Lihat ke Halaman Asli

Mengajar Secara Sederhana, Bisakah?

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mengkudu itu bahasa Inggrisnya “peits“, ya Pak?“
“Emang ejaannya bagaimana, Dek?”
“P-A-C-E”
“Pace itu ya mengkudu, sinonimnya!“
“Oh, kirain!”
“Emang Adek belum pernah melihat mengkudu ya?“
“Belum!“
“Lonjong, benjol-benjol, mentahnya hijau, tuanya putih kekuningan“
“Ohh, pace itu cempedak ya!”
“Bukan, pace jauh lebih kecil!”
“Bingung ah, bapak sih ngajarinnya gak bener!”
“?????“

Begitulah dialog seorang bapak dengan putri bungsunya yang masih kelas lima. Walaupun bapaknya berprofesi sebagai dosen, tetap saja dicela tidak bisa mengajar anaknya sendiri.

*****

Memberi kuliah di perguruan tinggi bukan sebatas pengalihan pengetahuan dari pemberi pesan -dalam hal ini dosen- kepada penerima pesan- yaitu mahasiswa.  Asumsinya, alur komunikasinya bersifat  searah saja, atau menempatkan dosen sebagai sumber pengetahuan bagi mahasiswa. Tidak ada interaksi atau dialog. Cara konvensional ini sudah dipergunakan bertahun-tahun. Ada yang menyebutnya metode ceramah.  Hanya satu orang yang bicara, lainnya mendengar saja.

Pada perkembangan selanjutnya muncul berbagai pendekatan atau metode mengajar yang mulai menempatkan mahasiswa sebagai aktor pembelajar. Merekalah yang harus berinisitaif dan aktif dalam berburu dan berguru ilmu. Dosen hanya fasilitator, syukur-syukur menjadi motivator. Berbagai  teori atau teknik mengajar pun bermunculan, seperti constructivism, student centered learning, quantum learning,  atau istilah lainnya yang terdengar keren dan gagah. Theory of learning, tarnyata belajar atau mengajar itu ada teorinya. Prakteknya gampang-gampang susah.

Mana yang dipilih?

Metode ceramah memang usang, tapi bukan berarti mahasiswa tidak bisa terkenang-kenang. Bukankah kita bisa terkesima dengan ceramah dari seseorang yang begitu membius? Pengajaran yang berpusat kepada mahasiswa sebagai aktor pembelajar memang alternatif yang menarik, tapi tidak semua orang mempunyai inisiatif yang sama. Ini soal opsi cara mengajar yang sebenarnya bisa saling melengkapi atau bisa juga hasilnya berbeda pada situasi kelas dan karakteristik mahasiswa yang berbeda. Jadi mana yang dipilih bersifat situasional dan kondisional.

Apapun metode atau pendekatan mengajar, faktor bahasa menjadi peran penting dalam penyampaian pesan, baik searah maupun timbal balik. Paket pengetahuan yang dipindahkan antar dosen dan mahasiswa mungkin tidak seutuhnya diterima, atau jika masih diterima, maka paket itu telah mengalami distorsi, atau perubahan makna yang tidak sesuai lagi dengan dimaksud dari pemberi pesan. Maksud dari pemberi pesan itu sendiri bisa jadi tidak sama dan sebangun dengan arti pengetahuan itu sendiri.  Menjelaskan duren, disangka rambutan. Mendeskripsikan melon, dikira semangka. Toh, dosen juga belajar dari sumber pengetahuan lain. Ada peluang dosen belajar dengan cara yang salah, atau salah menangkap ilmu pengetahuan yang sebenarnya.

Ya, mengajar adalah proses komunikasi yang tergantung pada media dan cara berkomunikasi, dan salah alat tersebut adalah bahasa, baik bertutur di kelas, maupun yang tertuliskan.

Soal bahasa inilah yang kadang menjadi faktor penghalang dalam perkuliahan. Mestikah dosen bertutur runut dan tertata sesuai kaidah bahasa? Bahkan ketika bahasa tersebut tertuliskan, sistematika atau struktur bahasanya pun  harus lugas dan efektif, serta tidak melanggar kaidah-kaidah yang menjadi keharusan di ranah ilmiah. Okelah, jika lisan dan tulisan itu di forum atau publikasi ilmiah, saya sepakat. Namun, apakah lisan itu dan tulisan itu bisa diterima oleh mahasiswa. Maksudnya, apakah ilmu pengetahuannya dapat ditangkapnya dengan mudah, cepat, dan utuh?

Ketika harus berdiri di kelas, kadang ada sikap skeptis, apakah proses komunikasi antara saya  dan mahasiswa bisa berjalan lancar. Sering ada pendapat bahwa dosen hanya sibuk sendiri dengan pemikiran dan perkataannya, tanpa memperdulikan apakah bahasanya bisa diserap dengan baik oleh mahasiswa. Namun, di sisi lain, ada kalangan yang berpendapat bahwa tidak semua mahasiswa mempunyai kemampuan menyerap bahasa dengan baik dan benar. Jadi salahnya sendiri jika tidak bisa mencerna materi di kelas. Bisa jadi, sikap otoriter masih diperlukan. Begitulah salah satu pendapat yang masih saja ada pengikutnya sampai saat ini. Opsi antara otoriter dan demokratis pun hadir dalam proses komunikasi di kelas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline