Lihat ke Halaman Asli

Impor “4 Sehat 5 Sempurna”, Elegi Tanah Surga?

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Impor dan ekspor adalah kegiatan atau transaksi ekonomi biasa dalam ekonomi terbuka. Sekedar menjual dan membeli saja. Namun pembeli dan penjualnya beda negara.  Karena beda negara, uang yang ditransaksikannya pun bisa bolak-balik antar negara mengikuti aliran barang dan jasa yang diperjualbelikan. Jika kita kekurangan pasokan barang di dalam negeri maka imporlah itu. Uang pun terbang ke luar negeri. Jika negara lain kekurangan dan Indonesia malah sebaliknya-kelebihan produksi-maka bisa diekspor. Candangan devisa pun bertambah. Namun, apa pendapat anda ketika membaca beberapa tajuk berita di media online berikut.

Beras Impor Thailand akan Masuk Oktober [Kompas.com, 7/9/2011]
Impor Daging Sapi Naik Jadi 90.000 Ton [Detik.com, 15/8/2011]
Impor Sayuran Meningkat [Kompas.com, 8/5/2011]
Ini Dia Negara Pemasok Buah-buahan ke RI [Detik.com, 5/9/2011]
Industri Tumbuh 7%, Impor Susu Terus Naik [Detik.com, 8/8/2011]

Jika Indonesia mengimpor makan pokok, daging, sayur-sayuran, buah-buahan, dan susu, apakah ini bisa dianggap biasa-biasa saja? Benarkan kita tidak perlu kebakaran jenggot sampai harus ikut menanggapinya?  Buang-buang energi saja, katanya. Namun saya mencoba mengambil energi tersebut dan menulis opini ini.

*****

Memang bahan pokok tidak hanya beras. Sayuran pun bukan hanya asparagus atau sayuran elit lainnya yang hanya tersaji di restoran dan hotel-hotel berbintang. Pun begitu untuk daging yang tidak hanya daging sapi. Untuk mendapatkan buah segar bervitamin tinggi pun tidak hanya dari apel, pear, dan buah-buahan impor yang terlihat ranum, segar, tapi mahal. Anak balita pun lebih sehat minum ASI daripada susu formula  yang ada kandungan impornya. Maksud saya, tidak semua jenis pangan dipasok dari luar negeri. Tapi, saya berpendapat bahwa impor kebututuhan pokok dan pangan tetaplah mengkhawatirkan dan patut dipertanyakan.

Pertama, kita kayaknya sepakat bahwa negeri tercinta ini adalah dikenal sebagai negara agraris yang gemah ripah loh jinawi. Minimal itu didengar ketika saya sekolah dulu. Bahkan, tongkat, kayu, dan batu pun bisa menjadi tanaman, kata Koes Plus dulu dalam lagu Kolam Susu. Atau memang tanah negeri ini sudah tidak bertuah lagi untuk menyemai tongkat dan batu itu. Justru tongkat dan batu beneran malah jadi alat tawuran anak sekolahan di kota-kota yang memang tanah pertaniannya semakin menciut? Mungkin mereka kehilangan tempat bermain yang telah menjelma jadi tonggak dan batu beton di perkotaan. Sawah pun sudah menjadi barang langka. Wah kok berbelok ke urusan tawuran ya. Kembali ke topik, konsep negara agraris memang dikenal dalam konsep pengelompokkan negara dilihat dari struktur ekonominya yang dipilah menjadi negara agraris, industri, atau jasa.  Saat ini struktur ekonomi Indonesia memang cenderung mengarah ke negara industri. Mengacu ke data BPS, Nilai ekspor terbesar pun  berasal dari sektor industri yakni sebesar 60,80 persen selama Januari-Juli 2011, sedangkan sektor pertanian hanya menyumbang 2,60 persen saja terhadap total ekspor. Tapi keberhasilan menjadi negara industri bukan berati harus melupakan sektor pertanian. Toh, ada konsep agro industri atau industri berbasis sumber daya alam. Jadi, impor bahan pokok menunjukkan ada yang salah dengan strategi pembangunan pertanian nasional.

[caption id="attachment_128752" align="alignnone" width="635" caption="Negara industri, tapi melupakan pertanian? (Sumber data:BPS) "][/caption]

Kedua, konsumsi daging kita tergolong rendah. Ukurannya per kapita. Bolehlah kita berlindung di balik alasan jumlah penduduk nomor lima di dunia. Seperti Malthus berkata, orang bertambah dengan deret ukur, makanan  dengan deret hitung.  Lagian mungkin daging adalah barang mewah bagi saudara kita yang berada di bawah garis kemiskinan. Miris memang, namun itu menunjukkan sebenarnya konsumsi daging yang rendah itu seharusnya bisa dipasok oleh para peternak nasional. Jika daging sapi saja harus diimpor maka kemanakah para peternak kita?  Saya kira  bukan salah peternaknya jika mereka menghilang atau beralih profesi, bahkan mungkin mengais rezeki di padang beton di kota-kota besar. Beternak menjadi pekerjaan yang tidak profitable bagi mereka. Tidak aneh jika populasi sapi potong hanya naik 23,67 persen dalam satu dasawarsa, yaitu tahun 2000 sampai 2010. Menurut BPS, jumlah sapi potong pada tahun 2010 hanya 13633 Ribu ekor. Itu tidak cukup memenuhi konsumsi daging sapi di Indonesia. Margin keuntungan malah beralih ke para pemodal yang menjadi distributor daging, baik impor maupun ekspor. Jadi maklum saja jika mereka hilang karena gagal meraih sukses sebagai peternak sapi, malah bisa jadi sapi perahan pemilik modal besar.

Ketiga, coba kita tengok gerai buah-buahan di mall-mall yang telah menggusur pasar tradisional di kota besar. Deretan buah impor tersaji di sana. Lebih mendominasi dibandingkan buah-buah lokal. Apel Washington, Jeruk Mandarin, Duren Bangkok, Peer China, dan buah impor lainnya terlihat begitu menggoda. Memang masih tersaji apel malang, salak pondoh, jeruk bali, mangga indramayu, atau buah lokal lainnya. Jika kita lebih melirik buah impor sebagai hidangan cuci mulut di rumah maka harap maklum saja jika impor buah meningkat. Lagian, seberapa banyak sih kita mengkonsumsi buah-buah lokal tersebut langsung dari pohonnya? Kecuali kita pulang kampung dan jalan-jalan ke bukit kecil. Itu pun jika masih subur dan tidak gersang. Kalau toh buah-buah lokal tersebut masih menggantung di pohon, itu untuk konsumsi keluarga saja. Not for sale, tapi lahannya tidak dijamin berubah jadi perumahan atau industri.  Tidak untuk skala industri. Konsep perkebunan khusus untuk buah-buahan pun bisa dihitung dengan jari. Kalau memang dijual juga, sistem ijon dan para makelar buah-buahan masih merajalela di kampung-kampung. Petani buah akhirnya tetap terpinggirkan juga. Tak heran jika tingkat produksi buah-buahan turun terus dalam tahun terakhir seperti dilaporkan oleh BPS.

[caption id="attachment_128754" align="alignnone" width="636" caption="Proudksi buah-buahan turun dalam dua tahun terakhir (Sumber data: BPS)"][/caption]

Keempat, sayuran mungkin agak mendingan. Rasanya petani di Lembang, Malang, Brastagi, atau lumbung sayuran lainnya masih bisa bernapas, setidaknya memperpanjang napas. Namun, skala usaha  tidak meningkat. Luas lahan pun tidak pernah bertambah. Bahkan derajat atau kualitas hidup dari sebagian besar pemilik, apalagi hanya sebagai penggarap, tidak meningkat juga, bahkan mungkin menurun. Bukankah menurut laporan ADB dan Worldbank pun menunjukkan angka kemiskikan Indonesia bertambah. Terlepas dari perbedaan definisi kemiskinan antara lembaga international dengan BPS atau versi pemerintah RI, sebagian besar masyarakat miskin tersebut adalah petani, termasuk petani atau  buruh yang bekerja di sentra-sentra sayuran. Tidak dapat dipungkiri ada juga petani sayuran yang sukses, namun itu bisa jadi minoritas. Derasnya impor sayuran bisa jadi menggusur mereka, walau bisa saja impor itu disebabkan petani sayuran tidak bisa menggenjot kapasitas panennya sesuai dengan tingkat permintaan pasar. Jadi, kondisi tersebut menunjukkan ada yang salah dengan sektor pertanian. Pemerintah pun punya andil di sini. Sayuran seharusnya bisa menjadi komoditas unggulan berbasis sumber daya alam. Memang produksi sayuran Indonesia meningkat seperti dilaporkan BPS. Keberadaan sayuran lokal tersebut belum cukup menghadang laju impor sayuran.

[caption id="attachment_128755" align="alignnone" width="635" caption="Produksi sayuran tidak cukup menghadang impor (Sumber data:BPS)"][/caption]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline