Lihat ke Halaman Asli

"Siksaan" Bagi Guru Besar

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu jarang diajar Guru Besar (GB), walau namanya tertera di jadwal. Paling banter GB datang di pertemuan pertama, memberikan tugas baca textbook, selanjutnya asistennyalah yang mengawasi presentasi mahasiswa pada pertemuan berikutnya. Entah apa yang dikerjakannya di luar kelas. Ini hanya kesan pribadi ketika kuliah dulu, bukan menyamaratakan.

Kini melihat kolega bergelar GB malah terbersit “kasihan”. Tunjangan profesi membuat mereka sibuk setiap akhir semester. Kiprah dan karyanya harus dilaporkan kepada penguasa. Jika kewajibannya tidak terpenuhi, laporan Beban Kerja Dosen (BKD) bisa ditolak. Ujung-ujungnya, tunjangan pun ditunda, bahkan dihentikan.

Keketatan pengawasan terhadap kiprah GB mencuat setelah pemerintah memberikan tunjangan yang lumayan, walau kerap dikatakan relatif kecil dibandingkan negara lain. Faktanya, pengajuan GB makin membludak. Siapa tahu bisa mencicipi tunjangan kehormatan.

Sebenarnya ini bukan kebijakan baru. Kewajiban guru besar sudah diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Definisi GB dapat dilihat pada pasal 1: "Guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi". Jadi wajar jika GB harus tetap mengajar di perguruan tinggi sesuai dengan bidang keahliannya.

Namun, tugas GB bukan hanya mengajar saja. Kita lihat pasal 49 ayat 2 yang berbunyi: "Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat". GB ternyata tidak bisa berleha-leha saja setelah sebelumnya sudah bersusah payah untuk meraih jabatan fungsional tertinggi. Bersakit-sakit dahulu belum bisa bersenang-senang kemudian. Itu kalau berfikir negatif. Toh sering juga bertemu dengan GB yang selalu riang gembira di kala berbagi. 

Apa konsekuensi UU tersebut?

“Siksaan akademis!”
“Tidak ada makan siang gratis!”
“Uangnya lumayan namun deritanya luar biasa!”

Begitulah guyonan teman-teman menyoal BKD, khususnya untuk GB.

Kini GB harus menghitung kewajibannya dalam bentuk angka-angka kredit, lengkap dengan melampirkan bukti-buktinya. Kini GB wajib mengajar di program sarjana, menulis buku, meneliti, dan mendiseminasi ilmu pengetahuannya ke khalayak. Dan itu harus dilaporkan setiap semester.

"Siksaan" tersebut membuat GB harus tetap produktif untuk menulis buku ber-ISBN, meneliti - bisa melalui riset kompetitif, riset mandiri atau  pembimbing thesis dan disertasi di program pascasarjana, serta menyebarkan gagasan melalui jurnal nasional dan international, orasi ilmiah, pembicara seminar, menghasilkan paten dan berbagai bentuk diseminasi lainnya. Semuanya harus dilaporkan dalam bentuk BKD yang secara administratif merupakan syarat untuk memperoleh tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan.

Kesimpulannya, GB bukan terminal akhir, lalu berhenti berkiprah. Kini mereka tetap harus terus berkarya. Mungkin demi mengejar tunjangan juga, walau harus “tersiksa” untuk itu. Semoga itu adalah sengsara yang bisa membawa nikmat dan berkah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline