Lihat ke Halaman Asli

Indonesia Terperosok Middle-Class Trap

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13783481471796365769

Anakin: My powers have been doubled since the last time we met, Count.

Dooku: Good. Twice the pride, double the fall

---Star Wars episode III, Revenge of the Sith, 2005

Walau subsidi BBM seratus persen dicabut, neraca minyak Indonesia bakal tetap defisit. Mengapa? Silakan cermati perhitungan di bawah ini. Akibatnya, rupiah berisiko tetap melemah. Kebutuhan valas bakal tetap tinggi. Tidak hanya untuk pembiayaan defisit neraca minyak, tetapi juga untuk pembayaran utang. ---- Melalui ulasan ini, saya berkewajiban mengingatkan bahwa kebijakan populis ada biayanya yang barus dibayar. Semakin mahal bila terlambat. Saya sendiri melakukan banyak kesalahan. Termasuk, ketika menjadi mahasiswa tahun 1980-an, saya memaki-maki pemerintah yang mendevaluasi rupiah, menaikkan pajak dan menaikkan harga BBM. Sejalan dengan perjalanan waktu saya berubah. Semoga bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat, khususnya mahasiswa. Terlebih ketika berkesempatan menjadi economist di sebuah perusahaan pengelola dana dan memahami bagaimana investor asing menilai Indonesia. Dengan tegas saya simpulkan banyak yang tidak beres dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Bahwa kebijakan yang populis yang dianggap pro-rakyat ternyata sarat mudharat. Saya ingin tekankan bahwa saya tidak mewakili pemerintah atau partai politik tertentu. Dalam pemahaman saya, konfigurasi kebijakan makroekonomi yang terbaik adalah seperti yang disarankan oleh Nabi Yusuf yang lahir jauh hari sebelum Nabi Musa, Jesus hingga Nabi Muhammad. Silakan lihat Perjanjian Lama bab Kejadian 41 dan Al Quran surat 12 ayat 43-55. Nabi Yusuf lebih menyarankan peningkatan produktivitas, pengawetan hasil panen dan pengendalian konsumsi. Dalam bahasa Perencana Keuangan, Nabi Yusuf menyarankan growth, protection and distribution. Neraca Perdagangan Minyak Bakal Terus Defisit Kami membuat model ekonometri sederhana untuk menduga defisit neraca minyak yang dikaitkan dengan jumlah kendaraan bermotor (mobil dan motor), harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan harga premium bersubsidi. Model ini kami nilai layak dengan koefisien R-square sekitar 80%. Silakan perbaiki spesifikasi model ini agar lebih baik.

Pada bulan Juli 2013 lalu, defisit neraca minyak mencapai $2,8 miliar. Ini angka tertinggi sepanjang sejarah. Kumulatif defisit selama tujuh bulan 2013 sudah mencapai $16,2 miliar atau melonjak 30,6%. Pada periode yang sama, penjualan kendaraan bermotor mencapai 5,3 juta unit atau bertumbuh sebesar 8,6%. Model kami menaksir setiap kenaikan penjualan kendaraan bermotor sebesar 1% akan menambah defisit neraca minyak sebesar 0,64%. Harga ICP menjadi faktor yang paling sensitif mempengaruhi defisit neraca minyak seperti ditunjukkan oleh koefisien elastisitas yang paling besar secara absolut. Sangat bisa jadi tidak banyak yang tahu bahwa pertambahan jumlah kendaraan bermotor selama sepuluh tahun terakhir hingga Juli 2013 mencapai 65 juta unit. Angka ini melesat 330% dibandingkan kumulatif 10 tahun sebelumnya. Sekitar 58 juta dari tambahan itu adalah motor yang tambahannya meroket 375%. Jadi tidak heran jalan terasa semakin macet. Apalagi ketika mudik. Pengendara motor seperti jam pasir yang melesak dari sisi kiri dan kanan. Kendaraan mobil hanya baru bisa lewat apabila arus motor itu telah melaju. Masyarakat tentunya tidak punya pilihan. Sebab kualitas transporasi umum yang tidak nyaman dan memadai. Bila pada tahun 2013 ini, pertumbuhan kendaraan mencapai 10% dan harga ICP berada pada kisaran $110 per barel, kami duga defisit neraca minyak mencapai Rp209 triliun atau sedikit lebih tinggi dari alokasi yang sudah dianggarkan pada APBN-P 2013 Rp200 triliun. Ini berarti pemerintah membutuhkan pendanaan valas sekitar $21 milyar. Sebagai akibatnya pemerintah harus membiayainya dengan tambahan utang dan atau melepas cadangan devisa yang berisiko menekan nilai tukar rupiah. Pada kolom “forecasting”, kami menduga berapa besar posisi defisit neraca minyak dan pendanaannya sekira harga minyak dinaikkan menjadi Rp9.000,00 per liter atau tidak lagi disubsidi. Seperti terlihat, defisit neraca minyak tetap terjadi yang mengharuskan pemerintah menyiapkan sekitar $18 hingga $19 miliar per tahun. Angka ini jauh lebih besar dibanding surplus neraca perdagangan non-migas yang selama periode 1984 hingga 2002 mencapai rata-rata $15,6 miliar. Angka ini merupakan sumber permintaan asli untuk valas yang akan sangat memengaruhi pergerakan rupiah. Penting diingat bahwa sejak dua tahun terakhir, asumsi nilai tukar rupiah pemerintah dalam APBN cenderung lebih kuat dari kenyataan. Tingginya kebutuhan valas ini mencerminkan Indonesia sudah terjebak dalam middle-income trap. Yang terjadi adalah aktivitas consumption-without-domestic production yang tidak menghasilkan income melainkan tambahan utang. Pengeluaran pemerintah sebaiknya harus difokus pada penguatan kapasitas produktif masyarakat seperti penyediaan infrastruktur transportasi, pelabuhan, divesifikasi energi dan ketahanan pangan, pendidikan dan pelatihan. Semoga menjadi perenungan yang mencerahkan. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline