Lihat ke Halaman Asli

Saat Universitas Jadi Komoditas, Siapa (B)untung?

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13419222461492225019

Kalangan yang menolak RUU Pendidikan Tinggi mempunyai berbagai alasan. Dua di antaranya adalah kekhawatiran terhadap komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Kedua isu panas tersebut menunjukkan sektor pendidikan sudah seperti sektor perekomian yang takarannya adalah untung atau rugi, serta barang murah atau mahal. Kapitalisme pun merambah sektor pendidikan. Kampus layaknya menjual barang ekonomi yang harus dibeli oleh calon mahasiswa yang menjadi konsumennya. Teori atau prinsip ekonomi pasar pun berlaku.

Mahalnya biaya pendidikan tinggi terasa ironis. Bukankah pemerintah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% seperti tercantum dalam UU Sisdiknas? Jika pemerintah menyediakan subsidi biaya operasional, termasuk menanggung gaji guru dan dosen, mengapa biaya pendidikan malah terus meningkat. Bahkan, dengan sembunyi-sembunyi, malu-malu atau terang-terangan, beberapa kampus memungut biaya-biaya tambahan kepada mahasiswanya. Kampus pun dituduh bak mesin pencetak uang yang menguras uang rakyat.

Dari perspektif ekonomi, pendidikan bisa pandang sebagai barang atau jasa. Kita kesampingkan dahulu peran pemerintah dalam menyediakan pendidikan gratis atau murah bagi sebagian masyarakat yang tidak mampu. Sebagai jasa, pendidikan bisa dianggap barang ekonomi yang tentunya mempunyai harga. Bukan barang bebas yang  bisa dikonsumsi oleh setiap orang. Dari perspektif proses produksinya, harga tersebut terbentuk dari seberapa banyak biaya yang harus dikeluarkan kampus untuk memproduksi jasa pendidikan secara layak.

Biaya pendidikan menjadi keniscayaan karena tidak ada sarana dan prasarana gratis. Kita kesampingkan dahulu adanya sinterklas  yang bersedia menyumbang sarana dan prasarana, atau pendidik yang rela tidak dibayar saat mengajar.  Saat ini pun, begitu banyak biaya yang dialokasikan untuk dosen, terlepas dari perbedaan standar gaji atau distribusi pendapatan yang tidak merata antar kampus.

[caption id="attachment_187150" align="alignnone" width="600" caption="Potensi anggaran bagi dosen berupa proyek, hibah, insentif, dan pos-pos anggaran lainnya (sumber: web DIKTI)"][/caption]

Pertanyaannya, adakah standar biaya penyelenggaraan pendidikan, yang dalam konteks produksi, perlu mempertimbangkan efisiensi agar biaya penyelenggaran pendidikan bisa ditekan? Kita tunda jawabannya karena standar biaya sangat tergantung kelengkapan sarana dan prasarana yang ada di setiap kampus, termasuk gedung dengan segala isinya, pun sumber daya manusianya, terutama dosen yang menjadi kini sudah menjadi profesi.

Efisiensi kadang terlupakan ketika pasar tetap bisa menyerap jasa pendidikan, apalagi konsumen berbondong-bondong ingin masuk ke perguruan tinggi. Hukum pasar pun dieksploitasi. Makin laku makin jual mahal. Efisiensi telah mati ketika pasar pendidikan cenderung kelebihan permintaan. Tidak heran jika calon mahasiswa masih berjubel, saling bersaing, dan akhirnya ada yang gagal masuk ke perguruan tinggi. Kampus pun berada di atas angin.  Bisa mendikte pasar dengan asumsi ketiadaan intervensi pemerintah.

Siapa yang Nombok?

Sekarang anggap saja kampus dibebani dengan total biaya pendidikan. Biar tidak merugi, biaya penyelenggaran pendidikan tersebut harus bisa tertutup dari pemasukan. Lalu darimana sumber pemasukannya?

Pertama, sebagian biaya tersebut ditutup dari anggaran pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Opsi ini berlaku untuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, misalnya PTN. Persoalan lainnya adalah apakah subsidi dari pemerintah tersebut mencukupi untuk seluruh biaya? Jika Ya maka opsi inilah yang paling ideal. Pendidikan pun bisa digratiskan. Jika tidak, darimana pihak kampus  bisa menutup defisit tersebut. Posisi pemerintah pun jadi dilematis ketika pasokan anggaran dari pemerintah tidak bisa menutup seluruh biaya pendidikan.

Ketidakberdayaan pemerintah dalam melarang praktek pungutan biaya tambahan yang dibebankan kepada calon mahasiswa bisa berujung pada kurangnya wibawa pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Harga pendidikan pun akhirnya beragam antar kampus. Ada yang mahal, moderat, namun jarang yang murah. Peran pemerintah hanya sebatas pemberian beasiswa kepada masyarakat miskin. Itupun tidak semua masyarakat miskin bisa mudah masuk kampus, dan golongan menengah menjadi korban mahalnya biaya pendidikan. Soal kalangan atas, biarlah kita kesampingkan dahulu. Toh, mereka pun mungkin punya pilihan menyekolahkan anaknya ke luar negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline