Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Eksistensi NATO

Diperbarui: 18 Januari 2017   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi sebagian orang yang senang membaca sejarah, tentu akan setuju jika saya mengatakan bahwa benua Eropa dulunya merupakan benua yang penuh dengan kekerasan. Perang antara Prancis dan Inggris berlangsung selama 116 tahun, kemudian kebijakan ekspansionis dari Napoleon Bonaparte yang dikenal dengan sebutan The Napoleonic Wars terjadi di hampir seluruh belahan dunia selama 15 tahun, perang 30 tahun yang berujung Great Depression perekonomian Eropa, hingga pada abad ke 20, benua biru ini menjadi arena pertarungan dua Perang Dunia. Eropa selama beratus-ratus tahun telah menjadi saksi peperangan di tanah mereka. Singkat cerita, akhir dari Perang Dunia Kedua cukup memberikan harapan akan perdamaian bagi masyarakat Eropa. Tapi, berakhirnya Perang Konvensional, melahirkan Perang "versi baru". Perang Dingin, Perang Ideologi, silahkan anda menamainya, melibatkan dua negara besar yakni Amerika Serikat yang berhaluan Liberal, berhadapan dengan Uni Soviet yang berhaluan Sosialis-Komunis. 

Siapa sangka, melalui momentum Perang Dingin ini justru memberikan perdamaian di daratan Eropa (ya, setidaknya jika indikator perdamaian hanya diukur oleh absensi perang). Pada saat itu dibentuk sebuah organisasi pertahanan militer berbasis collective defence antara negara-negara Eropa dan negara Atlantik Utara yang disebut NATO (North Atlantic Treaty Organization) jika dialih bahasakan menjadi Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Meskipun tujuan pembentukan NATO untuk memberikan deterensi bagi Uni Soviet untuk melakukan ekspansi ke negara-negara di Eropa dan menyebarkan paham komunisnya, sejatinya NATO dibentuk untuk mencegah peperangan antar negara-negara yang berada di benua Eropa melalui agreed norms yang diatur dalam Washington Treaty. Sejak 1949 hingga 1991 perang dingin berlangsung, NATO mendapatkan kemenangannya. Runtuhnya tembok pemisah antar Liberal dan Komunis di Berlin, bubarnya Pakta Warsawa serta runtuhnya Uni Soviet merupakan tiga sinyal kemenangan tersebut.

Judul artikel yang mempertanyakan relevansi eksistensi NATO di abad 21 sebenarnya bukan teknik click-bait yang biasa digunakan para yutubers. Kini justru NATO bagi sebagian kalangan menjadi bahan diskusi hangat yang menyoal kehadirannya. Jika mengacu pada tujuan awal dibentuknya, yakni sebagai deterensi Uni Soviet, tentu saja NATO sudah mengalami krisis haluan organisasi saat ini. Tapi sebagai organisasi berbasis militer dan memperhatikan perubahan ancaman keamanan saat ini NATO semestinya tidak berhenti sampai disitu saja. 

Pihak Pro

Argumentasi utama bagi mereka yang mendukung eksistensi NATO hingga saat ini banyak berlatar pada alasan bahwa NATO merupakan organisaasi pertama yang mampu memberikan interdependensi dalam hal militer bagi negara-negara Eropa dan negara-negara Atlantik Utara. Pasal 5 dari Piagam NATO yang menunjukkan segara gamblang fungsi collective defence negara-negara anggota NATO dapat dijadikan sebagai jaminan bahwa tidak akan ada negara yang berani mengusik negara-negara anggota NATO. (jika anda tertarik silahkan baca lebih lanjut mengenai Pasal 4 dan Pasal 5 Piagam NATO)

Pihak Pro lainnya berdalih, NATO saat ini justru perlu lebih diperluas lagi cakupannya. Mendorong NATO untuk menjalankan fungsi peacebuilding dan peacekeeping di suatu negara konflik juga banyak disuarakan oleh pengamat militer. Argumentasi bahwa Uni Soviet telah lenyap, maka berarti ancaman bagi NATO juga lenyap dianggap sebagai argumentasi yang cacat, mengingat saat ini Rusia juga mulai menggencarkan politik luar negeri ekspansionisnya, terbukti dari aneksasi Krimea, dan pergerakan pasukan militernya di perbatasan negara Baltik mulai mencemaskan negara-negara anggota NATO.

Pihak Kontra

Jawaban yang paling umum dari pihak kontra, mereka melihat bahwa NATO telah kehilangan rivalnya. Apalagi pasca bubarnya Pakta Warsawa dan Uni Soviet, internal NATO banyak dirundung permasalahan kepentingan. Banyak negara-negara anggota mengatakan bahwa NATO telah dijadikan alat oleh Amerika Serikat untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Keberadaan pasukan NATO di Afghanistan merupakan operasi yang paling disorot oleh banyak kalangan. Banyak yang mempertanyakan NATO yang telah jauh mencampuri atau dalam hal ini mengintervensi permasalahan negara yang secara geografis tidak berada dalam benua Eropa.

Banyak yang berkomentar bahwa peran NATO sudah tidak lagi dibutuhkan sebagai "polisi dunia" mengingat eksistensi PBB yang lebih luas dan lebih mengakomodasi kepentingan lebih banyak negara. Argumentasi lain menyatakan bahwa NATO merupakan satu-satunya peninggalan dari sejarah Perang Dingin. Hal ini lantas membuat NATO justru menjadi ancaman bagi perdamaian di antara negara-negara Eropa.

Terpisah dari semua pro dan kontra tersebut, NATO secara rutin mengeluarkan sebuah Strategic Concept yang akan menjadi pedoman dalam beroperasi selama sepuluh tahun kedepan. Paling anyar, melalui Lisbon Summit 2010, NATO telah mengeluarkan New Strategic Concept mereka yang banyak-banyak memperluas wilayah cakupannya hingga ke crisis management maupun penanganan ancaman-ancaman non-tradisional.

bagaimana dengan NATO sendiri? NATO telah melakukan social media campaign untuk membuktikan bahwa mereka sebenarnya masih relevan hingga saat ini, berikut videonya:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline