Lihat ke Halaman Asli

Kampus Masih Malu “Buka-Bukaan”

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1327498791415208585

Kewajiban dosen untuk mengunggah karya ilmiahnya ke internet tidak mendapat reaksi berlebihan. Kesan itu nampak ketika ratusan wakil perguruan tinggi di DKI dan sekitarnya menghadiri sosialisasi kebijakan baru tentang kewajiban unggah karya ilmiah di Kantor Kopertis 3 di daerah Cawang Jakarta Timur pada hari ini (25/1/2012). Tidak ada penolakan yang muncul, atau minimal mempertanyakan kebijakan terbaru dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) yang mulai diberlakukan pada tahun 2012. Saat diskusi pun dosen lebih banyak mempersoalkan masalah teknis tentang bagaimana mekanisme cara mengunggah karya ilmiah, masalah hak cipta terkait dengan pihak ketiga, atau bagaimana teknik mendeteksi karya ilmiah yang diindikasikan melanggar etika ilmiah.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut justru memunculkan kesan kuat bahwa dosen bisa menerima kebijakan Dikti tersebut. Entahlah, apakah kewajiban tersebut memang dapat diterima dengan ikhlas karena merupakan solusi efektif dalam mendeteksi praktek plagiat. Semoga itu yang terjadi. Atau, kenaikan pangkat lebih mempesona sehingga sebuah segala halangan dan rintangan harus dihadapi. Jadi, “buka-bukaan“ di internet pun dianggap bukan masalah. Memang kewajiban tersebut seolah dipaksakan karena dunia kampus baru mulai terbuka setelah ada kebijakan dari Dirjen Dikti.

Harus diakui, kampus di Indonesia yang berani menerapkan kebijakan open-access untuk produk intelektualnya masih tergolong minoritas di Indonesia. Ada beberapa argumentasi atau alasan hipotesis tentang kondisi ini.

Pertama, ada wacana bahwa hasil penelitian merupakan produk intelektual yang perlu dilindungi hak ciptanya. Istilahnya, takut dicuri oleh pihak lain. Rasanya argumentasi ini masih bisa diperdebatkan. Memang ada karya riset unggul yang mumpuni  yang berpotensi mendapatkan paten- termasuk peluang memperoleh manfaat ekonomi dari temuan tersebut- namun, sebagian besar karya ilmiah dosen dan mahasiswa lebih banyak berkutat dalam pengujian teori-teori sebelumnya dalam kasus yang berbeda. Temuan fenomenal rasanya masih jarang. Indonesia lebih banyak sebagai pengguna teori atau teknologi yang ditemukan negara lain.

Kedua, keterbatasan sumber daya di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Memang masih ada disparitas kemampuan dalam penyediaan fasilitas TIK yang menjadi wahana atau media untuk publikasi online. Argumentasi ini ada benarnya jika merujuk pada ketertinggalan Indonesia dalam Global Information Technology Report 2010-2011 dari World Economic Forum yang menempatkan Indonesia pada peringkat 53 dari 138 negara, lumayan lebih baik dibandingkan edisi 200902010 pada peringkat 67 dari 133 negara. Indikator aksesibilitas ke konten digital pun menempati posisi ke-76, malah turun 2 peringkat dibanding edisi 2009-2010 Sebenarnya, keterbatasan infrastruktur TIK tersebut masih bisa “diakali“. Toh masih banyak publikasi online di luar kampus yang bisa dimanfaatkan oleh dosen untuk mempublikasikan karya ilmiahnya, misalnya open repository atau open journal system di luar negeri.  Karya ilmiah dosen pun tetap bisa online.

Ketiga, ada anggapan bahwa sebagian besar dosen kurang percaya diri atau menganggap publikasi online bukanlah cara satu-satunya untuk berbagi ilmu. Banyak dosen yang hebat mengajar, namun kurang produktif menulis. Atau, ada yang rajin meneliti, namun publikasinya hanya tersimpan di lemari. Pun ada dosen yang produktif meneliti dan publikasi, namun lupa mengajar. Dinamika dosen itu pun berimbas pada budaya publikasi online yang dianggap budaya baru. Padahal, Perguruan Tinggi di luar negeri malah lagi “getol-getolnya“ mengkampanyekan open-access policy di kalangan akademisi.

Misalnya, kampus di Eropa sangat antusias dengan deklarasi berlin tentang open-access pada tahun 2003. Berbagai paper repository pun mulai menjamur. Sampai saat ini tercatat 2311 repository di seluruh dunia yang memuat hampir 40 juta berkas yang dapat diakses publik secara gratis. Dan, Indonesia sampai saat ini sudah mempunyai 28 repositori yang terdaftar di maps.repository66.org.

[caption id="attachment_157423" align="alignnone" width="643" caption="Distribusi open-access repository di dunia (sumber:maps.repository66.org)"][/caption]

Semoga semangat “buka-bukaan” tersebut bermanfaat bagi masyarakat, bukan sebatas syarat  kenaikan pangkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline