Lihat ke Halaman Asli

Belanjalah di Sektor Informal

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gara-gara perilaku belanja, pagi ini saya kembali disemprot teman diskusi. Di antara kami, teman ini memang terkenal sebagai pakar kemiskinan. Saya jadi teringat dengan diskusi sebelumnya. "Jangan mengaku pakar kemiskinan kalau tidak pernah merasakan pahit getirnya menjadi orang miskin", begitulah salah satu pernyataanya ketika itu. Untuk pernyataan itu, kami tidak berani mendebat. Di waktu lalu, kami sering bertukar pengalaman tentang masa lalu. Pengalaman menjadi orang-orang yang pernah terpinggirkan dan penuh perjuangan untuk meraih masa depan yang lebih baik.  Dan hari ini, saya kembali diserangnya dengan kata-kata kerasnya.

"Kalau belanja kebutuhan sehari-hari, bahkan panganan atau minuman ringan, beli aja di kaki lima atau pedagang asongan!"


Saya cuma senyum masam karena soal belanja itu urusan mentri dalam negeri. Istriku. Belanja bulanan pun lebih sering di super market, mall, hypermart, atau jenis mart-mart lainnya yang seolah mengepung di setiap sudut kota. Pernah juga belanja ke pasar tradisional, khususnya untuk kebutuhan sehari-hari yang stoknya sedang kosong. Namun itu bisa dihitung dengan lima jari dalam sebulan. Supaya terkesan ada perlawanan, saya pun berkata alakadarnya, walau terkesan kura-kura dalam perahu.

"Abis saya takut dengan makanan yang tidak higienis"
"Kok paranoid? Jangan menggenelarisir dong. Mau saja diprovokasi oleh reportase TV"


Okelah, saya berhenti berdebat untuk sementara. Memang tidak semua pedagang kaki lima atau pedagang asongan tega menjual makanan berbahaya. Tidak adil jika karena nila setitik rusak susu sebelanga. Tidak baik pula hidup penuh syak wasangka. Ketakutan sendiri seolah menjadi tameng yang menahan uluran tangan ke sesama saudara.  Terlihat temanku sudah tak sabar untuk memuntahkan kata-kata lagi.

"Kalau takut sakit, beli saja makanan, terus kasih ke pembantumu!"
"Saya tidak punya pembantu kok!"
"Kasih saja ke tetangga atau pengemis yang lewat depan rumahmu!".
"Setidaknya, anggarkanlah 25 persen konsumsimu ke mereka", imbuhnya.
"Jika masih takut keracunan, beli apa saja yang tidak bisa kau makan!", ujarnya lagi.


Waduh, tambah emosi kawanku ini. Tapi begitulah karakter teman berdebat ini. Percuma saja dilawan. Lagian, ada pesan tersirat dibalik ucapannya. Terbayang pedagang asongan dan kaki lima yang tidak berhasil menjual dagangannya. Padahal, anak dan istrinya di rumah menunggu secuil rezeki. Sekedar untuk makan sehari-hari dan, kalau bisa, menyekolahkan anaknya.

Saya sebenarnya sudah tahu alasan dibalik mencak-mencaknya  itu. Saya yakin emosinya lebih meledak-ledak lagi jika membaca siaran pers dari BPS kemarin. Saya sempat membacanya sekilas di sini. Itu tentang angka kemiskinan yang pada bulan Maret berhasil diturunkan sebanyak 1 juta orang. Orang miskin pun berkurang menjadi 30,02 Juta orang atau 12,49 persen dari total penduduk. Pada Kompas Online (1/7/11). Kepala BPS menyatakan bahwa salah satu  faktor penyebabnya adalah harga barang yang bisa dikendalikan. Inflasi umum relatif rendah sebesar 6,65 persen menjadi faktor yang disebutkan pertama. Saya pun menggunakan informasi tersebut untuk berdebat kembali dengannya.

"Pecuma. Jika saya hanya membeli dari seorang pedagang asongan!", pancing saya.
"Coba ada 20 juta orang sepertimu belanja di sektor informal", jawabnya
"Tapi, kalau permintaan jajanan pasar naik, harga naik dong?", tanyaku.


Saya pun mengutip siaran pers BPS tersebut. Penurunan garis kemiskinan bisa disebabkan oleh inflasi yang berhasil ditahan. Inflasi yang lebih rendah dari kenaikan pendapatan- walaupun garis kemiskinan Indonesia dipatok sebesar Rp 233.740 per bulan. Daya beli orang miskin pun dianggap meningkat karena harga-harga tidak naik. Sedih juga sih, mengapa upaya pengentasan kemiskinan seolah tergantung pada penurunan harga. Bukan pada peningkatan pendapatan mereka karena pertumbuhan ekonomi yang memihak pada masyarakat miskin. Sekarang saya kembali memasang kuping untuk mendengar serangan balik darinya.

"Daripada kenaikan harga dinikmati orang kaya atau pemodal asing!"
"Seberapa sih naiknya, toh harga gorengan tidak sampai puluhan ribu rupiah!"
"Mereka tidak akan seenaknya mengejar margin atau rente ekonomi!"
"Dagangannya laku saja sudah bersyukur"


Kami sekali lagi tidak mau berdebat. Bukan apa-apa, sebentar lagi ada panggilan tugas di akhir minggu. Namun, masih ada rasa penasaran untuk mengundang kemarahannya lagi. Bukan untuk berperang atau saling menyudutkan. Sekedar melatih kepekaan dan berolah pikir tentang merenungi kehidupan. Saya pun mencoba menggiringnya ke ranah struktur ekonomi. Saya yakin, pasti amarahnya kembali membara jika saya melontarkan pernyataan ini.

"Mereka kan tidak taat pajak, retribusinya pun tidak jelas masuk ke kantong siapa"

"Ah, Kau bisanya berteori saja. Maksudmu underground economy kan?"

"Ya"

"Kau ini lebih percaya keuangan negara atau kehidupan nyata?"


Saya pun terdiam lagi. Karena sudah tersudut dengan serangannya yang bertubi-tubi, akhirnya saya berujar dengan tanpa beban lagi. Mudah-mudahan ini bisa meredakan dan menutup diskusi ngalor-ngidul di akhir minggu.

"Saya sering naik ojek juga kok Pak, hampir tiap hari lagi!"
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline