Lihat ke Halaman Asli

Mewah di Kampus Merana di Jalan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul tulisan tersebut dikutip dari berita di harian Kompas (27/12/2011) bertajuk: “Harga Ilmuwan Indonesia”, yang ditulis oleh Saifur Rohman. Kutipan kalimat lengkapnya adalah “Paling banter, dalam banyak kasus, gelar seorang dosen dijadikan untuk ”menakut-nakuti” para calon pengguna. Setelah itu, dosen hanya mewah di dalam kampus, tetapi merana di luar.

Keberadaan dosen- yang bersama guru diberi label pendidik- sebenarnya sudah mendapat pengakuan dan perlakuan relatif istimewa dibandingkan profesi lain. Indikatornya adalah penyebutan dosen dan berbagai hak dan kewajiban yang melekat padanya sudah tertera dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU tentang Guru dan Dosen.  Menurut UU Guru dan Dosen, “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada  masyarakat”. Namun, pengakuan formal tidak selalu sama dengan realitasnya.

Soal gaji dosen, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen di antaranya disebutkan berhak  memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. (Pasal 51 UU Guru dan Dosen). Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum tersebut meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi (Ayat 1 Pasal 52).

Saya kutip dua kalimat lainnya dari berita Kompas yang ditulis oleh seorang pengajar filsafat di Semarang itu.  “Jika pendapatan dosen PTN mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 13 juta, dosen PTS jaraknya lebih sempit, yakni Rp 500.000 hingga Rp 3 juta”. “Pepatah Jawa, kebo bule mati setra, kerbau putih mati di lapangan. Kerbau putih adalah hewan yang sangat khusus karena hanya dimiliki oleh kaum bangsawan, tetapi harus mati karena tidak ada yang merawat.

Data penghasilan dosen tersebut hanya rentang gaji saja. Informasi itu tidak menunjukkan distribusi atau rata-ratanya sehingga memberikan informasi lebih lengkap tentang seberapa kecilnya gaji dosen dalam konteks mayoritas. Juga tidak disebutkan informasi diperoleh dari atau dengan cara bagaimana. Namun terlepas dari sumber datanya, kisaran gaji dosen tersebut tetap memberikan kesan bahwa gaji dosen relatif kecil sehingga bisa dicap “tidak menjanjikan”.  Walau ada sedikit kontradiksi dengan metafora kerbau putih di atas- jelas bukan sembarang orang bisa membelinya- gaji dosen kecil “sebesar itu” akhirnya bisa juga identik dengan “merana di jalan”.

Jadi tergelitik untuk mengetahui kesan atau sikap teman-teman yang berprofesi sebagai dosen terhadap berita tersebut. Seberapa merananya dosen tentu tidak bisa dianalogikan dengan kerbau putih yang menjadi simbol "kemewahan". Menurut saya, setidaknya ada empat kelompok pendapat berdasarkan obrolan iseng di kampus .

Pertama, memang ada teman yang mengiyakan kondisi tersebut, bahkan menambahkan argumentasi lain yang terkesan ada penyesalan menjadi seorang dosen. Tapi apa daya, waktu telah menjeratnya untuk tidak bisa (atau tidak mampu) untuk beralih profesi. Dosen akhirnya menjadi “keterpaksaan”, daripada tidak ada cara lain untuk tetap hidup atau menghidupi keluarga. Mungkin saja implikasi dari keterpaksaan tersebut mempengaruhi produktifitasnya sebagai dosen, atau sebagai justifikasi dengan ketidakberdayaannya dalam memenuhi kinerja akademis yang memang berat jika merujuk ke tugas dan fungsi dosen menurut undang-undang.

Kedua, mengiyakan kondisi tersebut, namun menyikapinya lebih positif. Selalu ada nilai lebih yang tidak bisa diukur hanya dengan nilai finansial. Menyoal "kepasrahan" ini memang menarik dan mengundang perdebatan seru, khususnya berapa standar gaji yang masih bisa ditolelerir secara "pasrah". Sikap pasrah tersebut dibuai oleh nilai lain selain uang. Setiap orang mempunyai ukuran kebahagiaan atau hal-hal positif lainnya dari profesi dosen, walau secara materi memang tidak bisa dipungkiri bahwa gaji dosen memang relatif kecil. Kecil secara finansial tidak menghalangi teman-teman dari kelompok ini untuk tetap berkiprah dengan semangat, walau semangat saja tidak cukup untuk menjadi seorang dosen yang baik.

Ketiga, tidak peduli dengan pendapat tersebut, yang dibubuhi dengan “pembelaan” bahwa semua profesi selalu ada sisi baik dan sisi buruk. Seberapa besar “imbalan” yang diterima ketika harus mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat ternyata ada muatan sosial psikologis, misalnya hobi atau pengabdian. Tuntutan terhadap hak dosen - yang selalu disandingkan dengan kewajiban tridarma perguruan tinggi di sisi lain- ternyata tidak melulu soal finansial. Sedangkan ukuran hak finansial tersebut bersifat relatif bagi setiap individu. Selalu ada keragaman sikap dan pemikiran dalam menyoal tentang keseimbangan hak dan kewajiban seorang dosen. Kubu pun berpendirian bahwa mempersoalkan aspek finansial dari dosen tidak akan ada habisnya. Biarkan saja, begitu kata kelompok ini yang tetap menjalani profesinya dengan segala suka dan dukanya.

Keempat, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga teman-teman yang mapan dan nyaman dengan profesinya sebagai dosen, termasuk aspek finansialnya. Selalu ada teman-teman yang mempunyai energi berlebih yang bisa dikonversikan menjadi aset finansial karena kebisaannya sebagai dosen. Realitas keterbatasan kepedulian dari pemerintah atau insitusinya tidak menghalanginya untuk “berjuang” dengan tetap memanfaatkan kompetensinya sebagai dosen.

Menulis buku, menjadi konsultan, atau tugas lain yang ada apresiasi finansialnya menjadi contoh ikhtiar teman-teman dalam menjaga agar “dapurnya” tetap berasap. Memang ada pertanyaan berikutnya, apakah kiprah tersebut atas nama institusi atau pribadi, atau bisa juga, apakah kiprahnya tersebut mengganggu tugas utamanya atau tidak. Semuanya berpulang pada individunya masing-masing, walau ada “pagar-pagar” yang seharusnya tidak dilanggar. Bukankah ketika berurusan dengan “perut” setiap orang bisa menyikapi dan menyiasatinya berbeda-beda, termasuk yang harus “jungkir balik” untuk memperoleh kenyamanan dan kemapanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline