Lihat ke Halaman Asli

Warna-warni Optimis Para Pengrajin Bata Merah

Diperbarui: 4 Maret 2016   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Menikmati salah satu momen ngopi terbaik bersama teman-teman baru (Dokumen Pribadi)"][/caption]Sebungkus kopi ditambah gula ternyata bisa menghasilkan kehangatan keluarga. Ditimpali sepoi petang yang dilemparkan ombak dan lolos dari hadangan bukit-bukit, lengkap sudah sensasinya. Siapa sangka? Salah satu momen terbaik menghirup kopi saya dapatkan tak jauh dari padatnya rutinitas harian yang melelahkan.

Kopi yang diseduh dengan cara sangat biasa. Bukan kopi yang diseduh dengan tata cara ningrat tanpa gula dengan peralatan yang harganya kadang membuat saya tak habis pikir. Bukan pula di kedai kopi yang di-setting dengan suasana artifisial sesuai keinginan. Bahkan bagi para penikmat kopi sejati, cara kami sangat mungkin bakal digolongkan dalam aliran sesat cara menyeduh kopi.

Meski ternyata, sesat itu mampu membawa momen tak terlupakan. Diantara tumpukan batu bata dan tenda-tenda dengan naungan langit terbuka, bersama sahabat-sahabat baru saya. Walau terasa terlalu manis juga rasa seduhan itu bagi saya karena terlalu banyak gula dicampurkan, namun tak mengurangi sensasinya. Gak papa lah, mungkin hanya untuk mengurangi pahitnya hidup yang dirasa.

Tiga ratus meter dari gerbang salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia yang berlokasi di Pulau Sumbawa, sebelum hamparan padang rumput, sebelum gundukan bukit-bukit, di antara semak dan pagar, di sanalah saya terdampar sore itu. Tertarik pada tumpukan benda yang membentuk pola semacam situs purbakala, saya putuskan berbelok dari jalan yang seharusnya dilalui. Sekedar mencari tahu, ada apa gerangan di sana.

Rupanya, pola itu tersusun dari puluhan ribu batu bata yang membentuk bangun jajar dan bertumpuk. Di antaranya, ada beberapa lelaki dengan kulit tembaga hasil dari mufakat matahari dan hamburan debu yang sedang menjalankan rutinitas harian mereka: sejak sebelum terbit matahari sampai sesaat setelah terbenam matahari. Saya yakin, merekalah yang bertanggung jawab menyusun benda-benda motif purba itu.

Memandang berkeliling, mata saya dipertemukan dengan tenda-tenda dari terpal warna-warni yang kemudian saya tahu menjadi tempat berteduh mereka: dari terik di siang hari, dari angin di malam hari dan dari hujan yang masih mungkin mengancam. Menelisik lebih jauh, saya temukan tikar lusuh di dalam tenda yang tak tertutup sempurna, bantal yang telanjang tanpa sarung, tumpukan bata yang menjadi tungku memasak, tempat penampungan air yang berserakan, nasi dan lauk di atas meja berdebu dan banyak hal lain di sana.

[caption caption="Mereka sebut ini rumah (Dokumen pribadi)"]

[/caption]Miris? Mungkin. Karena ternyata di sekitar saya ada mereka yang menjalani kehidupan yang demikian. Tapi tak perlu mengeksploitasi kemirisan menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas tetapi sulit memberi solusi. Karena kesan sedih berurai air mata tak pernah saya dapatkan dari mereka yang mengalami. Mari menengok dari sisi optimis dari apa yang mereka pilih dan jalani.

Para pengrajin bata merah itu melemparkan senyum ramah walau pun masih terselip rasa asing di antaranya ketika pertama kali saya datang menyapa. Benar. Pengrajin bata merah. Sebuah profesi yang mungkin tak banyak kita tahu tetapi sudah banyak kita nikmati hasil karyanya. Dinding-dinding rumah yang menjadi tempat kita berteduh sebagian besar tersusun dari keping-keping bata merah. Setelah disusun, direkatkan dengan campuran semen dan pasir kemudian ditutup dengan semen halus dan cat, maka jadilah dinding halus rumah-rumah nan megah.

Seperti bata merah yang kemudian tertutup semen dan cat warna-warni, seperti itu pula para pengrajinnya. Kehadiran mereka seperti tak pernah terlihat di antara kita. Tapi sekali lagi, kita tidak perlu membahas dari sisi yang mengharu biru. Sebab tak terlihat bukan berarti tidak ada. Lagi pula, seperti batu bata yang membuat dinding menjadi kokoh meski tertutup oleh semen halus dan cat warna-warni, seperti itu pula saya ingin memandang mereka: para pengrajin bata merah. Meski tak terlihat, tetapi kehadiran mereka mampu memberi manfaat besar bagi kehidupan orang lain.

Segera setelah senyum ramah mereka menyapa saya sore itu, maka cairlah suasana.

“Belum istirahat, Mas?” pertanyaan pertama yang saya lontarkan untuk membalas senyum ramahnya. Pertanyaan retorik yang didasarkan pada kenyataan bahwa matahari sudah hilang di balik bukit sementara lelaki berkulit tembaga itu masih mengayunkan cangkulnya pada onggokan tanah liat yang sedikit lembek, bahan baku untuk membuat bata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline