Lihat ke Halaman Asli

Untaian Sejarah Kutai di Tepian Mahakam

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengunjungi  Kutai Kartanegara serasa menapaki masa lalu dengan catatan sejarahnya yang panjang. Kejayaan dan kedigjayaan berpadu dengan perang dan perseturuan, mengisi lorong waktu berabad-abad. Berawal dari Kerajaan Kutai yang dikenal sebagai kerajaan tertua di Indonesia, kini lorong waktu tersebut sudah berada di masa kini dengan segala modernisasinya. Sejumlah bukti dan saksi bisu dari catatan sejarah Kerajaan Kutai pun tersimpan di Museum Mulawarman, yang sedang direnovasi dan diperluas. Bangunannya terlihat jelas dari pinggir sungai Mahakam yang berair keruh dengan warna coklat muda.  Lokasi museum di Jalan Dipenogoro Nomor 26 Tenggarong.

[caption id="attachment_142668" align="aligncenter" width="534" caption="Museum Mulawarman dilihat dari tepi sungai mahakam"][/caption]

Kehadiran nama Mulawarman dalam buku sejarah kerajaan di Indonesia terpatri dalam 7 prasasti berupa tugu batu atau Yupa. Prasasti Yupa tersebut  berasal dari abad ke-5 masehi yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan huruf Pallawa.  Melalui prasasti itulah generasi masa kini mengenal Mulawarman-  putra dari Raja Aswarman, atau cucu dari Maharaja  Kudungga -sebagai raja yang pernah memerintah di Kerajaan Kutai Martadinata yang berlokasi di Muara Kaman. Menurut teman di Samarinda, konon Sang Raja Mulawarman mempunyai kendaraan tunggang bernama Lembu Suana. Patung Lembu Suana yang menjadi lambang kerajaan Kutai Kartanegara terpampang di ruang depan Museum Mulawarman. Patung tersebut dibuat di Birma tahun 1855, terbuat dari perunggu kepal. Patung-patung Lembu Suana pun bertebaran di beberapa sudut kota, baik di Tenggarong maupun di Samarinda. salah satunya terpajang di halaman depan Museum Mulawarman.

[caption id="attachment_142669" align="aligncenter" width="536" caption="Patung Lembu Suana di halaman depan Museum Mulawarman"][/caption]

Mencerna catatan sejarah Kutai dari narasumber dan berbagai sumber, tiba-tiba lorong waktu langsung melompat ke abad ke-13. Konon, pada masa itu kerajaan kutai yang lain muncul. Namanya Kutai Kartanegara yang berlokasi di Tepian Batu dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti sebagai raja pertamanya. Entah apa yang terjadi pada dalam kurun waktu antara abad ke-5 sampai abad ke-13 itu. Yang jelas, Kutai Martadipura masuk dalam periode kerajaan Hindu, sedang Kerajaan Kutai Kartanegara akhirnya menerima kehadiran Islam pada abad ke-17. Lorong waktu pun seperti melompat-lompat semakin mendekat ke masa kini. Salah satu ruang museum pun menyajikan jejak-jejak periode kerajaan hindu kutai. Prasasti dan nama dewa-dewi pun terpatri pada satu ruangan khusus.

[caption id="attachment_142671" align="aligncenter" width="538" caption="Ruang prasasti dan arca dewa-dewi hindu di Museum Mulawarman"][/caption]

Hidup bertetangga tidak selalu akur. Demikian juga dengan Kutai Martadinata dan Kutai Kertanagara. Perselisihan antara keduanya dimenangkan oleh Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin oleh Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. Nama kerajaannya pun berganti menjadi Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Nama-nama rajanya berganti dengan nama islam yang masuk pada abad ke-17. Mungkin, kehadiran Islam di Kesultanan Kutai melatarbelakangi pembangunan Masjid Islamic Center yang megah di Samarinda. Konon masjid tersebut menjadi yang terbesar kedua di ASEAN setelah Mesjid Istiqlal. Mesjid di tepian Mahakam terlihat terlihat indah dilihat dari depan kantor gubernur yang juga berada di tepi mahakam.

[caption id="attachment_142672" align="aligncenter" width="517" caption="Masjid Islamic Center, foto jarak jauh dari depan Kantor Gubernur di tepi mahakam"][/caption]

Solidaritas atau persekutuan dalam sejarah kerajaan sudah sejak dulu. Sultan Aji Muhammad Idris pergi ke Wajo untuk membantu peperangan antara Bugis dengan Belanda sampai dikabarkan gugur di medan laga pada tahun 1739. Masyarakat Bugis terkait erat dengan sejarah terbentuknya nama Samarinda pada abad ke 16, yaitu dengan kedatangan sebagaian pasukan Bugis yang tidak setuju dengan perdamaian Bongaya antara Kerajan Gowa dengan Hindia Belanda. Setelah meninggalnya Suktan Aji Muhammad Idris, tahta Sultan diambil alih tanpa hak oleh Aji Kado, yang menasbihkan dirinya sebagai Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.  Sang putera mahkota yang masih belia- yakni Aji Imbut- pun diungsikan ke Tanah Wajo dengan perlindungan dari masyarakat Bugis.  Aji Imbut  ini nantinya dikenal sebagai pendiri kota Tenggarong, yang kini menjadi ibukota kabupaten Kutai Kartanegara. Kini kantor bupati Kukar berdiri megah di tepian sungai Mahakam. Nama Aji Imbut ini diabadikan sebagai nama stadion megah yang dapat terlihat dari depan kantor bupati Kutai Kartanegara.

[caption id="attachment_142673" align="aligncenter" width="534" caption="Lembu Suana di pulau Kumala dan Stadion Aji Imbut dilihat dari depan kantor Bupati Kukar"][/caption]

Setelah menginjak dewasa, putera mahkota pulang ke kampung halaman dan dinobatkan sebagai Sultan Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatannya di Mangkujenang, atau dikenal sebagai Samarinda Seberang. Kota Samarinda memang berseberangan dengan Tenggarong, terpisah dengan Sungai Mahakam yang sesekali memperlihatkan kapal tronton yang membawa pasir batubara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline