Lihat ke Halaman Asli

Cara Hidup untuk Melanjutkan Hidup ala Credit Union

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini hanya catatan pinggir tentang orang-orang yang terpinggirkan. Memang kami berdiskusinya di pinggir kok, tepatnya di pinggir meja yang melintang di lobby sebuah hotel di kota Pontianak. Tempat kami mengobrol ringan di saat rehat kopi pada Konferensi International tentang ”micro finance” yang dilaksanakan tanggal 17 dan 18 Mei. Kami seolah-olah menjadi pemerhati, pengamat, atau bahkan merasa sebagai pakar kemiskinan, ”credit union”, ”micro finance”, atau ekonomi kerakyatan. Terminologi tersebut menjadi obyek penelitian, diskusi, bahkan perdebatan selama dua hari. Layaknya pengamat dan pemerhati, kami pun mempergunjingkan materi presentasi dari para narasumber konferensi.

Kolega dari Amerika Serikat dan Kanada menyajikan pemikiran atau hasil penelitian, atau sekedar berbagi pengalaman tentang geliat credit union atau micro finance di sana. Peneliti dari India pun bercerita tentang model micro finance di Asia Selatan, termasuk kiprah Grameen Bank di Bangladesh yang akhirnya menjadikan Muhammad Yunus sebagai pemenang  Nobel Perdamaian. Seorang mantan mentri pun tidak ketinggalan membedah model pengentasan kemiskinan di Indonesia. Bahkan, seorang bule yang menjadi pentolan sebuah bank umum di Indonesia- yang katanya peduli dengan rakyat miskin dan menjadikan ”micro finance” sebagai bisnis intinya, menyajikan data, ”Dari 90 juta orang miskin di Indonesia, baru 40 juta saja yang tersentuh micro finance”. Duh, berarti sisanya sebanyak 50 juta orang menjadi lahan bisnis perbankan ya?

Sebenarnya tidak ada teori baru yang mengemuka, kecuali ”best practises” atau ”lesson learnt” yang mungkin bisa dijadikan bahan perbandingan. Kami pun hanya berdiskusi ringan tentang definisi orang miskin, khususnya perbedaan definisi versi Worldbank dengan versi BPS di Indonesia. Singkatnya, para narasumber memang terlihat piawai dan ahli dalam menyampaikan materi. Namun tiba-tiba salah satu teman berujar nakal, ”Apakah mereka pernah berpengalaman menjadi orang miskin?”

Itulah yang mengawali obrolan kami sambil minum kopi hitam pekat ala Pontianak. Saya pun melontarkan kembali dua pernyataan tokoh credit union di Kalimantan. ”Menabung itu hanya untuk orang kaya, yang penghasilannya berlebih”. Samar-samar saya masih mendengar suara lantangnya ketika menanggapi narasumber. Ada nada menggugat dan mendebat tentang terminologi menabung, yang menurutnya kurang tepat dilekatkan pada kiprah credit union di Kalimantan- yang mulai dirintis sejak tahun delapan puluhan. Itu berarti satu abad lebih dari credit union yang katanya didirikan pertama kali di Jerman pada pertengahan abad ke 19. Tak heran beliau pun menyatakan bahwa kondisi di Indonesia berbeda dengan kondisi saat ini di Eropa atau Kanada yang credit union-nya telah berevolusi menjadi lembaga keuangan yang mungkin tidak peduli lagi dengan rakyat miskin. Bukan karena apa-apa. Kan di sana sangat sulit mencari orang miskin. Dan itu diiyakan oleh bule-bule yang menjadi ”invited speaker” di hari pertama.

”Cara hidup untuk menjamin keberlanjutan hidup”, itulah intisari filosofi petani yang menjadi roh dari credit union yang berkembang pesat di Kalimantan Barat. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh tokoh credit union terseebut ketika mendapat giliran menjadi narasumber di hari kedua. Presentasinya menjadi semacam argumentasi atau penjelasan rinci dari tanggapannya di hari pertama. Roh tersebut menjiwai tumbuh kembangnya credit union di Kalimantan. Sebuah perpaduan antara model pengembangan ekonomi dengan kearifan lokal. Demikian substansi pemikirannya pada saat menjadi ”invited speaker” di hari kedua. ”Credit Union itu bukan sekedar koperasi simpan pinjam”, tambahnya. Beliau pun menceritakan aspek perlindungan dan pertumbuhan uang yang menjadi ciri pembeda. ”2000 rupiah per hari akan menjadi 1 milyar dalam kurun waktu 40 tahun”, tambahnya. Itu semacam benih yang disemai para petani di credit union. Tak heran ada sebuah credit union di Kalimanta Barat yang menjadi credit union terbesar di Indonesia dengan aset lebih dari 1 Triliun Rupiah.

”Pantesan mereka tidak mau disamakan dengan KUD ya?”, kata teman saya. Kami pun serentak terdiam dan menunggu penjelasan lanjutannya. ”Ya iyalah, KUD kan plesetan dari Ketua Untung Duluan”, ujarnya.  Kami pun terbahak-bahak. Ada sebuah ironi yang tersirat di balik senyuman kami. Saya pun pamitan ke teman-teman, sambil melangkah gontai ke ruang pertemuan, yang sempat dijadikan tempat workshop ketika gantian saya menjadi narasumbernya kemarin. Kepala pun mulai ”cenat-cenut” memikirkan rumusan simpulan dan rekomendasi konferensi yang harus selesai sebelum saya pulang ke Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline