Lihat ke Halaman Asli

Giwang untuk Istri

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suami istri itu saling pandang. Tak ada kalimat. Tapi mata keduanya sudah lebih dari cukup untuk saling memahami kondisi masing-masing.

Si suami baru saja tiba di rumah sepulang kerja. Setiap hari ia keluar rumah untuk menawarkan jasa memperbaiki cincin, gelang, kalung emas, dan perhiasan lain yang rusak. Ia masuk ke kompleks-komplek perumahan, ke kampung-kampung yang jauh. Berkilo-kilo meter ia tempuh setiap hari. Ia tak letih, meskipun betisnya semakin mengeras karena dipakai menggoes pedal sepeda tuanya.

Si istri memang selalu di rumah, mengurus semua keperluan sehari-hari, dan menyambut suaminya pulang. Setelah menyelesaikan urusan rumah, istrinya selalu menyempatkan Duha dan mengirimkan Al Fatiha untuk suaminya. Tak lupa ia panjatkan doa agar rezeki suaminya lebih banyak.

Setiap kali selesai berdoa, ia selalu merasa tak enak dan sangat jahat. Karena doanya selalu saja agar Tuhan melimpahi rezeki, sementara rezeki suami dari barang-barang pribadi yang rusak. Itu artinya ia mendoakan agar cincin, gelang, atau kalung emas milik semua orang menjadi rusak sehingga suaminya bisa dapat pekerjaan.

Ia pernah bilang pada suaminya agar mengganti pekerjaan lain.

Suaminya selalu menjawab: "Saya sudah pernah menjadi tukang patri keliling, tukang servis payung keliling, tukang sol sepatu,ah.... kau tahu kan, istriku. Semua pekerjaan itu memaksamu harus mendoakan semoga terjadi hal-hal buruk terhadap orang lain. Maafkan aku, istriku."

Istrinya maklum. Suaminya sudah berusaha mendapat pekerjaan yang lebih bagus, tapi belum rezeki. Kalau soal keinginan, suaminya pasti ingin punya perusahaan, punya bisnis besar, atau setidaknya bekerja di sebuah kantor. Cuma, rezeki belum berpihak. Usaha sudah dilakukan, niat sudah dikuatkan, tapi memang belum rezeki.

*

Kau tahu kan kalau soal rezeki, siapa pun tidak bisa mengatur kecuali Yang Mahamemberi. Tapi, kalau tukang cerita seperti saya menyelesaikan semua ceritanya dengan cara seperti ini, sudah pasti tidak akan ada cerita. Semua memang urusan Yang Mahamemberi, karena itu saya tak akan memasuki wilayah itu. Saya akan menceritakan sepasang suami istri yang penuh perjuangan dalam hidup. Moral seperti ini dibutuhkan pembaca cerita, apalagi jika di akhir cerita saya buat tragis.

Tragis? AH, tidak. Menjadi orang miskin saja sudah sebuah tragedi. Saya tak akan membuat nasib suami istri ini menjadi tragis. Mereka tokoh saya, dan mereka harus memperjuangkan moral dari cerita saya.

Tidak ada cerita tanpa moral. Maka, tukang cerita haruslah seorang moralis, setidaknya berpura-pura tahu persis perkara moral. Nah, sehabis membaca kisah ini, ceritakan apakah saya masuk dalam katagori yang bermoral atau berpura-pura bermoral. Saya sendiri sering berpura-pura bermoral, meskipun moral saya sangat buruk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline