Lihat ke Halaman Asli

Kepemimpinan Eling dengan Kecerdasan Ekologi

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Mindful leadership and ecological intelligence

Kepemimpinan eling dan kecerdasan ekologi

Perjalanan yang cukup panjang di atas pesawat memberi kesempatan menikmati beberapa film. Satu diantaranya Down of the planet of the Apes. Kisah yang tentu sebagian anda sudah ketahui, berkisar perang manusia dan hewan. Beberapa minggu lalu saya mampir mengajarkan mindful leaderhsip di kota kecil di Riau daratan yang beberapa bulan lalu mengalami red alert karena kabut asap yang sangat tebal. Hampir boleh dikatakan perekonomian terhenti, pesawat tidak dapat turun, sekolah libur, kantor pemerintahan libur dan kini muncul lagi beberapa titik api di daerah sekitarnya tersebut.

Daniel Goleman penulis Emotional Intelligence pada tahun 1995 kemudian meluncurkan juga Ecological intelligence beberapa tahun lalu. Kecerdasan ekologi ini relatif baru dikenal. Lahir dari kekakuan manusia selama ini mengikuti metodologi Newtonian yang memandang system secara tertutup dengan variabel-variabel yang relatif statis, maka kecerdasan ekologi ini membongkar hal baru seiring dengan kemajuan teknologi biologi dan lingkungan dan mengajak manusia memandang segala sesuatu sebagai interkoneksi yang saling bergantungan dan hidup dalam suatu ekosistem. Kecerdasan seorang pemimpin yang paham setiap efek dari keputusan yang diambil akan berakibat langsung dan tidak langsung terhadap ekosistem yang ada di dalamnya.

Oleh karena itu, tepatlah bila kita mengasah hati kita dengan eling menyadari dampak dari keputusan apapun yang kita lakukan terhadap ekosistem. Pemimpin yang berkesadaran ekologi akan peka terhadap langkah-langkah yang diambil dan akibatnya. Sebagai contoh, sebagai seorang manajer pemasaran, iklan yang kita tayangkan tentu berdampak pada penonton iklan tersebut. Bila iklan berisi kebohongan, ajakan tidak sesuai etika dan moral maka secara tidak langsung pemimpin memberikan dampak negatif yang besar terhadap umat manusia. Keputusan pemimpin untuk mengeksploitasi alam, merusak alam, menggelapkan pajak, mencari keuntungan dengan membiarkan konsumen mendapatkan produk/layanan yang tidak sesuai syarat kesehatan, keamanan dan kemanfaatan adalah contoh pemimpin yang tidak memiliki kecerdasan ekologi. Dalam ilmu mindfulness, alam adalah sumber inspirasi dan kebijaksanaan. Ketika ekosistem alam diganggu, alam selalu akan mencari jalan untuk menyeimbangakannya. Dan pemimpin yang eling janganlah berpikir bahwa perbuatan merusak ekosistem tersebut tidak berdampak terhadap kehidupan manusia dan kehidupan pemimpin. Semua ada penyeimbangnya, alam selalu menemukan cara untuk untuk membuktikannya. Eling sangkan paraning dumadi, selalu sadar akan sumber kehidupan dan tujuan hidup, jangan merusak alam yang telah memberi hidup.

Saya ingat cerita sesepuh di desa tempat saya mengasah hati. “Nak, dulu kami tidak kenal pupuk Urea, NPK, TSP atau apalah namanya itu. Tempat ini dulu subur sebelum kenal pupuk-pupuk tadi. Tak ada orang kelaparan di sini. Lumbung padi hanya satu di desa ini dulu, semua panenan di simpan di sana.” Demikian kenang sesepuh yang sudah berusia sangat lanjut itu. “Mengapa dulu bisa begitu ya?” Tanyaku. “Mungkin dulu orang tidak seserakah sekarang. Dulu orang sangat bersahabat dengan alam. Menghormati bumi yang memberikan mereka sayur mayur, palawija, padi dan lain-lain. Panen adalah ungkapan kegembiraan dan syukur kepada bumi yang telah melahirkan bulir-bulir padi yang mencukupi kebutuhan desa. Tak heran bila dulu kami selalu membuat tumpeng syukuran atas hasil panen yang melimpah tersebut. Akh, andai manusia bisa selalu bersahabat dengan alam, tak akan ada banjir, kelaparan, kekeringan dan bencana.” Demikian sesepuh itu mengakhiri.

20 tahun yang lalu di sekitar waduk Kedung Ombo, saya sempat bertamu di desa yang menurut masyarakat adalah desa tempat tinggal orang Samin. Dari kata “samin” kita tahu kalau mereka orang polos. Pertemuan yang memberikan dampak pada pemikiran saya sampai hari ini. Di desa yang sekolahnya kosong karena tidak ada murid, saya sempat berpikir, orang-orang di desa ini mungkin terbelakang karena tidak berpendidikan. Untung saja saya belum membaca buku “School kill your creativity” pada saat itu. Sekolah kosong karena orang samin tidak ingin anaknya dicemari oleh pemikiran modern. Penduduk di sini hidup dari swasembada. Ketika kami kunjungi, sungai di sekitar desa airnya sungguh jernih. Ikan terlihat dengan jelas. Besar-besar dan banyak. Di rumah yang kami kunjungi, bapak kepala keluarganya baru kembali dari ladang membawa 1 ekor ikan. Ya hanya 1 ekor. Dan ketika kami tanya mengapa hanya 1 ekor padahal untuk mendapatkan 10 ekor tidak sulit. Jawabannya sederhana: “Karena keluarga kami hanya perlu 1 ekor saja”. Demikian lah orang-orang yang tidak bersekolah itu telah mengajarkan saya ilmu yang baru ditemukan Daniel Goleman belakangan ini, ecological intelligence. Tampaknya Daniel Goleman perlu datang belajar pada orang Samin ini. Daniel Goleman sendiri mendapatkan insipirasi ini dari pengamatannya di Sher, sebuah desa kecil di Tibet yang memiliki cara unik untuk bertahan selama ribuan tahun. Sebuah desa yang memiliki posisi alam yang sangat ekstrim namun dapat bertahan karena ancient wisdom sebuah kebijaksanaan masa lalu yang turun temurun diwariskan.

Howard Gardner penulis multiple intelligence dengan jelas mengatakan akan muncul berbagai kecerdasan-kecerdasan baru di masa yang akan datang. Pemimpin yang terpaku melihat kehebatan dari satu jenis kecerdasan saja, akan jauh tertinggal dalam mengendalikan timnya.

Beberapa situs dunia lain mengatakan bahwa anak-anak yang terlahir di abad 21 adalah anak-anak kristal atau Crystal child, anak masa kini yang peduli pada kehidupan alam dan kelestarian bumi. Entah benar atau tidak, itu merupakan pertanda baik akan kelangsungan planet bumi ini kedepan.

Kembali pada cerita asap di Riau, sekarang mungkin tidak hanya di Riau namun sdh merambah ke banyak tempat lain di Sumatera termasuk Kalimantan. Bukan untuk mengeritik para pembakar atau memang mungkin tidak sengaja terbakar namun perlu juga kita menyadari ekosistem yang rusak karena kebakaran tersebut. Seorang teman yang tinggal di kawasan Duri-Riau mengatakan sekarang banyak satwa liar masuk ke perumahan. Gajah, kera bahkan harimau. Satwa-satwa tersebut kehilangan habitat tempat mereka mencari makanan. Mereka memasuki perkampungan untuk mencari makanan yang ada di sekitar pekarangan rumah penduduk. Saya menyaksikan sendiri bagaimana kera-kera memasuki kompleks perumahan dan mengambil nangka, pisang dan tumbuhan apa saja yang bisa mereka makan. Uniknya, penduduk sudah bisa memaklumi perilaku para hewan ini, dan sayangnya pemimpin-pemimpin bisnis tidak memahami hal ini dan terus menggasak lahan yang tersisa tanpa peduli dengan ekosistem yang rusak dan porak poranda demi sebuah “industri” yang ujung-ujungnya membawa pada malapetaka yang lebih luas. Pemilik kebun mungkin sedang menikmati hawa sejuk di Eropa sementara masyarakat menikmati asap, dan tentu binatang-binatang liar yang merusak tanaman mereka. Teman saya mengatakan penduduk sekitar sekarang tidak menanam lagi tumbuhan yang menarik perhatian hewan-hewan tersebut. Mereka sudah melakukan segala upaya mencegah hewan masuk ke perkampungan antara lain dengan menggali parit/selokan lebar dan dalam agar binatang-binatang besar tidak dapat masuk. Akal penduduk kalah dengan hewan. Gajah terutama memiliki kecerdasan yang tinggi, mereka dapat mengatasi parit dalam dan lebar tersebut dengan cara yang amazing. Mengandalkan gajah muda yang kuat sebagai tumpuan untuk melewatkan anak gajah dan gajah tua dan kemudian gajah tua bersama-sama menggandeng belalai gajah muda itu untuk naik dari parit bersama-sama. Itu cara hewan mengatasi hilangnya ekosistem hidupnya. Sampai kapan? Tak ada yang tahu sampai kapan mereka bertahan.

Hendaknya masyarakat, para pemimpin bisnis, pejabat publik dan tokoh masyarakat memahami arti dari mindful leadership dan memiliki kecerdasan ekologi sehingga industri dan ekosistem hutan dapat berjalan berdampingan. Tanpa itu, jangan salahkan bila manusia dimangsa binatang buas, asap bertebaran di mana-mana, banjir,lumpur dan longsor tidak terkendali. CPO dan tambang tetap dapat menjadi andalan komoditi Indonesia, tentu dengan selalu menjaga lingkungan sekelilingnya agar dunia ini layak dihuni bersama oleh semua mahluk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline