Dalam tulisan saya sebelumnya, telah dibahas "benefit of doubt" dari Perpu yang (akan) dikeluarkan Presiden SBY. Menimbang sikap mendua SBY dalam pengesahan RUU Pilkada di DPR yang berujung walk-out Fraksi Demokrat, "benefit of doubt" berarti memberikan kesempatan (favorable judgement in the absence of full evidence) kepada SBY sambil tetap waspada karena motif sebenarnya dibalik sikap mendua SBY belum terungkap.
Beberapa hari lalu, DPR telah memilih pimpinannya yang semuanya disapu bersih oleh partai pendukung Koalisi Merah Putih (KMP). Partai Demokrat, yang katanya netral, memutuskan untuk mendukung KMP di saat akhir dan mendapatkan posisi Wakil Ketua DPR (Agus Hermanto adalah adik ipar Ani SBY). Banyak pihak yang mengharapkan pertemuan Megawati dan SBY agar Demokrat dapat bergabung dengan koalisi Indonesia Hebat sebelum pemilihan pimpinan DPR. Lalu munculah statement SBY yang mengatakan bahwa sejak lama beliau ingin bertemu Megawati tetapi Tuhan belum mengizinkan.
Terhadap statement ini, para politisi PDIP melakukan klarifikasi bahwa Megawati sudah siap bertemu SBY pada tanggal 1 Oktober (sebelum pemilihan pimpinan DPR dilakukan), tetapi para utusannya (Jokowi, Jusuf Kalla, Surya Paloh, dan Puan Maharani) tidak mendapatkan respon positif dari SBY. Ada juga politisi PDIP yang mengatakan bahwa ada perbedaan kondisi sebelum bertemu, dimana Mega ingin bersama-sama dulu baru bertemu, sementara SBY ingin bertemu dulu lalu bicara.
Publik telah melihat bagaimana SBY mencoba meredakan ketegangan hubungan di masa lalu melalui beberapa tindakannya seperti: mendukung Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR (tanpa dukungan SBY, tidaklah mungkin PDIP menjadi Ketua MPR 2009-2014), memimpin upacara penjemputan jenazah Taufik Kiemas di bandara Halim, sampai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno.
Publik masih memahami jika Mega belum mau bekerjasama dengan SBY walaupun setelah pemilihan umum legislatif, SBY mengungkapkan di Youtube bahwa beliau siap untuk bertemu kapan saja Mega mau. Jelas, ini untuk penjajakan posisi wakil presiden yang waktu itu masih dalam pertimbangan PDIP dan koalisinya. Setelah Jokowi-JK mememangkan Pilpres tanpa dukungan SBY, sebetulnya Megawati telah menunjukkan bahwa PDIP telah kembali menjadi partai pemenang tanpa dukungan presiden incumbent, SBY.
Jika saja Megawati "secerdas" SBY, sebaiknya ikuti saja permainan SBY. Tentu, tujuan utama pertemuan Mega-SBY adalah mendapatkan dukungan Demokrat untuk koalisi Jokowi-JK. Tetapi jika ini tidak tercapai, misalnya SBY mengajukan sejumlah persyaratan untuk mendukung koalisi Indonesia Hebat di parlemen, dari jatah kursi di kabinet sampai jaminan perlindungan untuk tidak mengusut kasus Century dan Hambalang misalnya. Dengan demikian, "benefit of doubt" dari sikap mendua SBY selama ini dapat diketahui dengan jelas.
Ini tentu bermanfaat untuk pemerintahan Jokowi-JK dalam lima tahun kedepan. Ada yang berpendapat, bahwa rencana KMP selanjutnya pembuatan undang-undang untuk membubarkan (melemahkan) KPK. Aburizal Bakri bahkan mengatakan bahwa ada sekitar 190 Undang-Undang yang perlu dibahas kembali oleh DPR agar selaras dengan UUD 1945.
Apakah tanpa pertemuan Mega-SBY, lalu dapat disimpulkan bahwa tak ada harapan bagi PDIP untuk mendapat dukungan Partai Demokrat ? Tidaklah perlu bagi Megawati untuk mengutus Jokowi atau Puan, pertemuan langsung akan mempunyai arti dan manfaat yang lebih dalam dan luas. Dalam rangka Idul Adha besok (5 Oktober), Megawati berencana bertemu dengan para Ketua Umum partai pendukung koalisi Jokowi-JK. Mengapa tidak bertemu SBY juga? Masih belum terlambat untuk mengamankan posisi pimpinan di MPR bagi PDIP, masih belum terlambat juga untuk menggalang dukungan di DPR. Tapi apakah Mega mau ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H