya mereka tidak berpikir jauh bahwa ketika penerima kondom gratis tersebut kemudian berniat untuk mencobanya dengan “jajan” sembarangan. Atau bisa saja penerima kondom gratis tersebut adalah seorang suami yang awalnya tidak berniat untuk berhubungan seks dengan perempuan lain, justru menjadi penasaran bagaimana rasanya berhubungan seks dengan perempuan yang bukan istri sahnya. Niat yang diwujudkan dengan perilaku memang sebuah hal yang tidak memiliki ukuran jelas atau kualitatif, tergantung bagaimana orang lain melihatnya. Akan tetapi ironisnya hal-hal yang kualitatf tersebut menjadi titik awal permasalahan yang bersifat kuantitatif. Tingginya tren penularan virus HIV melalui hubungan seks yang tidak aman. Misalnya untuk Kota Bogor, berdasarkan data dari KPAD yang ditampilkan oleh Radar Bogor (Senin, 2 Desember 2013), jumlah warga yang tertular virus HIV setiap tahun cenderung meningkat. Tahun 2012 lalu diketahui sebanyak 279 warga Kota Bogor terinfeksi virus HIV. Untuk tahun ini hingga bulan Oktober 2013 saja, sudah mencapai 322 orang yang tertular HIV. Kalau kemudian, tren penyebaran virus HIV saat ini beralih dari penggunaan jarum suntik menjadi hubungan seksual, maka terdapat korelasi positif antara aspek niat dan perilaku yang cenderung dinilai secara kualitatif, dengan dampak yang ditimbulkan berupa kasus tertularnya HIV yang dapat diukur secara kuantitatif. Lalu, apakah kita masih berani untuk melanggar nilai-nilai yang sudah digariskan dalam agama dan juga norma-norma yang ada, dengan berkamuflase pada kata “privasi”? Kembali kita perlu mengingat sebuah tweet yang pernah mengundang kontroversi dari Menteri Komunikasi dan Informatika RI, yaitu Tifatul Sembiring mengenai singkatan dari AIDS. Tifatul mengartikan AIDS sebagai “Akibat Itunya Dipakai Semabarangan”, mengingat tren penyebaran virus HIV sekarang ini justru berasal dari aktivitas seks bebas. Sontak, tweet Pak Menteri mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan dan juga aktivis AIDS. Tapi tentunya ketika kita mau melihat kembali dengan cermat, bagaimana dampak yang ditimbulkan akibat perilaku seks bebas terhadap peningkatan jumlah penderita HIV, rasanya singkatan dari Pak Menteri ada benarnya, agar setiap yang memiliki “itu” dijaga dengan hati-hati untuk tidak menjadi jalan penyebaran virus HIV. Akhirnya, jangan sampai kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah melalui Pekan Kondom Nasional menjadi tidak bijak. Bisa menyelesaikan satu masalah tapi menimbulkan masalah lain yang jauh lebih berbahaya ke depannya. Wallahu a'lam sumber foto : lintasberita.in

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline