Lihat ke Halaman Asli

Kiprah Richard Nixon dan Belajar dari Skandal Watergate (Bagian Pertama)

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mencermati "kejadian-kejadian" di ranah hukum kita beberapa waktu belakangan, maka kita harus bercermin pada kejadian di sebuah negara yang sangat mengagungkan demokrasinya, yakni Amerika Serikat (AS). Kejadian dimana sebuah kejadian atau perkara yang banyak menyeret petinggi hukum di sana, sehingga bermuara kepada "pengunduran diri" kepala negara yang merupakan peristiwa pertama dan satu-satunya sejak kemerdekaan AS 4 Juli 1776. Jika anda pernah menonton film "All The President Men"  produksi Warner Bros tahun 1976 yang dibintangi Dustin Hoffman (kini 72 tahun) dan Robert Redford (kini 78 tahun) serta disutradarai oleh Alan J.Pakula, diceritakan di sana bagaimana dua orang wartawan "Washington Post" yakni Carl Bernstein (Hoffman) dan Bob Woodward (Redford) membongkar kasus terbesar sepanjang sejarah AS. Watergate, adalah skandal politik terhebat di abad 20. Skandal ini terdiri atas perpecahan-perpecahan, upaya tutup menutupi, dana untuk menyogok, tipu muslihat, daftar hitam, paranoia presiden, rekaman tidak legal dan kata-kata makian yang dihapus. Akibatnya, Richard M.Nixon menjadi presiden pertama, dan sejauh ini satu-satunya yang "dipaksa" mengundurkan diri dari jabatannya. Sebab-sebab skandal Watergate terletak jauh di dalam karakter Richard Nixon. Dilahirkan di sebuah kota kecil di California, ia melihat dirinya sebagai orang luar yang abadi ("eternal outsider"). Bahkan waktu dia menjabat sebagai presiden, ia beranggapan bahwa pihak Pesisir Timur dan pers kota besar yang liberal akan melakukan apa saja untuk menjebaknya. Ia mungkin saja benar. Jumlah politikus yang begitu dibenci dan ditakuti seperti Nixon sedikit saja. Nixon berawal sebagai anggota kongres (baca: di sini DPR) yang muda, ia duduk di House un-American Activities Commitee dan dialah yang berperan dalam kejatuhan Alger Hiss, seorang pejabat departemen Luar Negeri, yang dinyatakan banyak orang percaya bahwa tuduhan itu palsu, sebagai mata-mata Soviet. Karena ia secara menonjol berada di pihak kanan partai, ia dipilih sebagai pendamping dalam pemilihan presiden bagi Dwight D. Eisenhower yang bercondong liberal di tahun 1952 supaya ada balancing . Hal ini dengan serta merta menyebabkan skandal waktu, dinyatakan-tanpa adanya bukti-bahwa yang mengendalikan dana sogokan rahasia yang diadakan oleh para praktisi bisnis kaya raya di California. Nixon menanggapinya dengan muncul di televisi-ketika itu tampil di TV adalah sebuah tampilan yang belum pernah dicoba-dan menyampaikan pidato "Checkers" nya yang termashur. Dalam pidato itu ia memprotes dan menyatakan bahwa ia tidak bersalah. Ia menyatakan bahwa bukannya ke sana ke mari dengan jubah bulu, istrinya Pat pun hanya mengenakan stelan kain model kuno. Pemberian-pemberian satu-satunya yang pernah diterimanya adalah seekor anak anjing bernama Checkers, dan sial amat kalau ia harus mengembalikan anak anjing itu. Performanya memang mencolok sekali, karenanya ia mendapat julukan, setidaknya dari lawan politiknya "Tricky Dicky" (si Dicky yang Licin). Setelah dua masa bakti sebagai wakil presiden, Nixon dicalonkan menjadi pengganti Eisenhower, meskipun pihak Eisenhower sendiri tidak begitu antusias. Namun ia kalah tipis dari John F.Kennedy dalam pemilihan tahun 1960, diprediksi sebagai akibat dari penjejalan (manipulasi) kartu pemilih di distrik-distrik utama. Meskipun Kennedy adalah seorang Katolik Irlandia, di mata Nixon sosok itu kurang begitu disukainya, punya uang, dari Pesisir Timur, seorang penulis, seorang intelektual, lulusan Harvard lagi. Di tahun 1962, ia secara terang kalah waktu ia ikut serta pada pemilihan kursi Gubernur California (yang justru daerah asalnya). Di sebuah konfrensi pers, ia memberi tahu wartawan : "Selama 16 tahun, kalian banyak bersenang-senang. Sekarang kalian tidak punya Nixon lagi untuk kalian tendang ke sana-k emari karena, tuan-tuan inilah konferensi persku yang terakhir".  Tetapi ia salah. Ia mendapat tendangan lebih lanjut waktu ia dan manajer kampanyenya Bob Haldeman didenda karena menggunakan praktek-praktek kampanye curang. Meskipun demikian, laparnya akan kekuasaan belum terpuaskan. Setelah anggota partai Republik Barry Goldwater "diobok-obok" oleh presiden yang menjabat Lyndon B.Johnson, Nixon mulai menetapkan dirinya kembali sebagai sosok terkemuka dalam partai. Di tahun 1968, sekali lagi ia memenangkan pencalonan partai Republik. Kali ini dewi fortuna memihaknya. Kebijakan domestik yang begitu populer yang diterapkan Johnson "tenggelam" oleh keterlibatan yang merupakan bencana besar dalam Perang Vietnam dan Johnson menolak mencalonkan diri lagi. Pembunuhan atas Robert Kennedy (Jaksa Agung dan kandidat kuat presiden AS) menghilangkan pemimpin hebat dari partai Demokrat, dan pembunuhan atas Martin Luther King, Jr (pejuang hak asasi kaum kulit hitam AS) mencetuskan kerusuhan-kerusuhan rasial. Kampanye partai Demokrat di Chicago memburuk, dan menjadi ajang "pertempuran"antara polisi brutal, Walikota Daley dan para pemrotes damai serta aktivis hak-hak sipil. Nixon menyatakan ia berbicara untuk "mayoritas yang diam" dan berjanji mengembalikan hukum dan tata tertib. Ia juga "mencuri" apa yang tersisa dari "bungkusan" partai Demokrat. Calon partai Demokrat Hubert Humphrey, meskipun sosok dengan latar belakang liberal dan tidak tercela, pernah menjadi wakil presiden di era Johnson ikut-ikutan tercemar oleh perang Vietnam. Tetapi Nixon berjanji untuk mengakhiri perang, dan membawa "damai bersama kehormatan" (pride and glory). Ia menang mutlak !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline