Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Kepemilikan Asing di Perbankan Nasional

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah tuntutan peninjauan ulang kepemilikan asing di perbankan nasional, BI hari ini menyatakan belum ada pembatasan kepemilikan asing, namun BI sedang mengkaji kemungkinan diterapkannya batasan maksimal kepemilikannya (Kompas.com, 30/05/11). Lalu seberapa besar penguasaan asing terhadap perbankan nasional? Hingga saat ini, total ada 47 bank yang ada kepemilikan asing, tepatnya 10 kantor cabang bank asing, 16 bank campuran, dan 21 bank nasional. Hingga Maret 2011, kepemilikan asing pada 47 bank tersebut menguasai ekuivalen 50,6 persen dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp 3.065 triliun (Kompas.com, 24/05/2011).

Salah satu regulasi yang menjadi “biang kerok” adalah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999. PP tersebut dikeluarkan ketika Indonesia diterpa badai krisis moneter yang berimbang pada krisis multidimensi di Indonesia, termasuk krisis politik yang melengserkan Pak Harto. Ketika itu, pemerintah akhirnya membuka keran yang sebesar-besarnya yang memberikan peluang kepada pemodal asing untuk dapat menguasai saham perbankan sampai 99 persen. Ketika itu, Indonesia takluk pada intervensi IMF yang tertuang dalam “Letter of Intent”. Selain memperoleh hutang besar dari IMF, Perbankan Indonesia pun harus rela menyerahkan diri untuk “dijajah” oleh pemodal asing. Episode pengambilalihan saham perbankan nasional pun dimulai sejak saat itu.

Pasal 4 PP- yang ditandatangani oleh B.J. Habibie tersebut menyebutkan bahwa “Jumlah kepemilikan saham Bank oleh Warga Negara Asing dan atau Badan Hukum Asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung maupun melalui Bursa Efek sebanyak-banyaknya adalah 99% (sembilan puluh sembilan per seratus) dari jumlah saham Bank yang bersangkutan”. Salah satu pertimbangan dari PP tersebut adalah “bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat, efisien, tangguh dan mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, diperlukan upaya yang dapat mendorong Bank memperkuat permodalannya”. Jadi terkesan bahwa untuk memperkuat permodalan bank, Indonesia berpaling kepada para kapitalis asing. Mungkin untuk kondisi saat itu, keputusan tersebut bisa dipahami karena pengusaha Indonesia pada limbung semua terkena krisis finansial.

Pemerintah- terutama BI sebagai regulator di sektor perbankan, seharusnya mulai berani untuk mengevaluasi kembali PP tersebut. Kondisi perbankan saat ini sudah jauh berbeda. Namun bisa dimengerti juga bahwa BI pun pasti harus membuat kalkulasi yang cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan gejolak perbankan yang justru kontraproduktif, misalnya ada krisis kepercayaan internal dan eksternal yang berpotensi menimbulkan gejolak finansial. Namun atas nama kedaulatan atau kepentingan nasional, pembatasan kepemilikan tersebut tetap harus dilakukan. Ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan di sini.

Pertama, dominasi kepemilikan asing yang menguasai lebih dari separo aset nasional berpotensi mengganggu sistem keuangan Indonesia. Indonesia bisa kena imbas efek bola salju jika pemodal asing tersebut menghadapi masalah, misalnya negara asalnya mengalami krisis finansial. Jika dampak krisis finansialglobal yang diawali di AS relatif tidak berimbas pada sektor perbankan, itu lebih dikarenakan perekonomian Indonesia lebih mengandalkan kegiatan ekonomi domestik yang ditopang oleh ketangguhan para pengusaha kecil atau pengusaha lokal yang tidak terlalu bergantung pada pasar ekspor. Ketergantungan kepada pasar domestik menjadi berkah tersendiri di sini. Indonesia pun dicap sebagai negara yang berhasil atau tidak terkena imbas krisis global. Namun di masa depan, tidak ada jaminan bahwa Indonesia resisten lagi terhadap gejolak finansial global, yang bisa menjalar melalui sektor perbankan.

Kedua, mengurangi dominasi asing tidak harus dilakukan secara membabi buta. Kita jangan sampai dicap sebagai negara yang anti asing tanpa disertai argumentasi atau justifikasi yang tidak melanggar prinsip atau aturan perdagangan bebas. Kita sebaiknya bisa bermain cantik dan elegan untuk mengatasi masalah kepemilikan asing. Apalagi Indonesia terkesan santun dan hati-hati dalam pergaulan international. Memang perlu keberanian dalam menyikapi masalah ini. Persepsi dunia international- terutama kalangan investor asing, pun meningkat, misalnya ”Soverign Rating” dari Moody atau Risk Classfication Index dari OECD. Indonesia dikenal sebagai ”anak baik” yang menjadi ”kue lezat” yang diburu para investor asing. Namun predikat ”anak baik” di dunia international menjadi ironis jika tidak mengindahkan kedaulatan dan kepentingan nasional.

Ketiga, kita juga harus melihat kesiapan pemodal lokal yang dapat mengambil alih kepemilikan asing. Tidak ada jaminan bahwa pemodal lokal mau membeli dan akhirnya berhasil menjadi pengelola bank yang handal di masa depan. Jadi mengambil alih saham asing tidak sekedar ”memaksa” pemodal asing untuk melepas kepemilikannya saja. Namun, adakah pemodal atau investor nasional yang tertarik untuk memasuki sektor perbankan saat ini. Kalau toh masih bertahan di sektor perbankan, investor lokal yang menjadi pemegang saham pengendali sudah terkuras dana karena harus meningkatkan modal minimum bank sesuai dengan kerangka API. Bank yang masih mau dikategorikan bank umum harus menaikkan modal minimalnya sebesar Rp 100 Milyar. Bahkan jika ingin menjadi bank dengan kelas ”Bank Nasional” harus mempunyai modal minimal sebesar Rp 10 Triliun. Jadi perlu diketahui kemampuan finansial para investor lokal dalam membeli saham bank, yang diperkirakan berjumlah puluhan bahkan ratusan triliun.

Keempat, mekanisme pengambilalihan pun harus dipikirkan secara cermat dan tepat. Rasanya tidak elok jika BI memaksa pemodal asing untuk hari ini juga menjual atau menyerahkan sahamnya dengan harga yang ditentukan sepihak. Salah satu model yang bisa dijadikan rujukan adalah kebijakan pelarangan kepemilikan tunggal atau yang sering disebut ”Single Presence Policy” (SPP). Kebijakan tersebut berhasil memaksa pemodal asing untuk menjadi pemegang saham pengendali hanya di satu bank saja. Pemodal asing dari Malaysia dan Singapura pun akhirnya tunduk, dan akhirnya melepas sebagian saham di salah satu bank atau menggabungkan dua bank yang dimilikinya. Pemerintah pun memberikan tenggat waktu yang cukup untuk proses pemberlakuan kebijakan SPP ini. Menjual saham tidak seperti menjual kacang goreng. Apalagi ini saham orang asing yang mungkin ada ”perlawanan”, atau setidaktidaknya mempertanyakan kebijakan pembatasan ini.

Kelima, BI pun pasti memperhitungkan strategi untuk mengurangi dampak negatif pembatasan kepemilikan asing terhadap persepsi dunia international. Saat ini, persepsi dunia International terhadap Indonesia membaik dibandingkan 10 tahun yang lalu. Walaupun sekedar persepsi yang kadang belum tentu benar, kita tidak bisa meremehkannya karena persepsi tersebut selalu menjadi rujukan para investor asing dalam melakukan investasi di sebuah negara. Andaikan BI berani membatasi kepemilikan asing, BI harus mempunyai strategi komunikasi atau relasi dengan para investor yang jitu. Membatasi kepemilikan asing di sektor perbankan bukan berarti iklim usaha di Indonesia tidak menarik lagi bagi para investor. Namun, investor asing tersebut harus tunduk kepada peraturan perundangan nasional dan mendukung kepentingan nasional. Apalagi, perbankan nasional merupakan institusi utama yang mengelola uang yang dimilik oleh rakyat Indonesia.Dan kepentingan nasional tersebut harus dikomunikasikan secara tepat ke dunia international.

Keenam, BI pasti menghitung dampak politis dari kebijakan pembatasan kepemilikan maksimal pemodal asing. Pasti ada tarik-menarik kepentingan di legislatif, atau mungkin kubu-kubu di pihak pemerintahan pun bisa tarik-ulur dalam proses penggodokan regulasi yang membatasi kepemilikan asing. Di Indonesia, keputusan atau kebijakan ekonomi masih terkooptasi oleh keputusan politik. Malah bisa jadi, hiruk-pikuk politik dalam proses pengambilan keputusannya akan lebih seru dibandingkan dengan diskusi konstruktif dalam merancang mekanisme pengambilalihan. Kubu yang merasa memperjuangkan nasionalisme atau faham ekonomi kerakyatan pasti bertarung seru dengan kubu yang condong ke kapitalisme atau pasar bebas. Mengingat pembatasan kepemilikan tersebut dilakukan dengan mengadendum atau mengganti PP No. 29 Tahun 1999, pemerintah dan BI harus berani mengambil keputusan politik, walaupun harus melewati debat panjang di panggung DPR.

Terakhir, dukungan atau partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk mendorong dan menjaga kebijakan pembatasan tersebut di lapangan. Sebelumnya ada persepsi bahwa bank asing selalu lebih baik kinerjanya dibandingkan bank yang dikuasai pemodal nasional. Sebenarnya bukan masalah bankir asing versus bankir lokal di sini. Masyarakat harus bisa mencermati profesionalisme di kalangan bankir, termasuk bagaimana menempatkan kepentingan masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang utama di bisnis perbankan. Partisipasi masyarakat juga bisa dilakukan dengan berperan sebagai investor yang dapat memiliki saham bank melalui pasar modal. Salah satu mekanisme yang dapat digunakan dalam mengurangi kepemilikan asing adalah melalui jual-beli saham di pasar modal.

Jadi siap-siaplah belanja saham bank, semoga harganya tidak terlalu mahal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline