Saya sudah pernah menulis panjang lebar tentang Sekolah Lapangan (SL). Nanti deh lain kesempatan saya unggah disini tulisannya. Waktu itu harapannya ingin memperjelas kalau Sekolah Lapangan itu tidak hanya pelatihan sehari terus dilabeli SL. Juga mempertegas jika SL adalah metode penyuluhan yang berlangsung dalam periode tertentu yang lebih mengutamakan partisipasi aktif peserta dalam perencanaan dan pelaksanaanya.
Sampai saat ini saya berkeyakinan bahwa Sekolah Lapangan merupakan metode penyuluhan yang sangat efektif dibandingkan dengan metode penyuluhan lainnya. Kenapa saya berani menyimpulkan begitu? Metode SL ini pernah diimplementasikan tahun 2017 silam dengan didanai oleh pemerintah Erling Haaland. Topiknya saat itu adalah Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di 3 provinsi yang rawan kebakaran. Yakni Provinsi Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Hasil SL di 3 lokasi tersebut sangat menggembirakan. Terdapat peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap para anggota KTH peserta SL. Yang tadinya mereka tidak tahu bagaimana pencegahan Karhutla, sekarang merekalah yang menjadi ujung tombak dalam menyadartahukan masyarakat tentang bahaya Karhutla.
Setelah mengikuti SL, anggota KTH jadi memiliki rasa percaya diri yang tinggi sehingga berani mengemukakan pendapat di muka publik. Yang tadinya pemalu, menjadi pemberani. Yang tadinya gak ngerti menjadi paham. Yang tadinya tidak bisa mendeteksi dini kebakaran menjadi terampil menerka tanda-tanda Karhutla.
Baiklah, beberapa bagian dari tulisan di tautan tersebut akan saya tampilkan disini. Sejarah sekolah lapangan sendiri bermula dengan Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SL PHT) yakni era program nasional PHT dan FAO IPM programme in Indonesia. Kurun waktu tahun 1989-2002.
Dirasa berhasil, sekolah lapang kemudian dikembangkan pada berbagai konteks program. Seperti pengelolaan lahan, HIV/AIDS, pemberdayaan masyarakat miskin, sekolah berbasis ekologi, pendidikan non formal, penelitian sosial dan sains, kesehatan masyarakat, peternakan, pemuliaan tanaman secara partisipatif dan bahkan untuk pengembangan gender.
Menilik pengertiannya, sekolah lapangan merupakan salah satu metode penyuluhan yang menekankan proses pembelajaran secara partisipatif. Karena partisipatif, maka SL harus melibatkan peserta secara aktif. Peserta SL mencari dan menemukan fakta sendiri tentang masalah atau topik yang dihadapi untuk kemudian dianalisis didiskusikan sesama peserta untuk mengambil keputusan bersama.
Sekolah lapangan bisa disebut sekolah tanpa dinding, karena bisa dilakukan dimana saja. Di alam terbuka juga OK, di rumah masyarakat juga bisa. Bahkan langsung di titik lokasi masyarakat memiliki masalahpun nggak jadi soal. Yang jelas tidak kaku, jauh berbeda pendidikan formal di dalam kelas.
Materi-materi yang disampaikanpun merupakan hasil identifikasi kebutuhan kelompok. Untuk menggalinya biasanya menggunakan metode ballot box. Peserta SL disuguhi beberapa pertanyaan terkait topik. Jawaban pertanyaan yang paling banyak salahnya, itulah yang materi yang akan diberikan pada kelompok.
Jika pada sekolah formal guru menjadi tokoh sentral dan mendominasi, tidak demikian dengan sekolah lapangan. Peserta SL lah yang jadi pemeran utamanya. Adapun fasilitator dan kader SL hanya menjadi pemandu agar SL berjalan sesuai koridor. Memastikan kumpul-kumpul menjadi bermanfaat. Karena tau sendiri kebiasaan orang Indonesia jika sudah ngumpul. Kalau nggak ghibah, ya debat kusir. Ngobrol ngalor ngidul minim faedah.
Siapa yang jadi fasilitator dan kader SL? Fasilitator SL adalah orang yang punya pengetahuan untuk memandu jalannya SL. Biasanya sih disesuaikan dengan topik. Jika topiknya terkait kehutanan yang paling pas ya Penyuluh Kehutanan.