Lihat ke Halaman Asli

Peneliti MIT: Tanya Pak RT Soal Warga Miskin!

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang miskin dan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) menarik perhatian para peneliti dari Perguruan Tinggi sekaliber Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Stanford University. Pak RT pun disebut-sebut di website MIT.

Menyoal angka kemiskinan di Indonesia selalu penuh pro dan kontra, mulai dari pengertian orang miskin terkait dengan acuan batasa garis kemiskinan;  sampai ke distribusi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada keluarga miskin yang disinyalir banyak salah sasarannya.  Bahkan soal ketersediaan atau akurasi data pun sering diperdebatkan. Pun peneliti dari MIT mengakui bahwa mereka relatif sulit memperoleh data  akurat di Indonesia, khususnya di lapangan.

Masalah kemiskinan di Indonesia menjadi perhatian para peneliti dari MIT. Abhijit Banerjee dan Benjamin Olken dari Jurusan Ekonomi MIT pun tertarik dengan program pengentasan kemiskinan di Indonesia, khususnya mengenai pendistribusian BLT yang menjadi salah satu program pemerintah di era Pak SBY, tepatnya mulai diluncurkan pertama kali tahun 2005. Pemerintah pun bertekad – melalui Menko Kesra yang saya kutip dari situs Kementerian Koodinator Bidang Kesejahteraan Rakyat di sini – “Angka Kemiskinan ditargetkanTurun Hingga Dibawah 10% Pada 2014.“. Menurut Berita Resmi Statistik yang dipublikasikan pada situs BPS di sini, jumlah penduduk miskin – yaitu penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan sebesar Rp243.729,- per kapita per bulan - pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang atau 12,36 persen.

Salah satu program pengentasan kemiskinan adalah pemberian bantuan finansial berupa BLT kepada orang miskin. Terlepas dari perdebatan mengenai program tersebut- sering disebut bersifat “hanya memberi ikan, bukan pancingnya“, implementasi program tersebut juga menghadapi persoalan lainnya: Akurasi data di lapangan bisa menyebabkan salah sasaran dalam pemberian bantuan.  Worldbank pada tahun 2006 menduga bahwa 45 persen BLT salah sasaran dan 47 persen warga yang memang miskin malah luput dari program ini. Kita Cuma berharap semoga pada tahun-tahun selanjutnya angka salah sasaran tersebut semakin berkurang.

Banerjee dan Olken dari MIT pun bergelut dengan warga miskin di Indonesia bersama Vivi Alatas dari Worldbank, Rema Hanna dari Harvard Kennedy School, dan Julia Tobias dari Stanford University. Kemiskinan pun menjadi proyek riset dari lembaga keuangan internasional dan perguruan tinggi sekaliber MIT dan Stanford. Tidak mengapa, siapa tahu ada hikmah dan manfaat dari keingintahuan dari para peneliti asing tersebut.

Riset dilakukan di 640 Rukun Tetangga (RT) di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah. Namanya peneliti, mereka pun mengutak-atik metode penentuan warga miskin, termasuk menguji perbedaannya secara statistik. Tiga metode digunakan untuk menentukan warga miskin di 640 desa yang dijadikan lokasi riset. Metode pertama adalah “Proxy Mean Test” yaitu menggunakan karakteritik keluarga untuk memprediksi tingkat konsumsinya, yang jika dibawah dua dolar per hari dikategirikan sebagai keluarga  miskin. Metode kedua- tim MIT menyebutnya dengan “Community Method”- berdasarkan partisipasi masyarakat lokal untuk menemukenali warga miskin di wilayahnya dengan difasilitasi oleh Pak RT. Metode ketiga hanya mengkombinasikan dari kedua metode tersebut.

Saya tidak akan mencermati lebih jauh bagaimana operasionalisasi dari ketiga metode tersebut, juga apa hasil pengujian hipotesis pada karya ilmiah mereka yang dipublikasikan di website MIT di sini.  Namun ada beberapa temuan yang menarik untuk dicermati.

Janda, Keluarga dengan banyak anak, dan Warga berpendidikan rendah berpeluang tinggi jadi orang miskin. Sebuah stereotip pemikiran di masyarakat luas bahwa wanita yang ditinggalkan suami pasti menghadapi kesulitan finansial. Pepatah “banyak anak banyak rezeki“ seolah tidak berlaku bagi warga miskin. Banyak anak malah semakin menyulitkan keuangan keluarga berpenghasilan rendah. Pendidikan rendah pun dianggap sebagai penyebab kemiskinan.

Itulah beberapa temuan mengenai berbagai indikator atau  konsep kemiskinan yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal.  Saya melihat metode “Tanya Tetangganya“ ini mengasumsikan masyarakat pedesaan mengenal dengan baik tetangganya. Ketika kehidupan semakin individualis atau sudah tidak ada lagi kepedulian sosial, riset ini mungkin bisa berbeda hasilnya, misalnya menemukenali warga miskin di perkotaan.

Kesimpulan akhirnya, masyarakat cenderung senang jika dilibatkan dalam pencarian warga miskin di wilayahnya.  Tim peneliti pun cenderung memilih metode “Tanya Tetangganya Saja!“ dalam implementasi program BLT. “People are much happier with the list generated by the community method,” Kata  Olken yang saya kutip dari sini. Pemerintah bisa menikmati dampak lain, yakni kepercayaan atau legitimasi dari masyarakat.

Sebenarnya saran tersebut bukanlah barang baru dan sering dipraktekkan oleh masyarakat pedesaan dalam membantu warga miskin. Kepedulian sesama warga  di lingkungannya menjadi kearifan lokal yang harusnya diadopsi oleh pemerintah sedari dulu. Semangat “Gerakan Seribu Rupiah Per Bulan di Banyumas” (Kompas.com, 8/1/2012) bisa dijadikan contoh pengentasan kemiskinan yang melibatkan partisipasi masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline