Lihat ke Halaman Asli

Vonis Dua Tahun Gara-gara Debt Collector

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

….Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia tanggal 6 Mei 2011 memutuskan hal-hal sebagai berikut: (1) Mengenakan sanksi kepada Citibank berupa : (a) Larangan untuk menerima (akuisisi) nasabah baru layanan prioritas (Citigold), selama 1 (satu) tahun; (b) Larangan penerbitan kartu kredit kepada nasabah baru selama 2 (dua) tahun; dan (c) Larangan penggunaan jasa penagihan kartu kredit oleh pihak ketiga selama 2 (dua) tahun. Sanksi tersebut di atas berlaku sejak tanggal 6 Mei 2011. Apabila di kemudian hari ditemukan pelanggaran yang lebih berat, sanksi tersebut dapat ditinjau kembali…….

Itulah salah satu petikan dari press release BI No. 13/ 15 /PSHM/Humas yang selengkapnya dapat dilihat di sini. Menurut BI, dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran ketentuan intern bank serta kelemahan pada penerapan manajemen risiko yang tercermin dari kelemahan sistem dan prosedur (Standard Operating Procedure/SOP) dan pengendalian intern sebagaimana diatur dalam PBI No. 5/8/PBI/2003 yang telah diubah dengan PBI No.11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Selain itu, ditemukan pula pelanggaran dan kelemahan dalam sistem penyelenggaraan kartu kredit sebagaimana diatur dalam PBI No.11/11/PBI/2009 dan SE BI No. 11/10/DASP mengenai penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK).

Dalam naskah press release tersebut disebutkan secara ekplisit dua Peraturan Bank Indonesia (PBI) yaitu tentang PBI tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan PBI tentang penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK). Namun, press release tersebut  tidak menyebutkan mengenai pasal atau ayat dari PBI tersebut yang menjadi dasar pemberian sangsi kepada Citibank. Bisa dimengerti karena Press Release tersebut hanya memuat butir-butir penting saja yang menjadi konsumsi media massa atau masyarakat umum. Saya kira BI sudah menuliskannya secara lebih terperinci pada surat resmi pemberian sangsi kepada Citi Bank. Saya mencoba mengulas secara sepintas tentang pasal atau ayat yang diperkirakan menjadi “dasar hukum” dari pemberian sangsi tersebut.

Teledor

PBI No. 11/ 25 /PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Umum merupakan perubahan dari PBI sebelumnya No. 5/8/Pbi/2003. PBI yang terdiri dari 35 Pasal yang tertuang dalam 28 Halaman, ditandatangani oleh Pejabat Sementar Gubernur BI, Miranda S. Goeltom, pada tanggal 1 Juli 2009. Saya menduga dua pasal yang digunakan sebagai dasar hukum pemberian sangsi adalah Pasal 25 dan Pasal 34.

Pasal 25 ayat (1) menyebutkan bahwa Bank wajib menyampaikan laporan produk atau aktivitas baru kepada Bank Indonesia, yang terdiri dari: (a) Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan (b) b. Laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. Dan pasal 5 menyebutkan bahwa berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan, Bank Indonesia dapat melarang Bank untuk menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang direncanakan. Sedangkan Pasal 6 menegaskan bahawa dalam hal di kemudian hari berdasarkan evaluasi Bank Indonesia, produk yang diterbitkan atau aktivitas yang dilaksanakan memenuhi kondisi sebagai berikut: (a) tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk atau aktivitas baru yang dilaporkan kepada Bank Indonesia; (b) berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank; dan/atau (c) tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas dimaksud.

Seperti biasanya BI membuat pasal yang berisi jenis sangsi bagi bank yang tidak mematuhi PBI, yang pada PBI dimaksud tertulis pada Pasal 34. Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa:


  1. Teguran tertulis;
  2. Penurunan tingkat kesehatan Bank;
  3. Pembekuan kegiatan usaha tertentu;
  4. Pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau
  5. Pemberhentian pengurus Bank.


Tidak Melindungi Nasabah

Keberaan dan pengakuan Debt Collector tercantum dalam PBI No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Petunjuk teknis pelaksanaan dari PBI tersebut tertuang dalam Surat Edaran BI No. 11/10 /DASP Jakarta tanggal 13 April 2009. Saya kutip beberapa butir penting mengenai prinsip perlindungan nasabah yang merupakan aspek pertama dari penyelenggaraan kegiatan APMK. Penerbit wajib menerapkan prinsip perlindungan nasabah dalam menyelenggarakan kegiatan APMK yang antara lain dilakukan dengan menyampaikan informasi tertulis kepada Pemegang Kartu atas APMK yang diterbitkan. Informasi tersebut wajib menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang mudah dibaca oleh Pemegang Kartu. Pihak bank penerbit kartu pun harus menjelaskan hak dan tanggung jawab Pemegang Kartu dalam hal terjadi berbagai hal yang mengakibatkan kerugian bagi Pemegang Kartu dan/atau Penerbit, baik yang disebabkan karena adanya pemalsuan kartu, kegagalan system, atau sebab lainnya. Khusus untuk Kartu Kredit, Penerbit Kartu Kredit wajib menyampaikan informasi tertulis kepada Pemegang Kartu, antara lain: Penggunaan jasa pihak lain di luar Penerbit untuk melakukan penagihan, jika Penerbit menggunakannya.

Apakah Debt Collector itu legal di mata BI? Jika Debt Collector itu sama dengan istilah BI, yaitu jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi kartu kredit, maka jelas bahwa Debt Collector memang diakui dan diperbolehkan oleh BI. Namun ada peraturan atau persyaratan yang harus dipenuhi. Pada bagian D tentang Kerjasama Penerbit dengan Pihak Lain disebutkan bahwa dalam hal Penerbit menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit, maka:


  1. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kolektibilitas;
  2. Penerbit harus menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada huruf a, juga harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum; dan
  3. Dalam perjanjian kerjasama antara Penerbit dan pihak lain untuk melakukan penagihan transaksi Kartu Kredit tersebut harus memuat klausula tentang tanggungjawab Penerbit terhadap segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerjasama dengan pihak lain tersebut.


Jadi kesimpulannya Bank tersebut teledor dan tidak melindungi nasabah untuk kasus penagihan kartu kredit dari nasabahnya, yang akhirnya berujung tragis dengan kematian nasabah. Sebuah pengalaman yang sangat mahal. Semoga tidak terjadi lagi di perbankan nasional.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline