Lihat ke Halaman Asli

Maaf, Ini tentang: Hujat Sinetron Indonesia !!

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saya pikir, semua orang begitu waras untuk merasakan bahwa Sinetron adalah sesuatu yang Generally buruk. Bahkan, Rasanya saya masih sangat kecewa untuk menyebut sinetron itu buruk, kupikir, kata “Buruk”pun masih belum cukup untuk disematkan pada media hiburan ini. Standarisasi yang saya pikir sangat cukup untuk membuktikannya terletak pada kemampuan para pemain-pemain yang memerankan setiap tokoh. Ini penting, kita tidak perlu menyebut mereka Aktris (seseorang yang memiliki jiwa seni tinggi), apalagi menamai mereka Aktor (seseorang yang mampu memerankan seseorang diluar diri mereka). Cukup menamai mereka Pemain-Pemain sinetron, iya, orang-orang yang bermain-main, lalu menjadi begitu terkenal karena disorot kamerasecara ber-episod, sangat memprihatinka. sekali lagi, karena mereka memang memilikikemampuan ber-acting yang tidak memadai.

Mari, Kita buktikan beberapa Dosa besar yang meracun dari sinetron. Pertama, Dari dialog yang seringkali kita lihat dan dengar, hanya sebuah klise yang memanfaatkan stereotip dalam masyarakat. Misalnya, tindakan diskriminatif terhadap seorang Pembantu rumah tangga, yang dikonotasikan Jorok, miskin, jelek, tidak berpendidikan, bahkan rendahan. Padahal, apa yang salah pada diri seorang pembantu? Toh, mereka juga mendapat imbalan dari pekerjaannya, bahkan punya peranan yang sangat Vital dalam menciptakan harmonosasi dalam rumah tangga.

Itukan menjadi sebuah kejahatan yang tidak manusiawi, hal ini kemudian membentuk sebuah paradigma umum hingga meracuni masyarakat, bahwa pembantu adalah pekerjaan yang sangat rendah. Kejam bukan? Contoh lain misalnya, pernah saya mendengar sebuah dialog yang sengaja diberi tekanan agar terdengar meyakinkan, sang tokoh antagonis berkoar : “Untuk apa kamu mengenakan kerudung itu? Kamu kelihatan seperti babu, goblok”. -hendak memberikan asumsi bahwa kerudung itu rendahan, dan pembantu itu adalah orang-orang yang gemar mengenakannya, makanya pembantu itu rendahan-, sebuah premis-premis yang asumtif, karena tidak pernah dijelaskan bahwa kenapa/mengapa kerudung itu kemudian di asumsikan rendahan, atau pembantu itu rendahan, bahkan apa itu rendahan?. Stereotip pembantu hanyalah sekelumit dialog sampah dalam sinetron yang tidak pernah berhasil membuat peneonton mengerutkan dahi.

Kedua, masalah ceritanya. Ini yang menurutku sangat fatal. Sama sekali tak menunjukkan cirri-ciri ke-logis-san, pun tentang kontinuasinya yang bermasalah. Contoh, dalam banyak cerita dalam sinetron tentang adegan-adegan kematian dirumah sakit, setelah seorang tokoh Nampak sekarat, dia masih sempat untuk memberikan semacam pidato, atau mengumbar kata-kata melankoli. Bagaimana mungkin bukan? Peristiwanya pun diperparah saat, sang tokoh pesakitan ini, mulai mengejang lalu menghempas nyawa, nah, perhatikanlah dokter atau suster akan segera datang dengan santai, kelihatan sangat datar, lalu dengan cueknya memeriksa pasien lalu berkomentar “maaf, dia sudah meninggal”, tanpa ada sedikit usaha yang menunjukkan keseriusan seorang dokter sungguhan, misalnya dengan menekan dada pasien atau apalah.

Ini hanyalah sekelumit dari bagaiman sebuah sinetron membangun sebuah cerita dan adegan yang berkualitas, yang tidak sekedar menghibur. Belum lagi kalau kita menelisik tentang absurditas tokoh-tokoh unidimensional dalam cerita sinetron : manusia-manusia yang terlampau baik, juga absurditas dari tokoh-tokoh yang perubahan seratus delapan puluh derajat perilaku secara instan. Lihatlah, pada sinetron-sinetron yang mengangakat tema Religi yang sering menampilkan tokoh dengan watak jahat nan beringas, yang hanya membutuhkan waktu sejam untuk merubahnya menjadi ahli ibadah, yang sok beristigfar, dan tiba-tiba khatam al-Quran. Hal-hal absurd dari sajian Sinetron yang jauh dari sekedar menggelitik, bahkan telah mengganggu nalar logis secara substansial, saat dikonsumsi.

Memang, dalam tataran konsep, sinetron hanya merupakan sajian yang hanya bertujuan menghibur, tidak kurang tidak lebih. Namun akan lebih baik jika dikemas dalam benruk yang lebih kreatif, terlebih jika sehabis menyaksikannya, mampu memunuculkan efek Stimulasi moralitas. Karena tak bisa dipungkiri, dari segi Rating, sinetron merupakan tayangan yang populer dan digemari masyarakat. Bahkan banyak tempat di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang telah terjangaku Jaringan televise, sinetron merupakan tontonan Keluarga.

Ini seharusnya menjadi motivasi untuk terus memberikan perbaikan dalam hal kualitas cerita serta konsep yang mumpuni dengan tampilan yang masuk akal. Pada akhirnya, kita sebagai penikmat tontonan televise berharap agar kemajuan pada industri pertelevisian Indonesia mampu berada dihati setiap penikmatnya, bukan hanya sebagai media hiburan, tapi lebih kepada media pendidikan yang diharapkan mampu membentuk karakter bangsa. Amin..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline