[caption id="attachment_172935" align="aligncenter" width="620" caption="Air mulai surut namum tampak masih mengenang di sejumlah rumah warga dan jalan-jalan di Kampung Pulo, Pondok Labu, Jakarta, Senin (31/10/2011). Banjir terjadi pada Minggu malam dengan ketingian air hingga setinggi dada orang dewasa. Banir merendam wilayah RW 03 terjadi setelah hujan lebat dan air tak terbendung Kali Krukut yang telah menyempit. (KOMPAS/LASTI KURNIA)"][/caption]
Gonjang-ganjing politik, ekonomi, dan pendidikan saat ini mungkin lebih menarik perhatian publik ketimbang isu lingkungan. Kelesuan ekonomi dan kisruh politik lebih menggoda untuk dikritisi dibandingkan kerusakan lingkungan yang dampaknya baru terasa di masa depan. Jika sudah begitu, dunia seperti apa yang akan diwariskan kepada anak cucu?
Kita pun pernah mengenal Teori Malthus tentang pertumbuhan populasi manusia yang mengikuti deret ukur, sedangkan laju ketersediaan makanan bersifat deret hitung. Namun, pada prakteknya, kita tidak tahu bagaimama teori klasik itu bekerja. Ketika populasi manusia sudah mencapai 7 Milyar orang, apakah bumi ini masih bisa mendukung kehidupan manusia dengan nyaman? Padahal, setiap hari polusi tersembur dengan membawa zat-zat berbahaya dan juga CO2. Lapisan ozon pun membuat tabir penghalang makin terkuak dari radiasi. Kerakusan manusia dalam mengekploitasi sumber daya alam menyisakan hutan gundul, sungai tercemar, atau degradasi kualitas lingkungan.
Kerusakan lingkungan tersebut sepertinya bukan menjadi prioritas bagi bangsa ini, yang lebih asyik-masyuk membicarakan isu terkini di bidang politik dan ekonomi. Mungkin saya bisa salah dan terlalu berlebihan untuk menyimpulkan itu. Namun faktanya, kualitas udara semakin memburuk. Sungai-sungai pun mengalami pendangkalan dan polusi berat. Laju kerusakan hutan masih sulit dicegah. Konversi lahan produktif menjadi area bisnis dan perumahan makin menjadi-jadi. Terlalu berlebihan kan jika saya pesimis dengan masa depan bumi?
Masihkah kita peduli dengan lingkungan? Atau jargon Indonesia sebagai zamrud katulistiwa atau negeri bak ratna mutu manikam sudah ikutan punah juga? Atau, biarkanlah itu terjadi saja. Toh, masa depan masih jauh dari jangkauan. Masa depan bukan untuk kita-kita ini yang masih repot dengan segala urusan pada hari ini. Biarlah masa depan menemukan jalannya sendiri tanpa perlu diintervensi oleh manusia masa kini. Duh, rasanya tidak perlu sepesimis itu. Masih ada asa- bahkan kalau itupun tinggal doa saja- yang bisa membuat lingkungan masih bisa berseri nanti. Itu tergantung seberapa pedulinya kita padanya saat ini.
Harus diakui, pasti masih ada individu atau institusi yang masih peduli dengan derita lingkungan. Derita karena teraniaya oleh penghuninya. Pemerintah pun punya Kementerian Lingkungan Hidup. LSM yang bergerak dalam masalah lingkungan pun pasti ada. Ya, pejuang-pejuang lingkungan selalu terus berjuang di tengah ketidakpedulian mayoritas. Apakah kepedulian itu sudah mencukupi?
Ada baiknya kita melihat rapor kepedulian dari kita – yakni pemerintah dan warganya- dalam memenuhi target Millenium Development Goals (MDG) yang dirilis oleh PBB untuk edisi tahun 2011/2012. Masih ada tiga tahun lagi sebelum tenggat waktu pencapaian targetnya berakhir di tahun 2015.
Apakah kita tidak terusik dengan rapor merah untuk degradasi area hutan dan emisi CO2? Apakah kita tidak miris melihat indikator air minum sehat dan sanitasi dasar pun nyaris merah?
--- Catatan: Tabel di atas dikutip dari sini. Website PBB tentang MDG bisa diakses di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H