Di sebuah galeri seni minimalis yang dikelilingi dinding putih tanpa cela, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berdiri dengan berbagai ekspresi wajah. Mereka tengah menyaksikan pameran lukisan abstrak modern yang ramai diperbincangkan di media sosial. Di tengah ruangan, sebuah lukisan besar terpampang: goresan-goresan cat acak, warna-warni mencolok yang terkesan dilempar sembarangan di atas kanvas. Judulnya sederhana, "Esensi Kehidupan."
Kobar, yang selalu merasa dirinya memahami seni lebih dari siapa pun, berdiri mematung di depan lukisan itu, lalu menarik napas dalam. "Kalian lihat ini?" tanyanya sambil menunjuk kanvas yang penuh dengan percikan cat. "Ini, teman-teman, adalah wujud dari segala sesuatu yang tak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata. Sebuah masterpiece!"
Kahar, yang selalu mendukung Kobar tanpa banyak berpikir, mengangguk setuju. "Benar! Lihat bagaimana seniman ini memanipulasi warna dan komposisi. Ini lebih dari sekadar lukisan, ini adalah perjalanan batin."
Badu, yang dari tadi mengernyit, akhirnya angkat bicara. "Perjalanan batin? Tapi aku nggak ngerti, ini lukisan tentang apa sebenarnya? Nggak ada bentuk, nggak ada objek. Cuma warna-warni nggak jelas."
Kobar tersenyum seperti seorang guru yang sabar pada murid yang belum tercerahkan. "Itulah esensi dari lukisan abstrak, Badu. Kamu nggak perlu 'ngerti' dengan cara biasa. Abstrak itu soal rasa, bukan soal makna konkret. Kamu harus merasakan emosi yang muncul saat melihat karya ini."
Badu menatap lukisan itu lebih lama, mencoba merasakan sesuatu, tapi hanya kebingungan yang muncul. "Jadi, maksudmu kalau aku nggak merasa apa-apa, itu salahku?"
Kahar menyela, "Tentu saja. Kamu harus terbuka pada pengalaman visual yang tak terikat oleh aturan realitas. Kalau kamu nggak merasa apa-apa, mungkin kamu kurang terhubung dengan dirimu sendiri."
Rijal, yang sejak awal berdiri di sudut sambil melipat tangan, akhirnya tersenyum tipis dan menggeleng pelan. "Bukan masalah terbuka atau tidak, Kahar. Masalahnya, kalian terlalu serius melihat hal yang mungkin sebenarnya cuma iseng. Ini bisa saja cuma cipratan cat yang nggak sengaja terjadi, tapi karena ada label 'abstrak,' kita jadi sibuk mencari makna di dalamnya."
Kobar terperanjat, merasa tersinggung. "Kamu salah besar, Rijal. Seniman ini tidak sembarangan. Setiap goresan di sini punya filosofi, punya makna dalam yang mungkin kamu terlalu dangkal untuk memahaminya."
Rijal tertawa kecil. "Filosofi, ya? Jadi kalau aku ambil ember cat dan melemparkannya ke kanvas, lalu aku bilang itu mewakili 'perjuangan manusia melawan alam semesta,' apakah itu juga jadi seni?"