Sesekali “berbalas pantun“ ah sama Bu Aridha yang telah membuat tulisan berjudul: “Manajemen Itu Sederhana Saja!“. Yang jadi fokus perhatian Saya adalah konsep PDCA (Plan, Do, Check, Action) yang dikutip oleh Bu Dosen.
Motif Edward Deming saat memformulasikan PDCA didasari asumsi bahwa pekerjaan (di pabrik) itu tidak sesederhana seperti seorang pekerja pabrik menjalani tugasnya sebagai sebuah rutinitas belaka. Buruh pabrik bekerja sesuai arahan, bak pepatah: Bisa (bekerja) karena biasa. Nah, kebiasaan itu pada awalnya dianggap sebagai kesederhanaan bagi para ilmuwan, termasuk Edward Deming. Kesederhaan yang bisa menimbulkan berbagai masalah yang mempengaruhi mutu barang yang dihasilkan.
Pekerja pabrik bak robot produksi yang terus dihela untuk tetap produktif. Fenomena itu menjadi awal berkembangnya ilmu manajemen oleh para pengamat (buruh pabrik). Pengamat yang akhirnya menjadi para ilmuwan di bidang manajemen. Tatkala, produknya tidak bermutu, timbulah upaya menemukenali mengapa itu bisa terjadi. Di saat itulah Deming memberikan kontribusi dalam majamenen (mutu), bahkan jadi suhu bagi negeri matahari terbit, yang di kemudian hari perusahaannya berhasil membanjiri dunia dengan produk-produknya.
PDCA itu berputar bak roda pedati atau bianglala di taman impian. Ini berarti statis. Selalu ada risiko jalan di tempat. Berputar-putar saja saat orang lain berlari. Kelemahan itu berusaha diatasi oleh Deming dengan konsep CQI (Continuous Quality Improvement). Jadi, konsep tersebut bisa berkelanjutan sehingga perusahaan bisa mempraktekannya secara dinamis.
Ya, hidup pun bisa berputar-putar atau jalan di tempat, namun sebaiknya kita upayakan seperti kita mendaki gunung dengan cara naik mengelilinginya sebelum sampai ke puncak. Selanjutnya, cari gunung yang lebih tinggi dengan aral merintang yang lebih menantang, kecuali sudah puas dengan apa yang diraih saat ini. Begitulah esensi CQI. Sesederhana itu.
Ketika “kesederhanaan“ PDCA berakhir stagnan, pakar lain mengembangkannya menjadi model yang lebih “rumit“. Lalu kita mengenal metode DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, and Control), buah dari Six Sigma Project, yang pertama lahir di Motorola yang kini malah dicaplok oleh Google. Berikutnya, ada juga model Malcom Baldrige, mantan pentolan departemen perdagangan AS yang ikut-ikutan membuat kerangka kerja “Baldrige Criteria for Performance Excellence” sebagai respon ketertinggalan perusahaan AS dari perusahaan Jepang; atau BSC (Balanced ScoreCard) temuan dari Robert S. Kaplan.
Akhirnya konsep PDCA yang tadinya ada di wilayah “permutuan”, berkembang menjadi model-model manajemen modern, yang tentunya lebih rumit lagi.
Deming sendiri lebuh suka dengan istilah PDSA (Plan, Do, Study, Action) daripada PDCA yang, konon, diformulaiskan oleh murid-muridnya di Jepang pada tahun 1950-an. Beliau khawatir konsep check hanya sekedar: “Melotot” atau mancari kesalahan-kesalahan orang lain. Sebagai bagian dari kubu Management Science, Deming menempatkan pekerja bukan sebagai obyek, tapi subyek yang bisa menjadi penentu kinerja perusahaan. Jadi, Deming lebih suka dengan istilah menyimak atau menelaah mengapa terjadi kesalahan, bukan sebatas siapa yang melalukan kesalahan.
PDCA ideal adalah PDCA yang berputar seperti spiral yang jika ditelusuri dari sisi luar, bergerak terus ke arah dalam, yang diasumsikan sebagai sasaran. CQI, lebih tepatnya, Semakin banyak putarannya, semakin lama menuju sasaran. Itu terjadi pada starting point dengan status mutu: “Buruk Sekali”. Pada saat ada tekad untuk memperbaikinu, jumlah iterasi atau siklus PDCA pun lebih banyak dibandingkan para jawara di bidang mutu produk, atau belakangan dalam hal kinerja perusahaan.
Singkat kata, Deming menjadi pelopor dan inspirasi bagi pengembangan berbagai model dan teknik yang mengejawantahkan PDCA dalam perusahaan. Tak heran beliau didapuk sebagai embahnya Modern Quality Control. Kita pun mengenal “fishbone diagram” sebagai salah satu teknik diagnosa masalah, atau berbagai teknik Statistical Process Control lainnya, yang bahkan berkonvergensi dengan teknologi informasi berbuah industrial control dengan menerapkan algoritma rumit semacam “fuzzy logic” atau “neural network”.
Lupakan saja model, metode, atau teknik yang rumit-rumit itu. Esensi tulisan ini bukan untuk mengungkit kerumitan. Niatnya adalah mengupas kemungkinan terjadinya malpraktek pada penerapan ilmu manajemen, seperti yang tersirat dalam tulisan Bu Dosen. Jadi kita kembali ke model PDCA sebagai sebuah simbol tentang bagaimana mempraktek manajemen secara “sederhana“.