Lihat ke Halaman Asli

Tiga Kandidat Capres Terkuat, Siapakah yang Paling Tepat?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah Pemilu Legislatif 9 April kemarin dilangsungkan, banyak sekali muncul berita-berita menarik yang mengulas hasil yang didapatkan dan taktik yang digunakan oleh partai politik untuk memenangkannya. Sampai saat ini, berdasarkan data dari Quick Count, hasil pencoblosan masih berpihak kepada PDI-P, Partai Golkar dan Partai Gerindra. Berita dan analisa pun bermunculan dari yang bertendensi positif maupun negatif terhadap masing-masing pihak berdasarkan hasil Pemilu tersebut. Mari kita bahas dengan melihat pada masing-masing partai politik pemenang Pileg kemarin.

PDI-P

Banyak yang mengatakan bahwa Jokowi Effect sangat berpengaruh pada hasil Pileg untuk PDI-P tersebut, namun tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa Jokowi Effect tidak berpengaruh sama sekali dalam Pemilu tersebut, dilihat dari perolehan suara PDI-P yang hanya mencapai kisaran 19%.

Saya pribadi menganggap bahwa yang berperan kali ini adalah mesin partai, bukan individu (dalam hal ini Jokowi). Sebab itu, saya menyimpulkan bahwa Jokowi Effect tidak berpengaruh pada Pemilu kali ini. Kalau pun berpengaruh, pengaruh yang terjadi pun sangat kecil dan tidak sebesar yang diharapkan oleh pihak-pihak yang mendukung Jokowi.

Karena hasil Pileg yang tidak mencapai 20%, PDI-P pun harus berkoalisi dengan partai lain untuk dapat mengusung Capresnya dikarenakan ketentuan yang telah ditetapkan di Undang-undang.

Saya sebetulnya kecewa dengan Jokowi yang menerima pencalonan dirinya sebagai Capres dari PDI-P. Saya menilai bahwa seharusnya dia menyelesaikan dulu masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dikarenakan pada awal Jokowi pernah berjanji untuk memimpin Jakarta selama 5 tahun, ketiga menanggapi isu bahwa ia akan menjadi Capres pada Pemilu kali ini. Jokowi menyanggupi janji tersebut, namun kenyataanya? Jokowi tidak menepati janjinya dan tergiur untuk menjadi Presiden. Banyak masalah di Jakarta yang belum teratasi seperti macet yang semakin parah, banjir, sampah dan sebagainya. Oleh sebab itu saya berpikir sebaiknya Jokowi menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan di Jakarta yang lingkupnya lebih kecil, baru setelah berhasil (seperti di kota Solo), bisa ikut membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di negara ini.

Partai Golkar

Partai Golkar sangat identik dengan Orde Baru. Sehingga dapat dikatakan bahwa banyak pihak yang tidak menyukai partai berlambang beringin ini. Namun, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa kita juga sebenarnya merindukan masa Orde Baru, dimana kestabilan nilai rupiah, kestabilan pangan dan kestabilan keamanan pernah kita alami, dan tentu saja bukan merindukan hal-hal negatif pada masa itu ya.

Hal menarik dari partai ini adalah banyak berita yang memuat tentang beberapa masalah internal partai. Misalnya Akbar Tanjung yang sepertinya ingin mencari perhatian dan menunjukkan bahwa dia populer, atau Priyo Budi Santoso, beberapa waktu yang lalu yang menyatakan bahwa elektabilitas dia lebih tinggi dibanding ARB. Saya menilai bahwa sikap Akbar Tanjung dan Priyo Budi Santoso tersebut merupakan sikap yang tidak dewasa dalam berpolitik, lebih mengedepankan ego dan kepentingan pribadi dibandingkan dengan kepentingan partai yang mereka bangun selama ini. Sikap mereka juga terlihat sangat tidak etis, dimana seharusnya berjuang bersama-sama mengangkat ARB agar lebih kuat lagi dibanding sebelumnya.

Sikap Akbar Tanjung tersebut dapat menjadi blunder bagi dirinya sendiri maupun Partai. Dikarenakan ARB, sebagai Ketua Umum dan Capres Partai Golkar, telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengampanyekan Partai Golkar di daerah-daerah. Oleh sebab itu, saya menilai Akbar Tandjung hanya mencari popularitas semata untuk menjual namanya kembali. Siapa tahu ada partai lain yang meliriknya untuk menjadi cawapres ataupun capres. Priyo Budi Santoso sendiri juga tidak lolos dalam Pileg sehingga tidak akan masuk ke Senayan.

Partai Gerindra

Partai Gerindra kali ini mengalami kenaikan yang sangat drastis dibandingkan dengan hasil Pemilu tahun 2009. Hal ini dimulai pada saat Pilkada DKI Jakarta yang menyandingkan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan Jokowi sebagai Cawagub DKI Jakarta. Saya melihat hal inilah yang menarik perhatian masyarakat kepada Partai Gerindra. Hampir tidak ada pemberitaan negatif mengenai hasil yang diperoleh partai ini setelah Pileg kemarin.

Dengan mengusung Prabowo sebagai Capresnya, Partai Gerindra terlihat sangat dominan untuk kalangan muda. Walaupun saya melihat Gerindra sebenarnya mencuri start dalam hal kampanye di media, karena sering kali pada saat menonton televisi, saya melihat tayangan iklan Partai Gerindra.

Prabowo sendiri merupakan sosok yang tegas dan berpengalaman, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Prabowo adalah Capres yang kuat dari Partai Gerindra. Tapi ya bagaimana pun kejadian pada tahun 98 pun tidak bisa lepas dari dirinya. Prabowo selalu disalahkan mengenai kejadian tersebut. Tapi hal itu dapat tertutup dengan kinerjanya selama ini yang telah memimpin beragam organisasi.

Mungkin hal tersebut masih merupakan opini saya secara pribadi saja. Tapi saya ingin mengajak kita semua untuk berpikir lebih kritis mengenai pemimpin kita nantinya. Jangan sampai salah pilih figur, karena dapat berdampak besar selama 5 tahun ke depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline