Lihat ke Halaman Asli

Duh, Asing Masih Dijadikan Primadona Bank

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BI terkesan ragu-ragu- kalau tidak bisa dikatakan mencla-mencle- tentang pembatasan kepemilikan asing di perbankan nasional. Dua hari yang lalu tersiar berita di Kompas.com (10/8/2011) dengan tajuk “BI Hentikan Proses Akuisisi Bank”. Berita tersebut menyitir informasi dari BI tentang pengembalian proposal dari investor berasal dari Malaysia. “BI sedang membedah dua proposal akuisisi, yakni Bank Ina Perdana oleh Affin Holding dan Bank Mestika Dharma oleh RHB Capital. Keduanya berasal dari Malaysia”. Takut disalahartikan bahwa BI akan melarang asing, hari ini Gubernur BI menegaskan bahwa tidak ada pembatasan akuisisi bank oleh investor asing. Kompas.com pun menurunkan berita dengan tajuk: “Darmin: Tak Ada Pembatasan Akuisisi oleh Asing”.

Pernyataan BI tentang tidak adanya larangan akuisisi bank nasional oleh asing diperkuat oleh pernyataan dari dedengkot Perbanas Sigit Pramono yang dikutip Kompas.com. “Daripada menghentikan langkah investor asing mengakuisisi bank lokal, Bank Indonesia (BI) sebaiknya memperketat proses uji kepatutan dan kelayakan calon pemilik bank yang berniat melakukan akuisisi. Hal itu diungkapkan oleh Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas)“ (Kompas.com, 12/8/2011). Pernyataan Perbanas tersebut sepertinya menolak wacana pembatasan asing di perbankan nasional. Kompas.com pun merilis kalimat: “Sekadar mengingatkan, BI memutuskan menghentikan akuisisi bank oleh investor asing hingga akhir tahun ini. Penghentian sementara tersebut dilakukan sembari menanti terbitnya Peraturan BI soal pembatasan kepemilikan asing”.

Jelas sudah bahwa BI dan Perbanas ternyata “kompakan“ untuk menerima asing dengan tangan terbuka. Penghentian akuisisi dua bank oleh investor Malaysia bukan dalam rangka persiapan pembatasan kepemilikan asing, namun dilatarbelakngi pembenahan tata kelola atau governance yang lebih baik, khususnya dalam memperketat proses kepatutan dan kelayakan calon pemilik bank. BI diharapkan mengedepankan integritas para pemilik bank. Kalau toh ada penghentian proses akuisisi bank oleh asing, “Penundaan ini penting agar investor tak menyesal atau merasa keliru berinvestasi di Indonesia” (Kompas.com, 10/8/2011). Ternyata BI berusaha melindungi investor asing agar mereka tidak seperti membeli kucing dalam karung. Jadi, jangan sampai mereka rugi membeli bank di Indonesia. Duh, enak bener jadi investor asing ya.

Tidak bergemingnya BI- bahkan didukung oelh Perbanas- terhadap kebijakan kepemilikan asing seolah menentang wacana atau usulan agar perbankan nasional tidak didominasi oleh asing. Saya kutip kembali berita-berita di Kompas.com yang berisi penolakan atau setidaknya mempertanyakan dominasi asing tersebut:


  1. BI Akan Atur Kepemilikan Bank (Kompas.com, 30/5/2011)
  2. DPR Tinjau PP Kepemilikan Asing di Bank (Kompas.com, 24/5/2011)
  3. Aturan Porsi Asing Harus Direvisi (Kompas.com, 24/5/2011)
  4. Ekonomi Indonesia Didominasi Asing (23/5/2011)
  5. Kaji Kepemilikan Asing di Bank (Kompas.com, 10/5/2011)

Sikap “Maju Tak Gentar“-nya BI tentunya dilandasi perhitungan matang oleh para pakar perbankan yang menghuni gedung megah di Jalan Thamrin tersebut. Seruan peninjauan kembali tidak menyurutkan pendirian BI bahwa asing masih dibutuhkan oleh perbankan nasional. Sikap “keukeuh“ tersebut perlu dicermati oleh publik, atau setidaknya oleh para pengamat perbankan yang mempersoalkan dominasi asing di perbankan nasional. Kita lihat beberapa kemungkinan alasan BI tersebut.

Pertama, BI tidak membedakan perlakuan terhadap asing dan pribumi dalam kepemilikan bank. Asal mereka mempunyai integritas, silahkan asing memborong bank di Indonesia. Kalau toh ada pembatasan persentase kepemilikannya, sampai saat ini Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur itu belum diterbitkan juga. Jadi, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 masih berlaku. Pasal 3 pada PP tersebut menyatakan, "Jumlah kepemilikan saham bank oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung ataupun melalui bursa efek sebanyak-banyaknya adalah 99 persen dari jumlah sahan yang bersangkutan". Walau DPR akan meninjau PP tersebut, BI tidak bergeming. Sikap BI tersebut sejauh ini belum disikapi oleh DPR. Mungkin DPR masih sibuk menyoroti kasus Nazaruddin yang lebih menarik.

Kedua, BI bisa saja memperhitungkan imbas dari krisis global saat ini yang menyebabkan investor global kebingungan untuk menanamkan dananya. Beberapa negara yang terimbas krisis global tersebut menjadi kurang menarik sebagai sasaran investasi. Investor asing pun harus melihat dengan cermat negara-negara sasaran yang diperkirakan dapat memberikan keuntungan kepada mereka. Di sini, BI seolah memberikan jaminan kepada investor asing, seolah berteriak: “Mari datang ke Indonesia saja, silahkan belanja bank-bank di sini!“. Biar investasi mereka aman, BI pun berupaya agar orang asing tidak merugi jika mencaplok bank-bank di Indonesia. Sikap BI semakin memperkuat kebijakan ekonomi nasional yang pro kapitalisme.

Ketiga, BI berusaha mempertahankan stabilitas keuangan, khususnya perbankan. Dengan ketegasan BI tersebut, perbankan nasional tidak didera sentimen negatif yang berpotensi menimbulkan gonjang-ganjing perbankan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kepanikan pasar. Apalagi di tengah krisis keuangan global yang masih belum berhenti memakan korban. Jadi BI terkesan main aman saja, atau bisa juga disebut paranoid dengan imbas krisis global. Dengan tetap derasnya modal asing masuk ke perbankan nasional, Indonesia dapat dipandang sebagai negara yang tetap bertahan di tengah krisis global. Jadi keran pemodal asing tetap dibuka lebar.

Keempat, BI tidak percaya masih ada investor domestik yang mau membeli bank. Dengan diberlakukannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API), khususnya mengenai peningkatan kemampuan modal bank, BI seolah mengenyampingkan kemampuan investor pribumi untuk masuk ke perbankan nasional. Bisa saja sinyalemen BI tersebut benar. Jadi, investor yang bersedia untuk masuk ke perbankan akhirnya hanya orang asing saja. Daripada struktur permodalan bank tidak meningkat juga, BI akhirnya mengalah saja pada serbuan investor asing. Yang penting, bank-bank di Indonesia tetap berkembang dan menyedot dana masyarakat. Tidak peduli hal itu dilakukan oleh bank-bank yang dikuasai oleh asing.

Itulah perkiraan latar belakang kegigihan BI untuk mempertahankan asing di perbankan nasional. Ya sudah, mau gimana lagi kalau sudah begitu. Kita pun harus merelakan perbankan nasional dikuasai asing dengan porsi yang sudah melebih 50%. Bahkan dengan ketegasan BI tersebut, porsi asing akan semakin meningkat lagi. Jangan tanya juga, berapa triliun pendapatan bunga yang terbang ke luar-negeri. Jangan aneh juga, jika eksekutif atau pengambil keputusan di perbankan nasional bukan lagi orang-orang pribumi. Bankir-bankir lokal pun hanya menjadi bawahan saja. Lebih tepatnya, hanya menjadi penonton di negeri sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline