Lihat ke Halaman Asli

Budiman Hakim

TERVERIFIKASI

Begitulah kira-kira

Istri Saya Minta Cerai

Diperbarui: 30 Januari 2018   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ini saya pinjam dan seizin dari Galang Press

"Cere'in gue! Cere'in gueee!!! Cere'in gueeeee!!!!!!!" Vina memekik sambil menangis menggerung-gerung.

Malam itu, untuk kesekian kalinya, kami bertengkar lagi. Sejak hari-hari pertama menikah, kami memang sering bertengkar tapi baru kali inilah dia mengucapkan kata minta cerai. Saya sampai shock dan cuma bisa berdiri diam, berusaha menahan emosi supaya tidak terpancing kemarahan yang akan membuat suasana menjadi lebih gawat.

Pernikahan memang tidak pernah mudah. Sampai tahun keempat, tidak terhitung berapa kali saya dan isteri bertengkar. Mungkin karena kami menikah di usia muda sehingga masih sulit mengontrol emosi. Bahkan tidak jarang kami bertengkar hebat hanya untuk masalah yang sangat sepele.

Perlahan tapi pasti, akhirnya saya berhasil meredam emosi.

Dengan suara perlahan, saya berkata, "Sebaiknya kita tidur dulu. Perceraian itu keputusan besar. Dan keputusan besar sebaiknya tidak dilakukan ketika kita sedang marah."

Isteri saya tidak menjawab. Dadanya masih kembang kempis diiringi suara sedu sedannya yang mengisyaratkan bahwa dia juga sedang menahan amarah yang bergejolak minta dimuntahkan.

"Kita lanjutkan pembicaraan ini besok pagi. Kalo lo masih punya keputusan yang sama, kita akan urus perceraian kita." Habis berkata begitu saya pergi meninggalkannya.

Besok paginya, isteri saya tidak berkata apa-apa. Dia melakukan kegiatan rutinnya seperti biasa seakan peristiwa pertengkaran tadi malam tidak pernah terjadi.

Dia menyediakan sarapan, membuatkan kopi, mengantar anak kami, Leon, ke sekolah. Leon waktu itu baru berusia 3 tahun.

Karena isteri saya bersikap begitu, saya juga nggak berani ngomong apa-apa. Saya biarkan perdamaian datang tanpa solusi. Dengan pikiran nggak tenang, saya pun berangkat ke kantor. Sepanjang hari di kantor, saya sulit untuk berkonsentrasi. Hati saya galau bercampur gundah gulana.

Walaupun akhirnya suasana menjadi normal kembali, kekuatiran akan ada perceraian terus mengganggu pikiran. Saya kuatir hal ini akan berulang. Siapa yang berani menjamin kami tidak akan bertengkar lagi. Siapa yang bisa menjamin bahwa isteri saya tidak akan minta cerai lagi. Pikiran itu membuat saya merasa harus mempersiapkan diri. Hoping for the best but expecting the worst.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline