AKhir bulan Oktober, Dewan Pers selesai merumuskan soal Pedoman Hak Jawab. Bagi para pekerja media mainstream, problem hak jawab kadang merepotkan. Sebuah kekeliruan atau kekurangakuratan fakta, akan dimanfaatkan oleh para pengacara (kalau itu berkaitan dengan kasus hukum) untuk meminta hak jawab yang panjangnya boleh jadi, jauh lebih panjang dari substansi yang dipersoalkan. Bahkan, segala instansi ditembusi apa yang disebut Hak Jawab.
Dalam Pedoman Hak jawab, Dewan Pers merumuskan hak jawab adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi atau badan hukum untuk menanggapi dan menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar kode etik, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta yang merugikan nama baiknya, kepada pers yang memublikasikannya.
Pers memang punya kewajiban untuk memuat hak jawab. Namun pers, menurut pedoman hak jawab itu, juga bisa menolak Hak Jawab jika (a) panjang/durasi/jumlah karakter materi Hak Jawab melebihi pemberitaan yang dipersoalkan, (b) memuat fakta yang tidak terkait dengan pemberitaan yang dipersoalkan, (c) pemuatannya dapat menimbulkan pelanggaran hukum; dan (d) bertentangan dengan kepentingan pihak ketiga.
Dewan Pers juga merumuskan Hak Jawab diperlakukan secara proporsional. Hak Jawab atas pemberitaan yang keliru, dilakukan bagian per bagian atas secara keseluruhan dari informasi yang dipersoalkan. Hak Jawab dilayani pada tempat dan program yang sama dengan pemberitaan. Hak Jawab dengan persetujuan para pihak dapat dilayani dalam format ralat, wawancara/profil, feature, liputan, talkshow, pesan berjalan, komentar media ciber atau format lain, tetapi bukan dalam format IKLAN.
Pelaksanaan HAK JAWAB harus dilakukan dalam waktu secepatnya, atau pada kesempatan pertama, sesuai dengan sifat pers. Untuk pers cetak wajib memuat HAK JAWAB pada edisi berikutnya, selambatnya dua edisi cetak sejak HAK JAWAB diterima redaksi. Untuk pers radio dan televisi HAK JAWAB diberikan pada program berikutnya. HAK JAwab hanya dimuat satu kali. Permintaan maaf dilakukan, bila kekeliruan dan ketidakakuratan fakta yang bersifat menghakimi, fitnah, atau bohong.
HAK JAWAB pun mengenal kadaluwarsa. Dewan Pers merumuskan, HAK JAWAB tidak berlaku lagi jika setelah dua bulan sejak berita atau karya jurnalistik dipublikasikan, pihak yang dirugikan tidak mengajukan hak jawab, kecuali atas kesepakatan para pihak. Sengketa HAK JAWAB diselesaikan Dewan Pers.
Pers yang tidak melayani HAK JAWAB selain melanggar kode etik dapat dijatuhi sanksi pidana dan denda maksimal Rp 500 juta.
Apakah HAK JAWAB juga terkena bagi para bloggger? Karena sifatnya yang interaktif, mungkin orang yang merasa dirugikan atas ketidakakuratan fakta, bisa langsung memberikan respons atau tanggapan atas substansi yang dipersoalkan. Sifat media sosial seperti inilah yang membedakannya dengan media mainstream. Jadi, keberatan terhadap berbagai posting di dunia maya, seyogyanya juga ditanggapi dengan tulisan di dunia maya. Dan tidak terlalu mudah membawanya ke problem tindak pidana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H