Lihat ke Halaman Asli

Analogi Teknik dan Politik Sepakbola

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemampuan penguasaan bola menjadi sirna jika bolanya sering dicuri lawan. Dari perspektif lawan, kemampuan mencuri bola pun menjadi salah satu ukuran kehebatan pemain, apalagi untuk pemain bertahan. Idealnya, curilah bola dari lawan, lalu kuasailah terus sampai saatnya dipindahkan ke kaki kawan, atau diteruskan sendiri ke gawang lawan. Soal penguasaan bola yang tentunya harus bisa meliuk-liuk untuk menghindari lawan atau dribbling, Messi adalah salah satu jawaranya saat ini. Bola seperti lengket di kakinya, atau memang kakinya seperti bermata. Mata itulah yang tetap awas dan mendelik sehingga bisa melihat posisi kawan yang berada pada posisi tepat untuk menerima operan. Durasi ball keeping oleh satu pemain bisa menjadi gaya atau corak permainan sebuah tim. Katakanlah Jogo Bonito dari Brazil merupakan contoh keindahan ball keeping di sepakbola.

Penempatan posisi di lapangan bola merupakan kemampuan lain yang perlu diasah. Memang perlu pergerakan dan daya jelajah untuk mencari celah yang memberikan peluang besar kepada kawan yang sedang menggiring bola. Posisi yang memudahkan kawan memberikan umpan atau operan. Kita sering mendengar istilah out of position. Ini bisa diartikan sebagai pemain yang tidak ditempatkan sesuai kemampuannya oleh pelatih, namun makna yang mungkin lebih tepat, pemain salah menempatkan posisinya di lapangan untuk menerima operan dari teman. Positioning yang tepat- apalagi bagi seorang penyerang- bisa membuka peluang besar membobol gawang lawan. Rooney di MU, atau Suarez di Liverpool, bisa dijadikan contoh. Atau, pergerakan coming from behind dari penyerang lubang atau gelandang serang seperti Lampard di Chelsea atau Ozil di Madrid bisa saja menusuk ke daerah pinalti lawan pada waktu yang tepat. Sebuah penempatan posisi yang tidak jarang menyumbangkan gol.

Passing bukan hanya sebatas akurasi saja, artinya operan tepat sasaran sehingga lawan bisa menerimanya dengan nyaman dan aman dari hadangan lawan. Passing juga menyangkut timing atau momentum yang tepat untuk mengirim bola. Sering kita sebagai penonton berteriak kesal- bahkan bisa saja pelatih pun mencak-mencak- jika pemain terlambat memberikan operan. Terlalu egois, atau tidak pandai membaca permainan. Lubang atau kelemahan lawan pun kembali tertutup. Momentum ini bisa menyangkut ritme permainan. Ketika timing kurang tepat, alur serangan mungkin tersendat. Soal Akurasi passing yang hebat dipertontonkan oleh La Furia Roja, julukan bagi tim Spanyol dengan gaya tiki-taka-nya yang sarat dengan passing akurat.

*****

Mengapa catatan hari ini tentang sepakbola?  Bisa jadi gara-garanya hari  ini (12/10/2011) saya berkunjung ke Gelora Senayan, tepatnya di Kantor Sekretariat PSSI. Saya pun hadir dalam acara diskusi yang  dibuka resmi oleh Sekjen PSSI Tri Gustoro. Acara selanjutnya dipandu oleh Tondo Widodo. Namun kali ini, saya tidak membuat tulisan tentang bola dalam arti sesungguhnya seperti sekilas ditulis di atas. Ini tentang bagaimana dinamika organisasi PSSI- baik internal maupun eksternal. Ini tentang pemberitaan yang sering kita dengar tentang PSSI. Kekalahan timnas dari tiga negara timur tengah berturut-turut, dampak perubahan format kompetisi dari 18 menjadi 24 klub, naturalisasi pemain asing, dan berbagai berita terkini sering mencuat di media massa.  Apakah ada isu dibalik berita itu, saya tidak tahu persis. Yang jelas, sepulang dari sana, saya dan teman-teman menggunjing tentang berbagai isu persepakbolaan nasional. Ramai berdebat, layaknya pengamat sepakbola beneran, yang punya jagoan dan pendapatnya masing-masing.

Isu bisa dikuasai oleh seseorang. Dia begitu rapat menahan isu tersebut, walau orang lain mengetahui bahwa dia menahan isu tersebut. Ada aroma yang mencuat dari internal, ada indikasi yang terbaca walau tertutup rapat. Ketika orang berusaha mengungkitnya, dia pun berkelit seolah sedang ball keeping, kalau toh akhirnya bibir berbicara, terdengar bisikan lemah: “off the record”. Orang lain pun bungkam sembari manggut-manggut penuh rasa penasaran, walau bisa saja mengambil sikap skeptis tentang kebenarannya. Apakah ball keeping tersebut indah seperti Jogo Bonito, atau jangan-jangan dia hanya bermain sendiri sehingga tidak ada yang mengganggu penguasaan bolanya? Ah, itu tergantung laga atau kompetisi yang diikutinya, atau hanya sekedar latihan atau pertandingan persahabatan yang tanpa resiko. Isu pun bisa menjadi sebuah resiko yang  patut ditutupi, atau bisa juga seperti piala dunia yang begitu diperebutkan oleh setiap peserta.

Jika akhirnya dia membuka isu dan melemparnya pada orang lain maka orang lain tersebut bisa jadi telah menempatkan diri secara tepat. Selain bisa dianggap sebagai satu tim, orang lain tersebut diprediksi tidak akan membahayakan pertahanan timnya. Namun alasan terakhir agak absurd. Mungkin alasan yang lebih rasional adalah isu itu dilempar ke penonton saja, dengan harapan penonton tersebut tetap bungkam. Jika toh tidak diharapkan untuk bungkam, mungkin saja itu semacam test the water untuk melihat reaksi yang mungkin bisa diolah untuk menguntungkan posisinya saat ini.  Semacam uji coba berbagai skema atau pola serangan yang kadang dilakukan pelatih dalam pertandingan persahabatan. Bukankah riuh-rendahnya penonton bisa terkotak-kotak menjadi sebuah fans sepakbola, yang tidak jarang menjadi kekuatan penekan organisasi? Tekanan eksternal pun bisa dimainkan atau dipermainkan demi keuntungan bermain bagi orang-orang yang sedang bertarung di luar lapangan sepakbola.

Menempatkan diri secara tepat bisa dianggap sebagai etika atau kesantunan dalam norma sosial atau adat, Bukankah ada pribahasa “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”? Jadi bisa juga, tabiat mencari  posisi  dengan segala cara agar mendapat isu dianggap menyalahi kepantasan atau kepatutan. Selama pengertian “baik” dan “buruk” itu relatif tergantung pemikiran manusia, mencari posisi demi mendapat informasi- walau itu sebatas isu- selalu ada saja dalam sebuah organisasi. Jika sudah begitu, positioning dalam sebuah pertandingan bisa menjadi strategi man to man marking atau zona marking.  Namun, tidak ada comfort zone dalam sebuah pertandingan ketat yang kawan dan lawan mempunyai kekuatan yang seimbang. tidak mustahil ada tackling keras yang mencederai lawan, bahkan adu jotos antar pemain pun bisa tidak terelakan.

Melempar isu di saat yang tepat bisa dianalogikan dengan pemain bola melakukan passing. Momentum memainkan isu agar bergulir seru tergantung situasi dan kondisi yang dipersepsikan ideal oleh pelempar isu. Ruang dan waktu pelemparan isu pun menjadi faktor penentu. Timing pada saat passing bisa membuat isu bergulir sesuai dengan skenario pelempar isu. Ritme pun seolah diatur oleh pemain kuncinya. Apakah penonton bisa menari-nari mengikuti gendang yang ditabuhnya? Itu tergantung tingkat urgensi atau prioritas dari isu tersebut dari perspektif penonton. Dan ini pun bisa berbeda-beda  tergantung kepentingan dari masing-masing orang. Namun salah melakukan passing bisa menjadi malapetaka. Pemain sekelas Gerard dari Liverpool pun bisa melakukan blunder ketika melakukan back pass ke kiper ternyata diserobot lawan yang berujung gol di gawang sendiri.

Semoga isu negatif -seandainya ada- tidak menjelma menjadi gonjang-ganjing yang  tidak produktif yang semakin merusak sepakbola nasional. Asa sederhana dari pencinta sepakbola nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline