Lihat ke Halaman Asli

Takut Apa, Manusia?

Diperbarui: 24 Juli 2015   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tak ada waktu untuk menepi lalu mengeluh. berjalan pergi menghadap matahari dan pulang bersama peluh dan kesadaran dalam gelap. Tak ia peduli tampil cantik. Kekhawatiran apa yang paling utama bagi manusia? tak ada drama, tak ada permainan.

Setiap kota sama saja, menawarkan kesibukan dan tipuan. Semua orang bekerja dan mendapat upah kemudian habis dalam sekejap dalam keranjang belanja. Semua orang belajar dan berkeliling dunia dengan kotoran dalam perut. Saat telah menaruh senyum pada seorang anak dengan makanan, ia telah terbang merasa menggapai surga kemudian tak menyadari absurditas nilai kebaikan. Semua orang tertipu. Siapakah Satu-satunya yang tau diri akan kelemahan dan kefasikan dirinya. Buang jauh keberadan, pesimisme membuncah diantara riak yang lahir dari kesepian jiwa.

Kita lihat saja siapa yang memakai perhiasan hasil raupan para begundal dan pemain harga. Segalanya tampak memukau, tapi tolol dan takut semakin merajai rumah-rumah dan pemiliknya, tak ada buku dalam jiwanya, ada kitab suci yang dibaca berulang tanpa pernah mengubahnya. tidak ada pilihan lain selain meludah di atas kepala lalu muntah di atas perut sendiri.

Kegelisahan hanya lahir dari jiwa yang tidak percaya pada ketiadaan. Hanya jiwa lemah yang takut datang dan pulang dengan kegagalan memenangkan tepuk tangan. Siapakah ia yang bernyanyi dan tak mengubahmu untuk sekedar mengalah memberi jalan para pengendara yang hendak berjumpa dengan kekuasaan.

Semua kita adalah penjahat bagi dunia yang sibuk dengan kepala-kepala yang di isi dengan materi dan penghargaan. Sumpah serapah adalah undang-undang di pasar, mesjid, kantor, bahkan di atas apapun yang dibangun oleh harapan. Bangunlah.

Hendaknya jiwa tidak pernah tidur dan tak takut kesiangan, cukup tubuh renta saja. Sudah cukuplah lembaran kertas ciptaan leluhur itu yang membuat keterasingan bagi buruh seluruh dunia. Mereka buat nilai menjadi rumit.

Seorang ayah pergi dengan sekotak makanan penuh kandungan vitamin lalu mati mengenaskan di bawah truk pengangkut semen. Itu bukan kiamat, itu hanyalah mesin yang tidak terkendali. Semua orang nyaris mati di tangan mesin ciptaan sendiri. Lalu apa yang mesti kita takutkan.

Ibu memilih pakaian dalam untuk malam-malam penuh peluh yang mengotori ranjang bau sabun murahan. Ia menemui pencipta kenikmatan tepat setelah mencuci diri dalam kamar mandi licin berbusa hasil pabrik detergen yang menawarkan kenyamanan dan keamanan, semua terjadi begitu saja.

Mau bicara apalagi setelah kita terlanjur hidup, dan setiap malam khawatir dalam mempertimbangkan penyebab kematian?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline